Senin, 10 Agustus 2015

ILMU PENGETAHUAN DAN PEMANFAATANNYA DALAM PERSPEKTIF HADIS



Abdulah Husin[1]

Abstrak
Pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan selaras dengan salah satu tujuan penciptaan manusia di muka bumi adalah sebagai khalifah Allah (khalifah Allah fi al-ardh). Manusia mendapat tugas mewakili Allah mengelola dan menyuburkan bumi untuk kepentingan manusia sendiri. Tugas ini tentu saja memerlukan pengetahuan agar manusia mampu melaksanakan tugas ini. Dalam hal ini, secara pragmatis ilmu membantu manusia menunaikan tugas kekha­lifahan yang diamanahkan kepadanya. Aktivitas pengembangan dan pemanfataan ilmu pengetahuan Islam telah kemukakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam sejak empat belas abad silam. Atas dasar ini,maka tulisan ini diarahkan untuk membahas tentang hakikat dan sumber ilmu pengetahuan serta pemanfaatannya dalam perspektif hadis dengan menggunakan metode kajian hadis maudhu’i (tematik).

 Kata Kunci : Ilmu Pengetahuan; Pemanfaatan; Perspektif Hadis

A.      PENDAHULUAN
Perbincangan tentang ilmu dan pemanfataannya menjadi perbincangan menarik. Islam sebagai agama yang tidak diragukan kebenarannya tentu memuat beragam hal-hal yang memandu manusia untuk menemukan kebenaran. Sebagai agama yang universal,  Islam dalam ajarannya mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam konteks ajaran Islam, keseluruhan prilaku dan tindakan dikategorikan sebagai sebuah bentuk peribadatan dan memperoleh pahala atas perbuatan tersebut. Karena itu, dalam ajaran Islam tak ada satupun yang luput dari jangkauan hukum dan tatanannya. Atas dasar ini pula maka perlunya ilmu pengetahuan.[2] Salah satu informasi tentang ilmu dalam konteks pokok agama ini terdapat dalam Alquran dan hadis Sunanah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wassalam sebagai sumber dasar ideal Islam.
Islam menempatkan ilmu pada posisi sangat penting dan strategis. Alquran dan Sunnah memandang orang berilmu dalam posisi yang tinggi dan mulia, serta memberikan dorongan untuk terus menuntut ilmu. Islam sebetulnya bukan hanya menganjurkan belajar secara statis, tetapi perlu pengembangan ilmu secara dinamis, progresif, dan kritis. Bahkan menghendaki seseorang itu terus menerus melakukan pembelajaran dan riset.[3]
Pengembangan ilmu dalam Islam didasarkan pada tujuan hidup manusia yang dipandu oleh Alquran dan Sunnah. Atas dasar ini, maka tujuan hidup manusia untuk mendapatkan keridahaan dan pengakuan dari Allah menjadi salah satu karakter dan dasar utama tujuan hidup manusia dansekaligus juga dijadikan sebagai salah satu karakter dasar pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan.
Pengembangan dan pemanafaatan ilmu pengetahuan selaras dengan salah satu tujuan penciptaan manusia di muka bumi adalah sebagai khalifah Allah (khalifah Allah fi al-ardh). Manusia mendapat tugas mewakili Allah mengelola dan menyuburkan bumi untuk kepentingan manusia sendiri. Tugas ini tentu saja memerlukan pengetahuan agar manusia mampu melaksanakan tugas ini. Dalam hal ini, secara pragmatis ilmu membantu manusia menunaikan tugas kekha­lifahan yang diamanahkan kepadanya.
Aktivitas pengembangan dan pemanfataan ilmu pengetahuan Islam telah dikemukakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam sejak empat belas abad silam. Atas dasar ini, maka tulisan ini diarahkan untuk membahastentang hakikat dan sumber ilmu pengetahuan serta pemanfaatannya dalam perspektif hadis dengan menggunakan metode kajian hadis madhu’i (tematik).



B.  PEMBAHASAN
1.    Hakikat Ilmu
Betapa Islam sangat mengapresiasi dan memuliakan ilmu pengetahuan. Ilmu diibaratkan dengan keutamaan atau kelebihan yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad saw. Sebagaimana terdapat dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam shahihnya bersumber dari Abdullah Ibn Umar sebagai berikut:
حَدَّثَنَا سَعِيْدُ بْنُ عُفَيْرٍ قَالَ: حَدَّثَنِي اللَّيْثُ قَالَ: حَدَّثَنِي عُقَيْلٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ هَمْزَةَ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ: أَنَّ ابْنَ عُمَرَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ أُتِيْتُ بِقَدْحِ لَبَنٍ فَشَرِبْتُ حَتَّى إِنِّي لَأَرَى الرِّيَّ يَخْرُجُ فِي أَظْفَارِي، ثُمَّ أَعْطَيْتُ فَضْلِي عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، قَالُوْا: فَمَا أَوْلَتْهُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الْعِلْمَ.[4]
Artinya: “Said bin ‘Ufair menceritakan kepada kami, ia berkata: “al-Laits menceritakan kepadaku, ia berkata: “‘Uqail menceritakan kepadaku dari Ibn Syihab dari Hamzah bin Abdullah bin Umar, bahwasanya Ibn Umar mengatakan: “Saya mendengar Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ketika aku sedang tidur, aku bermimpi seseorang datang kepadaku memberikan segelas susu, lalu kuminum susu tersebut sehingga kulihat merengat (merembes) keluar dari ujung kukuku, kemudian sisanya kuberikan kepada Umar bin Khaththab.” Para sahabat bertanya, “Apakah takwil mimpi Anda itu, ya Rasulullah?.” Rasulullah menjawab: “Ilmu.” (HR. Imam Bukhari).
Menurut Ibn Hajar, Rasulullahsahallallahu ‘alaihi wasallam menafsirkan susu dengan ilmu, karena keduanya banyak memberi manfaat.[5] Hadis ini menurut Ibn Munir menginformasikan tentang keutamaan ilmu pengetahuan, di mana ilmu diibaratkan dengan keutamaan atau kelebihan Nabisahallallahu ‘alaihi wasallam yang diberikan Allah Subhânahu wa Ta’ala kepadanya.[6]
Kata ilmu dalam bahasa Indonesia berasal dari kata al-‘ilmu dalam bahasa Arab. Secara bahasa (etimologi) kata al-‘ilmu adalah bentuk mashdar atau kata sifat dari kata `alima - ya`lamu - `ilman yang berarti pengetahuan,[7] merupakan lawan kata dari “jahl” yang berarti ketidaktahuan atau kebodohan.[8] Sebagai subjek disebut “‘âlim” yang berarti orang yang tahu dan objeknya adalah “ma’lûm” atau yang diketahui.[9]
Sementara secara terminologi, istilah ilmu berarti pemahaman tentang hakikat sesuatu.[10] Ilmu diartikan juga sebagai pengetahuan tentang sesuatu yang diketahui dari dzat (esensi), sifat dan makna sebagaimana adanya.[11]Ilmu dapat dikatakan sebagai pengetahuan mengenai segala sesuatu yang telah disusun secara runtut dan merupakan satu kesatuan berdasarkan metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menjelaskan gejala-gejala dari objek (pengetahuan) itu.
Apresiasi Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam terhadap ilmu tidak hanya tergambar dari penyebutan kata al-`ilm dan derivasinya yang sangat banyak dalam kitab-kitab hadis, tetapi terdapat ungkapan-ungkapan lainnya yang bermuara pada kesamaan makna, diantaranyaadalahal-hikmah. Sebagaimana sabda Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam:
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ: حَدَّثَنِي إِسْمَاعِيْلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ عَلَى غَيْرِ مَا حَدَّثْنَاهُ الزُّهْرِيُّ قَالَ: سَمِعْتُ قَيْسَ بْنِ أَبِي حَازِمٍ قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ مَسْعُوْدٍ قَالَ:قَالَالنَّبِيُّصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَ:لَاحَسَدَإِلَّافِياثْنَتَيْنِ:رَجُلٍآتَاهُاللهُمَالاًفَسُلِّطَعَلَىهَلَكَتِهِفِيالْحَقِّ،وَرَجُلٍآتَاهُاللهُحِكْمَةًفَهُوَيَقْضِيبِهَاوَيُعَلِّمُهَا.[12]
Artinya: “al-Humaidiy menceritakan kepada kami, ia berkata: Sufyan menceritakan kepada kami, ia berkata: Ismail bin Abi Khalid menceritakan kepadaku tidak sebagaimana al-Zuhriy menceritakan kepada kami, ia berkata: Aku mendengar Qais bin Abi Hazim berkata: Aku mendengar Abdullah bin Mas’ud berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Tidak ada iri hati (dengki), kecuali kepada dua orang, yaitu orang yang diberi Allah Subhânahu wa Ta’ala harta kemudian dia pergunakan dalam kebenaran, dan orang yang diberi Allah Subhânahu wa Ta’ala hikmah (ilmu) kemudian dipergunakannya dengan baik dan diajarkannya.” (HR. Bukhari, Muslim, Ibn Majah, Ahmad, dan Ibn Hibban).
Hadis ini menginformasikan bahwa sejatinya tidak ada (tidak boleh) iri atau hasad, kecuali hanya kepada dua orang, yaitu orang yang dianugerahi harta oleh Allah dan orang yang dianugerahi Allah hikmah. Kedua karunia ini dipergunakan oleh masing-masing pemiliknya untuk kebenaran dan memberikan manfaat kepada orang lain.
Hasad yang dimaksud dalam hadis ini menurut menurut para ulama adalah ghibthah, yaitu berangan-angan agar mendapatkan nikmat seperti yang ada pada orang lain tanpa mengharapkan nikmat tersebut hilang dari pemiliknya.[13] Jika ghibthah ini dalam hal dunia, maka itu dibolehkan, jika dalam hal ketaatan, maka itu dianjurkan.[14]Anjuran ghibthah dalam hadis di atas, salah satunya adalah iri terhadap orang diberi hikmah yang diamalkan dan diajarkannya. Menurut al-Kirmaniy hikmah yang maksudkan dalam hadis ini adalah“ilmu.”[15]
Redaksi hikmah berulang kali disebutkan dalam Alquran dan memiliki beragam pengertian.[16]  Para ahli sepakat ketika menafsirkan al-hikmah yang diberikan kepada Luqman al-Hakim bukan sebagai nubuwwah (kenabian), seperti terdapat dalam QS. Luqman  [31] ayat 12.[17] Konteks al-hikmah pada ayat ini, diartikan oleh Ibnu Marduyah bersumber dari Ibn Abbas, sebagai akal, pemahaman, dan kecerdasan.[18] Senada dikemukakan Mujahid, hikmah adalah akal, kepahaman, dan ketepatan dalam perkataan.[19] Qatadah menambahkan pemahaman terhadap agama, dan perkataan yang benar.[20] Hikmah diartikan juga sebagai perasaan yang halus, kecerdasan, dan pengetahuan.[21] Hikmah juga pengetahuan terhadap semua yang maujud dan mengerjakan kebajikan.[22]
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, hikmah merupakan pemahaman dan akal serta pelaksanaan dari kedua unsur tersebut. Oleh karena itu, seseorang tidak bisa disebut sebagai al-Hakîm kecuali ia menggabungkan  kedua unsur tersebut.[23]Jadi secara umum, hikmah merupakan pengetahuan yang paling tinggi nilainya, yakni pengetahuan yang menghubungkan manusia pada pemahaman tentang dunia dan akhirat. Pendeknya, orang yang mendapatkan hikmah tentunya mendapatkan kebaikan yang banyak dari Allah.[24]
Dengan demikian, hikmah merupakan akumulasi dari iman, ilmu dan amal yang menjadi refleksi kesempurnaan jiwa seseorang. Iman yang kokoh merupakan cahaya bagi sesorang dalam menjalani kehidupan, sehingga tidak tersesat dalam menentukan jalan hidupnya dan mampu menentukan baik dan buruk. Ilmu yang memadai sebagai sarana untuk menjadikan kehidupan seseorang mudah dan indah. Amal yang sempurna adalah buah dari iman dan ilmu sehingga hidup seseorang bermanfaat, tidak saja bagi diri pribadi melainkan juga kebaikan bagi orang lain.
Maka dari itu, keutamaan dan kemuliaan orang yang berilmu ini juga tercermin dari diperbolehkannya iri (hasad)  terhadap orang yang berilmu. Padahal iri adalah sifat tercela dan tidak layak menjadi perangai orang-orang yang beriman. Larangan iri salah satunya dikarenakan dampak buruk yang diakibatkan oleh sifat iri pada diri seorang Mu`min bahkan orang kafir sekalipun, maka sifat ini dilarang oleh agama.[25] Namun, tidak demikian dengan seseorang yang iri terhadap orang yang berilmu. Karena iri terhadap orang yang berilmu akan berdampak positif bagi orang yang iri, maka iri terhadap orang yang berilmu dibolehkan oleh agama, dan bahkan dipuji.
Secara eksplisit, ungkapan “seseorang yang Allah Subhânahu wa Ta’ala beri karunia hikmah (ilmu)” dalam hadis di atas menunjukkan bahwa ilmu adalah cahaya dari Allah Subhânahu wa Ta’ala yang dianugerahkan kepada siapa saja yang Ia kehendaki.[26] Akan tetapi, ilmu itu juga diperoleh melalui sebuah proses mencermati, membaca dan menganalisa yang dilakukan oleh akal, indera (al-bashar) dan kalbu (al-bashîrah). Proses ini biasa disebut dengan berfikir. Proses penemuan ilmu pengatahuan ini dilakukan dalam berbagai kreativitas dan aktivitas, diantaranya adalah dengan belajar. Sebagaimana diriwayatkan Thabrani dari Muawiyah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْمَعْلَى الدِّمَشْقِيِّ ثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ ثَنَا صَدْقَةُ بْنُ خَالِدٍ ثَنَا عُتَبَةُ بْنُ أَبِي حَكِيْمٍ عَمَّنْ حَدَّثَهُ عَنْ مُعَاوَيَةَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا الْعِلْمُ بَالتَّعَلُمِ وَالْفِقْهُ بِالتَّفَقُّهِ، وَمَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ، وَإِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ.[27]
Artinya: “Ahmad bin al-Ma’la al-Dimasyqiy menceritakan kepada kami, Hiyam bin ‘Ammar menceritakan kepada kami, Shadqah bin Khalid menceritakan kepada kami, ‘Utbah bin Abi Hakim menceritakan kepada kami dari orang yang menceritakan kepadanya dari Mu’awiyah, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw. telah bersabda: “Wahai orang-orang beriman, sesungguhnya ilmu itu diperoleh dengan cara belajar, dan kepahaman diperoleh dengan cara memamahi, dan jika Allah menghendaki kebaikan kepada seseorang, maka Dia akan menjadikannya sebagai orang yang ahli agama, dan sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (HR. Thabrani).
Menurut Ibn Hajar al-‘Asqalaniy, sanad hadis ini hasan, meskipun di dalamnya terdapat seorang perawi yang tidak diketahui (mubham), akan tetapi riwayat tersebut diperkuat dengan riwayat lainnya. Al-Bazzar juga meriwayatkan hadis seperti ini dari Ibn Mas’ud secara mauquf (dinisbatkan kepada sahabat), sedangkan Abu Nu’aim meriwatkannya secara marfu’.[28] Potongan hadis ini “sesungguhnya ilmu itu diperoleh dengan cara belajar” juga disebutkan oleh Imam Bukhari dalam shaihnya secara mu’allaq (tanpa sanad).[29]
Hadis di atas memberikan dorongan dan motivasi kuat terhadap pengembangan keilmuan Islam melalui proses pembelajaran. Selain itu juga, menunjukkan adanya korelasi antara ilmu dengan khasyyah, karena keberagamaan itu inheren dengan ilmu. Sehingga dapat dikatakan bahwa hanya orang berilmulah yang dapat mencapai puncak khasyyah kepada Allah. Dengan demikian, jika ada orang berilmu namun tidak memiliki sikap keberagamaan yang kokoh, berarti ilmunya tidak bermanfaat.Atas dasar ini, Abu Bakar bin Jabir al-Jazairi mendefinisikan ilmu sebagai jalan menuju rasa takut kepada Allah Subhânahu wa Ta’ala, barang siapa yang tidak memiliki ilmu, maka tidak mengenal Allah Subhânahu wa Ta’ala sehingga tidak mempunyai rasa takut pulakepada-Nya.[30]
Inilah perbedaan tradisi keilmuan Islam dengan Barat yang materialistis.[31] Islam membimbing agar ilmu pengetahuan dapat mengantarkan manusia pada pemilik rahasia alam raya ini, bukan sekadar ilmu untuk ilmu. Seperti dikemukakan M. Quraish Shihab, semboyan “ilmu untuk (kepentingan) ilmu”dan ungkapan “ilmu bebas nilai” tidak dikenal dan tidak dibenarkan dalam Islam, tetapi “ilmu sarat nilai”. Karena itu pula, ilmuwan muslim harus menanamkan nilai rabbani (nilai ilahiah) pada ilmu pengetahuan.[32]
Dengan demikian, ilmu harus selalu dibimbing dengan iman, dan sebaliknya iman harus ditopang dengan ilmu. Dengan meningkatnya ilmu seseorang, maka akan meningkat kekokohan akidahnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam QS. al-Hajj [22]; 54:
zNn=÷èuÏ9uršúïÏ%©!$#(#qè?ré&zOù=Ïèø9$#çm¯Rr&,ysø9$#`ÏBšÎi/¢(#qãZÏB÷sãŠsù¾ÏmÎ/|MÎ6÷çGsù¼ã&s!öNßgç/qè=è%3¨bÎ)ur©!$#ÏŠ$ygs9tûïÏ%©!$#(#þqãZtB#uä4n<Î):ÞºuŽÅÀ5OŠÉ)tGó¡B
Artinya: “Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al Quran Itulah yang hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan Sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.” ( QS. al-Hajj [22]; 54).
Ayat di atas dijelaskan bahwa meningkatnya ilmu harus berbanding lurus dengan meningkatnya iman. Orang beriman sekaligus berilmu akan meningkat harkat dan martabatnya dibandingkan dengan orang yang hanya beriman saja, atau berilmu saja. Oleh karena itu, agar iman kita benar harus ditopang dengan ilmu yang benar pula.
Puncaknya, seperti dialami oleh para ilmuwan, aktivitas keilmuan yang terus-menerus akan mengantarkan seorang ilmuwan pada ketinggian moral atau akhlak, yakni suatu kondisi yang sangat sadar dan mengerti posisinya dalam kesemestaan ​​ini. Dari kondisi seperti ini, ia benar-benar paham dan mengerti kebesaran dan keagungan Sang Maha Pencipta.

2.    Sumber-sumber Ilmu
Setelah mengetahui hakikat ilmu pengetahuan dalam perspektif hadis, maka Islam pun telah mengatur dan menggariskan kepada umatnya agar tidak salah dan tersesat dengan memberikan bingkai sumber pengetahuan berdasarkan urutan kebenarannya menurut hadis Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam sebagai berikut.
a.    Ayat-ayat Tanziliyyah (Alquran dan Sunnah)
Seperti disebutkan sebelumnya, ilmu yang benar diperoleh berdasarkan dari sumber yang benar pula, yaitu Alquran dan Sunnah Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam. Pengertian ini menegaskan bahwa kedua sumber pokok tersebut menjadi sumber utama ilmu pengetahuan Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Imam Malik dan al-Hakim sebagai berikut:
وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ نَبِيِّهِ.[33]
Artinya: “Malik menceritakan kepadaku, disampaikan kepadanya bahwa Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, dan kalian tidak akan tersesat selama kalian selalu berpegang teguh kepada keduannya, yaitu Kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya (al-hadis).” (HR. Imam Malik dan al-Hakim dengan redaksi sedikit berbeda bersumber dari Abu Hurairah).
Menurut Yahya bin Laits, sanad hadis ini lemah karena terdapat Ismail bin Abi Uwais yang dianggap lemah di kalangan ahli hadis dan tidak termasuk dalam kriteria shahih Bukhari dan Muslim. Meski demikian, hadis ini sangat dikenal dan masyhur di kalangan ahli hadis bersumber dari Nabi Muhammad sahallallahu ‘alaihi wasallam. Dari segi makna, keshahihan hadis ini tidak diragukan lagi karena Allah Swt. telah menggariskan dalam Alquran agar taat kepada-Nya dan Rasul-Nya. Di samping itu, terdapat banyak ayat Alquran yang memerintahkan kepada kita agar taat kepada Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam dan berpegang kepada Sunnahnya.[34]
Kandungan matan hadis ini menunjukkan pada kenyataan bahwa Nabi sahallallahu ‘alaihi wasallam telah meninggalkan dua pusaka, yaitu kitab Allah dan sunnahnya untuk  dijadikan pedoman dalam menempuh jalan yang benar, tidak sesat dan menyesatkan. Ada dua kata penting dalam hadis ini, yaitu kitab Allah dan sunnah. Kitab Allah adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sahallallahu ‘alaihi wasallam melalui perantaraan malaikat Jibri as., yaitu Alquran. Sedangkan al-Sunnah dalam perspektif ahli hadis adalah setiap perkataan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik, akhlak, atau perjalanan hidup yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad sahallallahu ‘alaihi wasallam, baik sebelum menjadi rasul maupun sesudahnya.[35]
Hadis ini menegaskan bahwa berpegang teguh kepada Alquran dan Sunnah adalah mutlak bagi umat Islam. Sebab, tidak ada kebenaran kecuali dari keduanya, tidak ada hidayah atau petunjuk selain dari keduanya, dan keselamatan bagi yang senantiasa berpegang teguh kepada keduanya. Alquran dan Sunnah merupakan kebajikan dan dalil yang sangat jelas dalam menunjukkan segala yang hak dan batil. Oleh karena itu, wajib untuk berpegang atau merujuk kepada keduanya, terutama dalam permasalahan agama.[36]
Ibn Abd al-Barr ketika menjelaskan hadis ini mengatakan bahwa yang dinamakan petunjuk adalah semua aspek yang mengacu kepada Alquran dan Sunnah Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam yang menjelaskan maksud dan keinginan Alquran. Apabila secara zahir sulit dipahami dalam Alquran, maka Sunnah Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan maksud dan tujuan Alquran tersebut.[37] Senada dikemukakan al-Bâjiy, Rasulullah saw. menjelaskan tentang dua perkara ini (Alquran dan Sunnah), maksudnya adalah bahwa apa yang telah disunnahkan, disyariatkan, dan disampaikannya kepada kita tentang halal, haram, dan lainnya telah terdapat dalam Alquran dan Sunnah. Maka apabila tidak terdapat pada keduanya adalah sesuatu yang tidak dapat diterima.[38]
Segala aspek kehidupan manusia telah dijelaskan dalam Alquran dan Sunnah, baik dalam hubungannya dengan sang Khaliq (hablum minallah), hubungan manusia dengan sesama manusia (hablum minannas), maupun tata cara hubungan manusia dengan alam sekitar. Ayat-ayat al-Qur’an adakalanya menjelaskan secara lansung tentang suatu hukum (qat’i) dan adakalanya memerlukan penafsiran lebih lanjut (zhanni). Di sinilah hadits-hadits Nabi berperan sebagai penerang lebih lanjut untuk menjelaskan ayat-ayat yang bersifat samar (zhanni).
Menurut Azyumardi Azra, Alquran dan Sunnah merupakan sumber bagi ilmu-ilmu Islam, dalam pengertian yang seluas-luasnya. Lebih khas lagi, kedua sumber pokok Islam ini memainkan peran ganda dalam penciptaan dan pengembangan ilmu-ilmu. Pertama, prinsip-prinsip seluruh ilmu dipandang kaum Muslim terdapat dalam Alquran. Dan sejauh pemahaman terhadap Alquran, terdapat pula penafsiran yang bersifat esoteris (ma’nawi) terhadap Kitab suci ini, yang memungkinkan tidak hanya pengungkapan misteri-misteri yang dikandungnya, tetapi juga pencarian makna secara lebih mendalam, yang berguna untuk pengembangan paradigma ilmu. Kedua, Alquran dan Sunnah menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dengan menekankan kebajikan dan keutamaan menuntut ilmu; pencarian ilmu dalam segala apapun berujung pada penegasan Tauhid-Keunikan dan Keesaan Tuhan. Karenanya, seluruh metafisika dan kosmologi yang terbit dari kandungan Alquran dan Sunnah merupakan dasar pembangunan dan pengembangan ilmu Islam. Kedua sumber pokok ini, singkatnya, menciptakan atmosfer khas yang mendorong aktivitas-aktivitas intelektual dalam komformitas dengan semangat ilmu.[39]
Menurut Muhammad al-Maliki al-Hasani, Alquran adalah ensiklopedi pertama yang pernah dikenal manusia. Alquran adalah kitab suci yang tidak ada kepalsuan. Kandungan berisi segala macam ilmu pengetahuan yang digali umat Islam sepanjang masa.[40] Hal ini ditegaskan oleh Allah Subhânahu wa Ta’ala dalam Alquran di antaranya:
$tBur`ÏB7p­/!#yŠÎûÇÚöF{$#Ÿwur9ŽÈµ¯»sÛ玍ÏÜtƒÏmøym$oYpg¿2HwÎ)íNtBé&Nä3ä9$sVøBr&4$¨B$uZôÛ§sùÎûÉ=»tGÅ3ø9$#`ÏB&äóÓx«4¢OèO4n<Î)öNÍkÍh5ušcrçŽ|³øtä
Artinya: “Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (QS. al-An’am [6]: 38).
Dalam firman-Nya lagi:
tPöqtƒurß]yèö7tRÎûÈe@ä.7p¨Bé&#´Îgx©OÎgøŠn=tæô`ÏiBöNÍkŦàÿRr&($uZø¤Å_uršÎ/#´Íky­4n?tãÏäIwàs¯»yd4$uZø9¨tRuršøn=tã|=»tGÅ3ø9$#$YZ»uö;Ï?Èe@ä3Ïj9&äóÓx«YèdurZpyJômuur3uŽô³ç0urtûüÏJÎ=ó¡ßJù=Ï9
Artinya: “(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. al-Nahl [16]: 89).
Kedua ayat di atas menegaskan bahwa penjelasan tentang segala sesuatu terdapat dalam al-Qur’an, tidak terkecuali ilmu pengetahuan. Sebagaimana telah diriwayatkan Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, ketika beliau ditanya oleh seseorang, “Apakah Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallamtelah memberimu ilmu atau nasihat khusus yang tidak diberikan kepada orang lain? “Beliau berkata, demi Allah, demi Yang telah menciptakan surga dan nyawa, aku tidak memiliki sesuatu yang khusus kecuali pemahaman al-Qur’an yang telah Allah berikan kepadaku.” Ibnu Abi Dunya berkata, “Ilmu al-Qur’an dan pengetahuan yang didapat darinya seperti lautan yang tak bertepi.”[41]
Sedangkan Sunnah sebagai sumber ilmu pengetahuan dapat disinyalir dari hadis shahih yang menyatakan bahwa para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, melainkan mewariskan ilmu. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Tirmidzi dari Abu Darda sebagai berikut:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدُ بْنُ مُسَرْهَدٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دَاوُدَ، سَمِعْتُ عَاصِمَ بْنَ رَجَاءِ بْنِ حَيْوَةَ يُحَدِّثُ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ جَمِيلٍ، عَنْ كَثِيرِ بْنِ قَيْسٍ، قَالَ: كُنْتُ جَالِسًا مَعَ أَبِى الدَّرْدَاءِ فِى مَسْجِدِ دِمَشْقَ، فَجَاءَهُ رَجُلٌ، فَقَالَ: يَا أَبَا الدَّرْدَاءِ، إِنِّى جِئْتُكَ مِنْ مَدِينَةِ الرَّسُولِ صلى الله عليه وسلم لِحَدِيثٍ بَلَغَنِى أَنَّكَ تُحَدِّثُهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم، مَا جِئْتُ لِحَاجَةٍ، قَالَ: فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلميَقُولُ: « مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ، وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِى السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِى الأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِى جَوْفِ الْمَاءِ، وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ، وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا، وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِر.[42]
Artinya: “Musaddad bin Musarhad telah menceritakan kepada kami, Abdullah bin Daud telah menceritakan kepada kami, aku mendengar ‘Ashim bin Raja’ bin Haiwah bercerita, dari Daud bin Jamil, dari Katsir bin Qais, ia berkata: “Aku duduk bersama Abu Darda di Masjid Demaskus, seseorang menghampirinya dan berkata: “Wahai Abu Darda! Sesungguhnya aku mendatangimu dari kota Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam (Madinah) untuk mendapatkan sebuah hadis, bukan untuk keperluan lain, karena itu sampaikanlah kepadaku sebuah hadis yang engkau ketahui dari Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam. Abu Darda radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan jalannya ke surga. Dan sesungguhnya malaikat membentangkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena puas dengan apa yang diperbuatnya, dan bahwasanya penduduk langit dan bumi, bahkan ikan di dalam air itu senantiasa memintakan ampunan bagi orang yang berilmu. Kelebihan orang ‘alim terhadap ‘abid (orang yang beribadah tapi tidak pandai/berilmu) adalah bagaikan kelebihan bulan purnama terhadap bintang-bintang yang lain. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi dan bahwasanya para nabi itu tidak mewariskan dinar dan dirham (kekayaan duniawi), tetapi para nabi mewariskan ilmu pengetahuan, maka barang siapa yang mengambil (menuntut) ilmu, maka ia telah mengambil bagian yang sempurna.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan lain-lain dengan sanad hasan lighairih.[43] Hadis ini dishahihkan oleh Al-Hakim dan Ibnu Hibban, demikian juga al-Albâniy[44]).
Kandungan hadis di atas merupakan dorongan untuk mengapresiasi orang yang menuntut ilmu. Ilmu merupakan warisan yang mulia, karena dapat menyinari manusia menuju jalan kebaikan dan kebenaran. Sempurnanya ilmu adalah dengan amal dan mengikuti Sunnah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam dalam akhlak dan ibadah. Sedangkan ahli ilmu (ulama) adalah pewaris nabi, karena ia menjaga ajaran dan risalah nabi. Demikianlah, ilmu sebagai pokok dari kenabian yang jika hilang maka akan hilang pula hasil pokok tersebut.[45]
Konteks Sunnah sebagai sumber ilmu pengetahuan dalam pembahasan ini sangat jelas diungkapkan oleh Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis di atas. Sabda Nabi sahallallahu ‘alaihi wasallam bahwa para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham tetapi mewariskan ilmu. Artinya, para nabi tidak mewariskan kemewahan dunia yang identik dengan dinar dan dirham, dan menghilangkan anggapan bahwa mereka menginginkan kemewahan dunia tersebut.[46] Warisan ilmu tersebut bertujuan untuk menjelaskan tentang Islam dan hukum-hukum yang berlaku.[47]
Menurut Ibn al-Qayyim, hal ini menunjukkan kesempurnaan para nabi dan besarnya kebaikan mereka terhadap umat, serta menunjukkan kesempurnaan nikmat Allah subhanahu wata’ala kepada mereka. Dengan demikian, umat mereka harus menghilangkan penyakit hati yang membuat seseorang berpikir bahwa para nabi adalah seperti raja yang menginginkan dunia dan kemewahannya. Karena pada umumnya manusia menginginkan kemewahan dunia untuk anaknya sepeninggalnya sehingga ia rela bersusah payah membanting tulang untuk anaknya, maka sabda Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam di atas menunjukkan bahwa Allah subhanahu wata’ala menghindarkan para nabi dan rasul dari anggapan semacam itu.[48]
Konteks para nabi mewariskan ilmu kepada generasi berikutnya juga disebutkan Allah dalam beberapa ayat, di antaranya adalah:
ôs)s9ur$oY÷s?#uäyŠ¼ãr#yŠz`»yJøn=ßur$VJù=Ïã(Ÿw$s%urßôJptø:$#¬!Ï%©!$#$uZn=žÒsù4n?tã9ŽÏWx.ô`ÏiBÍnÏŠ$t7ÏãtûüÏZÏB÷sßJø9$#ÇÊÎÈy^Íururß`»yJøŠn=ßyŠ¼ãr#yŠ(tA$s%ur$ygƒr'¯»tƒâ¨$¨Z9$#$oYôJÏk=ãæt,ÏÜZtBÎŽö©Ü9$#$uZÏ?ré&ur`ÏBÈe@ä.>äóÓx«(¨bÎ)#x»yduqçlm;ã@ôÒxÿø9$#ßûüÎ7ßJø9$#ÇÊÏÈ
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah memberi ilmu kepada Daud dan Sulaiman; dan keduanya mengucapkan: "Segala puji bagi Allah yang melebihkan kami dari kebanyakan hamba-hambanya yang beriman". Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: "Hai manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata.” (QS. al-Naml ayat 15-16).
Bagian akhir hadis di atas, Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang mengambil warisan Nabi itu (ilmu), maka ia mendapatkan bagian yang banyak”. Maksudnya adalah bagian yang sempurna, karena tidak ada yang melampaui warisan kenabian ini,[49] bagian yang manfaatnya paling besar, paling baik, dan paling langgeng bagi manusia, dan tidak lain ini adalah ilmu dan agama.[50] Karena manfaat ilmu dan agama yang dimiliki seseorang lalu diajarkan kepada orang lain adalah kekal. Apabila terputus dari pemiliknya, maka kebaikannya akan tetap sampai kepada pemiliknya untuk selamanya, sedangkan hal-hal lainnya akan hilang dan sia-sia.
a.    Ayat-ayat Kauniyyah (Alam Semesta)
Penempatan Alquran dan Sunnah sebagai sumber utama ilmu dalam perspektif Islam memang sudah semestinya. Karena keduanya merupakan sumber ideal umat Islam dalam menempuh kehidupan di dunia dan untuk meraih kebahagiaan akhirat. Namun semua benda dan kejadian di alam raya  merupakan ayat Tuhan, yaitu petunjuk-petunjuk dan simbol-simbol Tuhan. Atas dasar ini pula,cakupan ilmu dalam konsep Islam meliputi alam semesta (ayat-ayat kauniyyah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengisyaratkan bahwa alam semesta dan segala fenomenanya merupakan sumber ilmu dalam Islam,seperti terdapat dalama riwayat Imam Muslim dari Anas, sebagai berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ، كِلاَهُمَا عَنِ الأَسْوَدِ بْنِ عَامِرٍ، قَالَ أَبُو بَكْرٍ: حَدَّثَنَا أَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ وَعَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ النَّبِىَّصلى الله عليه وسلم مَرَّ بِقَوْمٍ يُلَقِّحُونَ. فَقَالَ: لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا لَصَلُحَ. قَالَ: فَخَرَجَ شِيصًا فَمَرَّ بِهِمْ. فَقَالَ: مَا لِنَخْلِكُمْ؟ قَالُوا: قُلْتَ كَذَا وَكَذَا! قَالَ: أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ.[51]
Artinya: “Ab Bakar bin Abi Syaibah dan Amr al-Nâqid menceritakan kepada kami, keduanya (meriwayatkan) dari al-Aswad bin Amir. Abu Bakar berkata: “Aswad bin Amir menceritakan kepada kami, Hammad bin Salamah menceritakan kepada kami dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah, dari Tsabit, dari Anas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama berpapasan dengan sekolompok orang yang sedang mengawinkan pohon kurmanya. Lalu beliau bersabda, “Seandainya kalian tidak melakukan (itu) niscaya hal itu akan tetap baik.” Anas berkata: “Lalu muncullah kurma mentah yang buruk kualitasnya. Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama berpapasan dengan mereka, beliau bertanya, “Ada apa dengan kurma kalian?” Mereka menjawab, “Kurmanya buruk kualitasnya padahal Anda dahulu mengatakan ini dan itu!” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda: “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.” (HR. Imam Muslim)
Cuplikan kisah di atas menggambarkan ketidaktepatan sabda Rasu­lullah sahallallahu ‘alaihi wasallam dengan kenyataan. Beliau mengatakan, “Jika kalian tidak melakukan hal itu (penyerbukan), niscaya baik”. Nyatanya, setelah mereka meninggalkan penyerbukan itu, keluarlah buah kurma jelek, kering dan jatuh. Apakah Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam keliru? Pertanyaan ini bisa berimplika­si fatal jika dipahami dengan mentah-mentah dan sepotong-sepotong, sehingga hadis ini diartikan sebagai pembenaran Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam bahwa urusan dunia sepenuhnya diatur menurut selera masing-masing.
Hadis ini sama sekali bukan pembenaran terhadap sekularisme. Pemahaman bahwa hadis ini sebagai penyerahan urusan dunia kepada masing-masing individu bermula dari pemahaman yang terpotong. Memahami keseluruhan hadits tersebut hanya dari potongan kalimat antum a’lamu bi amri dunyâkum merupakan pelanggaran terhadap etika berpikir. Tidak etis, jika kita memahami pernyataan seseorang, apalagi sabda Nabi, tidak dari konteksnya. Soalnya, konteks merupakan qarinah yang menuntun kepada apa sebenarnya yang dimak­sudkan oleh penuturnya.
Melihat konteks kalimat, posisi antum a’lamu bi amri dunyâkum dalam hadits tersebut bukan sebagai tasyri’, tapi i‘tidzar (dalih) Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallamatas ketidaksesuaian pandangan beliau dengan kenyataan. Indikasi i’tidzar itu juga didukung oleh riwayat-riwayat lain yang senada.
Diriwayatkan oleh Thalhah dari ayahnya: “Aku bersama Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam lewat di antara orang-orang yang sedang memanjat pohon kurma. “Apa yang mereka lakukan?” tanya Rasul. “Menyerbukkan kurma,” jawab sahabat. Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallambersabda: “Menurut dugaanku, itu tidak memberi pengaruh apa-apa”. Sahabat memberitahukan sabda Rasul tersebut kepada para pemanjat. Mereka meninggalkan pekerjaan itu. Lalu sahabat memberitahukan hal tersebut kepada Rasul. Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika hal itu berguna, maka lakukanlah. Aku hanya berpraduga. Jangan kau memegang pradugaku, tapi jika aku menyam­paikan sesuatu dari Allah, maka ambillah. Sesungguhnya aku takkan berdusta atas Allah.”[52] Hadis senada juga dari ‘Ikrimah bin ‘Ammar, dalam hal ini Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallambersabda: “Aku ini seorang manusia. Jika aku memerintahkan urusan agama kepada kalian, maka kerjakanlah. Bila aku memerintahkan sesuatu dari pendapatku, maka aku ini adalah manusia.”[53]
Imam al-Nawawi dalam syarahnya, mengkhususkan hadis ini hanya dalam urusan duniawi dan mata pencaharian, bukan dalam urusan syariat dan pemberlakuannya. Urusan duniawi yang dimaksud adalah hanya berkisar hal-hal yang disabdakan beliau tidak dalam konteks tayri’ (menjadikan peraturan). Sedang ijtihad beliau mengenai urusan duniawi dalam konteks tasyri’, wajib dijadikan sebagai pedoman. Sementara mengawinkan pohon kurma tidak termasuk dalam konteks tasyri’, tetapi masuk dalam konteks permasalahan duniawi semata dan Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam tidak menilai apa yang disabdakannya terkait dengan pengawinan pohon kurma tersebut sebagai sebuah syariat.[54]
Para ulama mengatakan bahwa sabda Nabi sahallallahu ‘alaihi wasallam tentang mengawinkan pohon kurma tersebut bukanlah sebuah khabar (hadis atau pemberitaan wahyu), melainkan perkataan beliau yang berdasarkan asumsi atau dugaan pribadi semata. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam dua hadis di atas.[55] Selanjutnya, para ulama mengatakan bahwa pendapat dan perkiraan pribadi Nabi sahallallahu ‘alaihi wasallam dalam urusan penghidupan duniawi itu sama halnya dengan pendapat dan praduga manusia lainnya. Oleh karena itu, hal seperti ini tidak boleh dianggap mustahil dan sama sekali bukanlah merupakan cacat. Itu terjadi karena semangat dan ambisi mereka (para sahabat) selalu terfokus pada akhirat, sehingga kurang perhatian terhadap urusan duniawi.[56] Sebaliknya, ahli dunia yang senantiasa berorientasi kepada kehidupan duniawi dan lalai terhadap akhiratnya.
Al-Hasil, semuanya sepakat bahwa hadits ini tidak bisa dipahami hanya pada potongan kalimat antum a’lam bi amri dunyâkum. Tapi, harus dipahami sesuai konteks kalimat. Secara lafdhiyah  danhaliyah, terdapat qarinah yang mengindikasikan bahwa hadis ini tidak bisa dijadikan dalil pemasrahan urusan dunia kepada masing-masing orang.
Kasus penyerbukan kurma, jelas diserahkan kepada ahli kurma. Seperti Nabi sahallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya pada Salman Alfarisi dalam strategi perang, yang kemudian Nabi sahallallahu ‘alaihi wasallam mengikuti saran membuat parit mengelilingi kota. Makanya sering kali sahabat bertanya dulu pada Nabi sahallallahu ‘alaihi wasallam, apakah yang dikatakan Nabi sahallallahu ‘alaihi wasallamitu dari wahyu atau bukan? Kalau wahyu, langsung mereka diam dan taat. Kalau pendapat pribadi, maka sahabat mengajak Nabi sahallallahu ‘alaihi wasallam diskusi mencari ide yang lebih baik.
Jadi, alam semesta sebagai sumber ilmu pengetahuan menurut hadis-hadis di atas sudah sangat jelas pada beberapa potongan kalimat dalam kasus penyerbukan pohon kurma, yaitu: “Jika hal itu bermanfaat bagi mereka, maka silakan mereka melakukakannya”, dan “kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.” Hal ini mengindikasikan bahwa manusia diberi otoritas sepenuhnya untuk memanfaatkan semua yang diciptakan Allah, baik yang ada di darat dan di laut, bahkan di udara  untuk kemaslahatan dan  kesejahteraan hidup manusia itu sendiri. Untuk bisa memanfaatkan semua itu jelas diperlukan ilmu pengetahuan. Di samping itu, ungkapan tersebut mengindikasikan pemikiran, pengalaman, penelitian, percocabaan, dan lain-lain dalam menemukan ilmu pengetahuan yang benar.
Alam semesta, bumi, langit beserta segala isinya, Allah Subhânahu wa Ta’ala peruntukkan kepada manusia. Manusia sesuai dengan kehadirannya di muka bumi sebagai khalifah, diberi wewenang dan hak untuk mengelolah dan memanfaatkannya, untuk kebahagian lahir dan bathin. Sebagaimana Firman-Nya:
óOs9r&(#÷rts?¨br&©!$#t¤yNä3s9$¨BÎûÏNºuq»yJ¡¡9$#$tBurÎûÇÚöF{$#x÷t7ór&uröNä3øn=tæ¼çmyJyèÏRZotÎg»sßZpuZÏÛ$t/ur3z`ÏBurĨ$¨Z9$#`tBãAÏ»pgäÎû«!$#ÎŽötóÎ/5Où=ÏæŸwurWèdŸwur5=»tGÏ.9ŽÏZBÇËÉÈ
Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (ke-Esaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.” (QS. Lukman [31]: 20).
Kreativitas manusia dalam mengelolah alam semesta, akan melahirkan berbagai inovasi sesuai dengan tuntunan perkembangan zaman dan pradaban. Variasi dari objek penilitian terhadap alam tersebut, akan melahirkan ilmu alam, ilmu eksakta (pasti) termasuk sains dan teknologi. Keberadaan ilmu-ilmu ini, lebih banyak mendekati kebenaran, dalam arti sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah, sebab yang dikaji adalah sunnatullah fial-qaum yang bersifat tetap dan pasti.
Dengan demikian, dapat kita ketahui bahwa sumber ilmu pengetahuan itu berasal dari dua sumber yaitu ayat-ayat tanziliyah (Alquran dan Sunnah) dan ayat-ayat kauniyah (alam semesta dan segala fenomenanya). Berbeda halnya dengan pemikiran Barat yang mengandalkan hanya satu sumber, yakni alam atau universum, dan dalam memahaminya pun hanya mengandalkan kemampuan indra dan akal, yang jelas kemampuannya sangat terbatas.
Berdasarkan paparan di atas, seyogyanya pendidikan Islam menempatkan Alquran dan Sunnah pada posisi yang paling sentral sebagai dasar dan sumber pendidikan Islam. Pendidikan adalah bagian integral yang tak terpisahkan dari ajaran Islam secara keseluruhan. Dasar-dasar pendidikan Islam inheren dengan sumber utama ajaran Islam itu sendiri.  Oleh karena itu, segala kegiatan dan proses pendidikan Islam harus senantiasa berorientasi pada prinsip dan nilai-nilai Alquran dan Sunnah. Hasan Langgulung seperti dikutip Azyumardi Azra, menyatakan bahwa Alquran dan sunnah sebagai dasar pendidikan Islam mengandung beberapa hal positif bagi pengembangan pendidikan, yaitu antara lain penghormatan dan penghargaan kepada akal manusia, bimbingan ilmiah, tidak menentang fitrah manusia dan memelihara keutuhan dan kebutuhan sosial.[57]
Senada dikemukakan Burhanuddin Abdullah, Alquran dan Sunnah sebagai dasar dan sumber pendidikan Islam selalu relavan dan sesuai dengan situasi dan kondisi perubahan zaman. Artinya, Alquran dan Sunnah memiliki makna atau tafsir yang kontekstual dinamis.[58] Oleh karena itu, para ahli pendidikan Islam dituntut untuk selalu menggali kedua sumber tersebut untuk mengembangkan pendidikan Islam agar seirama dengan perkembangan kebudayaan, sains dan teknologi modern.
Di samping itu, studi emperis terhadap alam dan kehidupan manusia semestinya juga mendapatkan prioritas yang sama dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan Islam. Adanya ayat-ayat kauniyah tersebut tidak dapat diabaikan begitu saja tanpa mendistorsi cakupan makna Alquran dan Sunnah. Studi empirik interdisepliner dapat memahami kandungan ayat-ayat tanziliyah (Alquran dan Sunnah) dengan utuh.[59]

3.    Pemanfaatan Ilmu
Pemanfaatan ilmu pengetahuan adalah suatu keharusan dan bahkan wajib dalam Islam. Sebab, ilmu yang telah dimiliki akan diminta pertanggungjawaban tentang pemanfaatannya kelak di akhirat. Sebagaimana ditegaskan oleh Nabi Muhammad sahallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya sebagi berikut:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمنِ، أَخْبَرَنَا الأَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ، حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنِ عَيَّاشٍ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ سَعِيْدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ جُرَيْجٍ عَنْ أَبِي بَرْزَةَ الأَسْلَمِيِّ، قَالَ: قَالَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  لَا تَزُوْلَ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيْمَ فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَ أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيْمَ أَبْلاَهُ[60]
Artinya: “Abdullah bin Abdurrahman menceritakan kepada kami, al-Aswad bin ‘Amir mengabarkan kepada kami, Abu Bakar bin ‘Ayyâs menceritakan kepada kami dari al-‘A’masy, dari Sa’id bin Abdullah bin Juraij, dari Abu Barzah al-Aslamiy, dia berkata: Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya. (al-Tirmidzi menyatakan bahwa hadis ini hasan-shahih. Sedangkan menurut Husein Salim Asad hadis ini shahih dengan sanad yang hasan, karena terdapat Abu Bakar bin ‘Ayyâs, sebagimana diriwayatkan al-Dârimiy).
Hadis di atas meinformasikan tentang empat hal yang harus kita pertanggungjawabkan kepada Allah Subhânahu Wa Ta’ala pada hari kiamat nanti, yaitu umur, ilmu, harta, dan tubuh. Semua nikmat ini dipertanggungjawabkan tentang pemanfaannya.
Ilmu yang dipertanggungjawabkan dalam konteks bahasan ini mencakup semua yang bermanfaat bagi manusia seperti meliputi ilmu agama, ilmu alam, ilmu sosial dan lain-lain. Ilmu-ilmu ini jika dikembangkan dengan benar dan baik maka memberikan dampak yang positif bagi peradaban manusia. Misalnya, perkembangan sains akan memberikan kemudahan dalam lapangan praktikal manusia.
Hadis di atas menginginkan agar antara ilmu dan amal selaras. Barangsiapa berilmu maka dia harus berbuat, baik itu ilmu yang berhubungan dengan masalah ibadah maupun ilmu-ilmu yang lain. Tidak tidak bermanfaat ilmu yang tidak diamalkan. Amal merupakan buah dari ilmu, jika ada orang yang mempunyai ilmu tapi tidak beramal maka seperti pohon yang tidak menghasilkan manfaat bagi penanamnya. Begitu pula, tidak ada manfaatnya ilmu fikih yang dimiliki seorang fakih jika dia tidak mengubahnya menjadi perbuatan.
Padahal, kaedah Islam menekankan bahwa ilmu senantiasa menyeru kepada amal perbuatan. Keduanya tidak ubahnya sebagai dua benda yang senantiasa bersama dan tidak terpisah satu sama lain. Jika amal memenuhi seruan ilmu maka umat menjadi baik dan berkembang.Namun jika tidak, maka ilmu akan meninggalkan amal perbuatan, dan dia akan tetap tinggal tanpa memberikan manfaat apa pun. Jika demikian nilai apa yang dimiliki seorang manusia yang mempunyai segudang teori dan pengetahuan namun tidak mempraktikkannya dalam dunia nyata. Kondisi seperti ini bisa menjadi bumerang dan bahkan dimurkai Allah, sebagai firman-Nya: 
$pkšr'¯»tƒtûïÏ%©!$#(#qãZtB#uäzNÏ9šcqä9qà)s?$tBŸwtbqè=yèøÿs?ÇËÈuŽã9Ÿ2$ºFø)tByYÏã«!$#br&(#qä9qà)s?$tBŸwšcqè=yèøÿs?ÇÌÈ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. al-Shaffat [61]: 2-3).
Ayat di atas menjelaskan bahwa ilmu dengan amal sejatinya senantiasa bergandengan. Makna ilmu diungkapkan dalam bentuk kata iman pada banyak tempat, dengan pengertian bahawa iman adalah ilmu atau keyakinan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammenjelaskan bahwa ilmu digunakan untuk bertaqwa kepada Allah Subhânahu Wa Ta’ala dan menggapai rahmat-Nya, sebagai berikut:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمعِيْلَ، حَدَّثَنَا أَبُو نَعِيْمٍ، حَدَّثَنَا عَبَادَةُ بْنُ مُسْلِمٍ، حَدَّثَنَا يُوْنُسُ بْنُ خَبَّابٍ عَنْ سَعِيْدِ الطَّائِيِّ أَبِي الْبَخْتَرِيِّ أَنَّهُ قَالَ: حَدَّثَنِي أَبُو كَبْشَةَ الْأَنْمَارِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: ثَلاَثَةٌ أُقْسِمُ عَلَيْهِنَّ وَأُحَدِّثُكُمْ حَدِيْثًا فَاحْفَظُوْهُ، قَالَ: مَانَقَصَ مَالُ عَبْدٍ مِنْ صَدَقَةٍ، وَلَا ظَلِمَ عَبْدٌ مَظْلَمَةً فَصَبَرَ عَلَيْهَا إِلَّا زَادَهُ اللهُ عِزًّا، وَلَا فَتَحَ عَبْدٌ بَابَ مَسْئَلَةٍ إِلاَّ فَتَحَ اللهُ عَلَيْهِ بَابَ فَقْرٍ أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا، وَأُحَدِّثُكُمْ حَدِيْثًا فَاحْفَظُوْهُ، قَالَ: إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ: عَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيْهِ رَبَّهُ،وَيَصِلُ فِيْهِ رَحِمَهُ، وَيَعْلَمُ للهِ فِيْهِ حَقًّا، فَهذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ. وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالاً، فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُوْلُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ نِيَّتُهُ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ. وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا، فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِى فِيْهِ رَبَّهُ، وَلَا يَصِلُ فِيْهِ رَحِمَهُ، وَلَا يَعْلَمُ للهِ فِيْهِ حَقًّا، فَهذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ. وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللهُ مَالًا وَلَا عِلْمًا فَهُوَ يَقُوْلُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ فِيْهِ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ نِيَّتُهُ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ.[61]
Artinya: “Muhammad bin Ismail menceritakan kepada kami, Abu Na’im menceritakan kepada kami, Ubadah bin Muslim menceritakan kepada kami, Yunus bin Khabbab menceritakan kepada kami dari Sa’id al-Thâiy Abu al-Bakhtariy, ia berkata: Abu Kabsyah al-Anmariy mencerikan kepadaku bahwa ia mendengar Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ada tiga perkara yang aku bersumpah atasnya dan kuberitahukan kepada kalian suatu hadis, maka peliharalah itu, beliau bersabda: “Tidaklah harta seseorang itu akan menjadi berkurang sebab disedekahkan, tidaklah seorang hamba dianiaya dengan suatu penganiayaan dan ia bersabar dalam menderitanya melainkan Allah menambahkan kemuliaan padanya, dan tidaklah seorang hamba itu membuka pintu permintaan, melainkan Allah membuka untuknya pintu kemiskinan, atau sejenisnya." Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam melanjutkan, dan kuberitahukan kepada kalian suatu hadis, maka peliharalah itu, beliau bersabda: “Sesungguhnya di dunia ini ada empat golongan manusia. Pertama, manusia yang diberi oleh Allah harta dan ilmu. Kemudian (harta dan ilmu tersebut) dia gunakan untuk bertakwa kepada Tuhannya dan berusaha untuk menggapai rahmat-Nya. Dia tahu bahwa dalam harta dan ilmu tersebut Allah memiliki hak. Maka, orang ini mendapatkan tempat yang paling mulia (di sisi Tuhannya). Kedua, manusia yang diberi oleh Allah ilmu, namun tidak diberi harta. Orang ini memiliki niat yang suci, dan ia berkata, ‘Andai saja aku memiliki harta maka aku akan gunakan seperti si fulan (disedekahkan dan digunakan untuk kebaikan).’ Maka atas niatnya ini ia mendapatkan pahala seperti orang yang menafkahkan hartanya dalam kebaikan. Ketiga, manusia yang diberi oleh Allah harta, namun tidak diberi ilmu. Dia menggunakan hartanya tanpa disertai ilmu dan dia tidak  bertakwa kepada Tuhannya (dia bersedekah untuk pamer dan riya). Dia tidak tahu bahwa dalam harta tersebut Allah memiliki hak. Maka, orang seperti ini mendapatkan tempat yang paling hina. Keempat, manusia yang tidak diberi oleh Allah harta dan ilmu. Dia berkata, ‘Andai saja aku memiliki harta, maka akan aku gunakan seperti si fulan (untuk maksiat, pamer, dan riya), maka dengan niatnya ini dia akan mendapatkan imbalan sama seperti orang yang didambakannya.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad. Tirmidzi menyatakan hadis ini hasan shahih, sementara al-Albaniy menyatakan shahih).
Kelompok pertama dalam hadis di atas menduduki derajat tertinggi dan paling mulia di sisi Allah Subhânahu wa Ta’ala. Posisi ini diperoleh dengan harta dan ilmu yang dipergunakan untuk beribadah kepada Allah semata. Allah Subhânahu wa Ta’ala telah memberikannya harta dengan cara halal, ilmu yang bermanfaat, dan petunjuk untuk beramal sesuai dengan ilmu yang diketahuinya. Kelompok pertama ini bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu disertai dengan niat yang ikhlas, kemudian mengaplikasikan ilmu yang dimilikanya. Ilmu membutuhkan sebuah amal, sebagaimana amal menginginkan kesuksesan. Harta tidak akan bermanfaat, kecuali dinafkahkan ke jalan yang benar. Begitu pula dengan ilmu, tidak akan memberikan manfaat kecuali diamalkan dan dan diaplikasikan untuk kemaslahatan.
Berdasakan konteks bahasan tulisan ini, orang yang diberi oleh Allah Subhânahu wa Ta’ala anugerah ilmu pengatahuan dan mengamalkannya menempati posisi yang paling mulia di sisi Tuhannya. Derajat tinggi ini diperoleh karena pemanfaatan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh untuk beribadah kepada Allah Subhânahu wa Ta’aladalam arti yang seluas-luasnya.
Dengan demikian, ilmu baru bisa disebut sebagai ilmu jika diamalkan. Sebab, tidak ada ilmu yang berguna tanpa amal, dan tidak ada amal yang bermanfaat tanpa ilmu. Maka, tujuan pemanfaatan ilmu pengetahuan adalah untuk kesejahteraan, ketenangan, dan ketenteraman umat manusia, bukan sebaliknya untuk mengahancurkan kehidupan dan melawan Tuhan.
Implikasinya terhadap pendidikan Islam adalah agar selalu menanamkan kepada parastake holder bahwa usaha untuk mempelajari, menggali, dan mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dalam rangka pengabdian kepada Allah Subhânahu wa Ta’ala sebagai Khaliq (Pencipta) ilmu pengetahuan.  


C.  SIMPULAN

Berdasarkan uraian hadis yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya hadis Nabi cukup banyak yang menjelaskan hakikat dan sumber ilmu pengetahuan serta pemanfaatannya.
Hakikat ilmu pengetahuan dalam Islam adalah rangkaian aktivitas manusia dengan prosedur ilmiah, baik melalui pengamatan, penalaran, maupun intuisi. Rangkaian aktivitas tersebut akan menghasilkan pengetahuan yang sistematis mengenai alam serta isinya. Ilmu pengetahuan dalam konsep Islam dapat mengantarkan manusia pada pemilik rahasia alam raya ini, bukan sekadar ilmu untuk ilmu atau ilmu bebas nilai, melainkan ilmu sarat nilai. Selain itu, juga mengandung nilai-nilai logika, etika, estetika, hikmah, rahmah, dan petunjuk bagi kehidupan manusia di dunia dan akhirat.
Secara garis besar, sumber ilmu pengetahuan itu diklasifikasikan menjadi dua, yakni ayat-ayat tanziliyyah (Alquran dan Sunnah) dan ayat-ayat kauniyyah (alam semesta dengan segala fenomenanya). Ayat-ayat tanziliyyah diperoleh manusia melalui perantaraan utusan Allah, yaitu para Nabi dan Rasul Allah.Sedangkan ayat-ayat kauniyyah diperoleh manusia melalui usahanya mempelajari ciptaan Allah. Kedua sumber ilmu ini bersifat komplementer, yakni saling melengkapi. Pemisahan keduanya berakibat munculnya dualisme keilmuan, sebagaimana ditunjukkan oleh sejarah, dan berbahaya bagi masa depan peradaban manusia.
Islam menekankan bahwa ilmu senantiasa menyeru kepada amal perbuatan. Keduanya tidak ubahnya sebagai dua benda yang senantiasa bersama dan tidak terpisah satu sama lain. Jika amal memenuhi seruan ilmu maka umat menjadi baik dan berkembang. Ilmu dalam Islam baru bisa disebut sebagai ilmu jika diamalkan,karena tidak ada ilmu yang berguna tanpa amal, dan tidak ada amal yang bermanfaat tanpa ilmu. Maka, tujuan pemanfaatan ilmu pengetahuan adalah untuk kesejahteraan, ketenangan, dan ketenteraman umat manusia.

DAFTAR PUSTAKA


Âbâdiy, Abu al-Thayyib Muhammad Syams al-Haqq al-‘Azhîm.‘Aun al-Ma’bûd: Syarh Suanan Abi Daud, Juz X, ta’lîq al-Hâfizh Ibn Qayyim al-Jauziyyah. Madinah: al-Maktabah al-Salafiyyah, 1968.

Abdullah,Burhanuddin.Pendidikan Islam Sebagai Sebuah Disiplin Ilmu.Yogyakarta: Pustaka Prisma, 2010.

al-Abrâsyiy,Muhammad Athiyyah.al-Tarbiyah al-Islâmiyyah wa Falasifatuha.Beirut: Dâr al-Fikr, 1969.

Ali,Muhammad Daud.Pendidikan Agama Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010.

al-Andalûsiy, al-Imâm al-Hâfiz Abu Umar Yusuf bin Abdullah Ibn Muhammad bin Abd al-Barr al-Namiriy.al-Istidzkâr, Juz XXVI. Beirut: Dâr Qutaibah li al-Thaba’ wa al-Nasyr, 1993.

al-‘Asqalâniy, al-Hâfizh Ahmad bin Ali bin Hajar.Fath al-Bâriy bi Syarh Shahîhal-Bukhâriy, jilid I, tahqîq Abu Qutaibah Nazhar Muhmmad al-Faryâbiy. t.t.: Dâr Thaibah, t.t.

al-Atsîn,Musa Syâhîn.Fath al-Mun’im: Syarh Shahîh Muslim, juz IX. Kairo: Dâr al-Syurûq, 2002.

al-Azadiy, al-Imâm al-Hâfizh Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sijastâniy.Sunan Abu Daud, Juz IV,I’dâd wa Ta’lîq ‘Izzat ‘Ubaid al-Da’âs dan Adil al-Sayyid. Beirut: Dâr Ibn Hazam, 1997.

Azra,Azyumardi.Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru.Jakarta: Logos wacana Ilmu, 2002.

al-Baghdâdiy, al-‘Allâmah Abi Fadl Syihâb al-Dîn al-Sayyid Mahmûd al-Alûsiy.Rûh al-Ma’ânî fi al-Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa al-Sab’i al-Matsâni, juz XXI.Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabiy, t.t.

al-Bâjiy,al-Qâdhiy Abu al-Walîd Sulaiman bin Khalaf bin Sa’ad bin Ayyub.al-Muntaqâ Syarh Muwathha’ Mâlik, juz VIII, tahqîq Muhammad Abd al-Qâdir Ahmad Atha’. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999.

al-Balansiy, al-Syaikh al-‘Allâmah al-Faqîh Abu al-Hasan Ali bin Khlaf bin Abdul Malik bin Baththâl al-Bakriy al-Qurthubiy.Syarh Shahîh al-Bukhâriy , juz I, tahqîq Abu Tamim Yasir bin Ibrahim. Riyadh: Maktabah al-Rusyd, t.t.

al-Bukhâriy, al-Imâm Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. al-Jâmi’ al-Shahîh: al-Musnad min Hadîts Rasûillah Shallallâh ‘Alaih wa Sallam, juz I. Kairo: al-Mathba’ah al-Salafiyyah wa Maktabatuha, 1400 H.

al-Dârimiy,al-Imâm al-Hâfizh Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman bin al-Fadhl bin Bahram.Sunan al-Dârimiy, juz I, tahqîq Husein Salim Asad al-Dârâniy. Riyadh: Dâr al-Mughniy li al-Nasyr wa al-Tauzî’, 2000.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam.Ensiklopedi Islam, Jilid II. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.

al-Fârisiy, ‘Alâ’ al-Dîn Ali bin Balbân.ShahîhIbn Hibbân bi Tartîb Ibn Balbân, Juz I, tahqîq Syu’aib al-Arnaûth.Beirut: Muassah al-Risâlah li al-Thaba’ wa al-nasyr, 1993.

al-Hasani,Muhammad al-Maliki.Kemuliaan dan Kesempurnaan Pribadi Muhammad SAW, terj. Muhammad Al Mighwar. Bandung: Pustaka Pelajar, 2006.

Ibn Zakariya, Abu al-Husain Ibn Fâris.Mu’jam Maqâyîs al-Lughah, Juz II.Beirut: Dâr al-Fikr, 1979.

al-Isfahaniy, al-Raghib.Mu’jam Mufradat al-Fazh al-Qur’an.Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.

al-Jauziyyah, al-‘Allâmah al-Imâm Syaikh al-Islâm Syams al-Dîn Abu Abdullah Muhammad bin Abu Bakar Ibn Qayyim.al-‘Ilm Fadhluhu wa Syarafuhu. Riyadh: Majmû’ah al-Tuhaf al-Nafâis al-Dauliyyah, 1996.

al-Jazairiy, Abu Bakar bin Jabir.Aisar at-Tafâsîr li al-Kalâm al-`Aliy al-Kabîr, jilid IV. Madinah Al Munawwarah: Maktabah al ‘Ulum al Hikam, 2003.

al-Khandalawi,Maulana Muhammad Zakariyya.Himpunan Fadhilah Amal, terj. A. Abdurrahman Ahmad. Yogyakarta: Ash-Shaff, 2003.

al-Khathîb, Muhammad ‘Ajjâj.Ushûl al-Hadîts Ulûmuhu wa Mushthalahuhu.Beirût: Dâr al-Fikr,1989.

al-Kirmaniy, al-Imâm al-‘Allâmah Syamsuddin Muhammad bin Yusuf bin Ali.al-Kawâkib al-Durariy fi Syar al-Bukhâriy, juz II. Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabiy, 1981.

Langulung, Hasan.Asas-asas Pendidikan Islam.Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2003.

Ma’lûf, Lois.al-Munjid fi al-Lughah wa al-‘Alam.Beirut: Dâr al-Masyrûq, 1997.

Makbuloh,Deden.Pendidikan Islam:Arah Baru Pengembangan Ilmu dan Kepribadian di Perguruan Tinggi.Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011.

Malik bin Anas, al-Imâm.al-Muwaththa’, jilid II, biriwayah Yahya bin Yahya al-Laitsiy al-Andalûsiy. Beirut: Dâr al-Gharb al-Islâmiy, 1997.

al-Maliky,Muhammad Abd al-Baqi ibn Yusuf al-Zarqani al-Mishry al-Azhariy.Syarh al-Zarqâniy ‘ala al-Muwaththa’ al- Imam Malik, juz IV. t.t.: al-Mathba’ah al-Khairiyyah, t.t.

al-Maqdisiy,al-Hâfizh Dhiyâ’ al-Dîn Muhammad bin Abd al-Wâhid.Fadhâil al-‘A’mâl, Juz IV, tahqîq Ghassân Isa Muhammad Hermâs. Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1987.

Munawwir,Ahmad Warson.Munawwir: Kamus Arab-Indonesia.Surabaya: Pustaka Progressif, 2002.

al-Naisâbûriy, al-Imâm al-Hâfizh Abu Abdillah al-Hâkim.al-Mustadrak ‘alâ al-Shahîhaini, juz I. Kairo: Dâr al-Haramain li al-Thaba’ wa al-Nasyr wa al-Tauzî’, 1997.

al-Naisâbûriy, al-Imâm al-Hâfizh Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairiy.Shahîh Muslim, jilid I. Beirut: Dâr al-Fikr, 1992.

_______.Shahîh Muslim, jilid II. Beirut: Dâr al-Fikr, 1992.

al-Nawawiy,al-Imâm Muhyiddin Abu Zakaria Ibn Syaraf.Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawawiy, juz VII. Kairo: al-Mathba’ah al-Mishriyyah bi al-Azhâr, 1929.

_______.Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawawiy, Juz XV. Kairo: al-Mathba’ah al-Mishriyyah bi al-Azhâr, 1929.

al-Nuhâs, al-Imâm Abu Ja’far.Ma’âni al-Qur’ân, juz V, tahqîq ‘Ali al-Shâbûniy. Makkah: al-Jâmi’ah Umm al-Qurâ,1988.

al-Qardhâwiy,Yusuf.al-Rasûl wa al-‘Ilm.Kairo: Dâr al-Shahwah, 2001.

al-Qazwîniy, al-Imâm al-Hâfizh Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Ibn Mâjah.Sunan Ibn Mâjah, juz II, tahqîq Muhammad Fuad Abdul Baqiy. Beirut: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah,  t.t.
Qomar,Mujamil.Epistemologi Pendidikan Islam Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik.Jakarta: Erlangga, 2005.

Sa’diy,Abdurrahman bin Nashir bin Abdullah bin Nashir bin Muhammad Alu.Bahjah Qulûb al-Abrâr wa Qurratu ‘Uyûn al-Akhyâr fî Syarhi Jawâmi’ al-Akhyâr. Saudi Arabia: Maktabah al-Rusyd, 2002.

al-Sahhâranfûriy, al-Syekh Khalil Ahmad.Badzl al-Majhûd fi Halli Abi Daud, juz XV. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.

Shihab, M. Quraish.Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat.Jakarta: Mizan, 1998.

Supadie,Didiek Ahmad. ed. Pengantar Studi Islam.Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011.

al-Syâfi’iy, Sulaiman Ibn Umar al-Ajiliy.al-Futûhât al-Ilâhiyyah, Juz II.Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.

al-Syibâniy, al-Imâm al-Hâfizh Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Asad.Musnad al-Imâm Ahmad bin Hambal, juz VII, tahqîq Syu’aib al-Arnaûth. Beirut: Muassah al-Risâlah li al-Thaba’ wa al-nasyr, 1999.

_______.Musnad al-Imâm Ahmad bin Hambal, juz XXIX, tahqîq Syu’aib al-Arnaûth. Beirut: Muassah al-Risâlah li al-Thaba’ wa al-nasyr, 1999.

al-Thabariy, Abu Ja’far Muhammad bin Jarîr.Tafsîr al-Thabariy Jâmi’ al-Bayân an Ta’wîl Ây al-Qur’ân, jilid XVII, tahqîq Abdullah bin Abdu al-Muhsîn al-Tirkiy. Kairo: Markaz al Buhûts wa al-Dirâsât al-‘Arabiyyah wa al-Islâmiyyah bi Dâr Hijr al-Duktûr Abd al-Sindi Hasan Yamâmah, 2001.

Tim Penyusun.Majma` al Lughah al-Arabiyyah, al Mu`jam al-Wasith, jilid II. Kairo: 1980.

al-Tirmidziy, al-Imâm al-Hâfizh Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah.al-Jâmi’ al-Shahîh wa Huwa Sunan al-Tirmidziy, juz V, tahqîq Ibrahim ‘Uthwah ‘Iwadh. Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafâ al-Bâbiy al-Halabiy wa Awlâduh, 1975.

_______. Sunan al-Tirmidziy, biahkâm al-‘Allâmah al-Muhaddits Muhammad Nâshir al-Dîn al-Albâniy. Riyadh: Maktabah al-Ma’ârif li al-Nasyr wa al-Tauzi’, t.t.

_______.al-Jâmi’ al-Shahîh wa Huwa Sunan al-Tirmidziy, juz IV, tahqîq Ibrahim ‘Uthwah ‘Iwadh. Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafâ al-Bâbiy al-Halabiy wa Awlâduh, 1975.

al-Yahshabiy,al-Imâm al-Hâfizh Abu al-Fadhl ‘Iyâdh bin Musa bin‘Iyâdh.Ikmâl al-Mu’lim bi Fawâid Muslim, juz VII, tahqîq Yahya Ismail. al-Manshurah: Dâr al-Wafâ li al-Thaba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî’, 1998.

al-Zamakhsyariy, Abu al-Qâsim bin Mahmûd bin Umar.al-Kasysyâf ‘an Haqâiq Ghawâmidh al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-’Aqâwîl fi Wujûh al-Ta’wîl, juz V. Riyadh: Maktabah al-‘Ubaikan, 1998.







[1] Penulis adalah Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Arab STIT Darul Hijrah Martapura
[2]Yusuf  al-Qardhâwiy, al-Rasûl wa al-‘Ilm (Kairo: Dâr al-Shahwah, 2001), h. 37.
[3]Muhammad Athiyyah al-Abrâsyiy, al-Tarbiyah al-Islâmiyyah wa Falasifatuha (Beirut: Dâr al-Fikr, 1969), h. 35. 
[4]al-Imâm Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhâriy (selanjutnya disebut Imam al-Bukhari), al-Jâmi’ al-Shahîh: al-Musnad min Hadîts Rasûillah Shallallâh ‘Alaih wa Sallam, juz I (Kairo: al-Mathba’ah al-Salafiyyah wa Maktabatuha, 1400 H), h. 86.
[5]al-Hâfizh Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqalâniy (selanjutnya disebutIbn Hajar al-‘Asqalâniy), Fath al-Bâriy bi Syarh Shahîhal-Bukhâriy, jilid I, ditahqîq oleh Abu Qutaibah Nazhar Muhmmad al-Faryâbiy (t.t.: Dâr Thaibah, t.t.), h. 316.
[6]Ibn Hajar ‘Asqalâniy, Fath al-Bâriy, jilid I, h. 316.
[7]Lois Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-‘Alam, (Beirut: Dar al-Masyruq, 1997), h. 527. Lihat Ahmad Warson Munawwir, Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), cet., ke-20, h. 966.
[8]Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), cet. Ke-4, h. 201.
[9]Hasan Langulung,Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2003), h. 336.
[10]Tim penyusun, Majma` al Lughah al-Arabiyah, al Mu`jam al-Wasith, jilid II (Kairo: 1980), h. 624.
[11]Kata “ilmu” dan “pengetahuan” atau “ilmu pengetahuan” dalam bahasa Indonesia terkadang dipergunakan sebagai arti dari kata ‘ilm dalam bahasa Arab. Sedangkan untuk kata ma’rifah dari bahasa Arab seringkali hanya diterjemahkan sebagai “pengetahuan”. Dalam terjemahan yang menyangkut definisi, kata ‘ilm diterjemahkan sebagai “ilmu” atau “ilmu pengetahuan” (science) sedangkan kata ma’rifah sebagai “pengetahuan biasa’ atau singkatnya “pengetahuan” (knowledge). Mengenai kata fahm dan fiqh, biasanya kedua kata tersebut diterjemahkan sebagai “pemahaman”. Untuk membedakan keduanya, di sini kata fahm diterjemahkan sebagai “pemahaman” sedangkan kata fiqh diterjemahkan sebagai “pengertian”, yang maksudnya adalah “pemahaman yang lebih mendalam”.Lihat: Abu Bakar Jabir Al-Jazairy, Ilmu dan ulama, (Jakarta: Pustaka Azam, 2001), h. 19.
[12]Imam al-Bukhari, al-Jâmi’ al-Shahîh, juz I, h. 42; al-Imâm al-Hâfizh Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairiy al-Naisâbûriy (selanjutnya disebut Imam Muslim), Shahîh Muslim, jilid I (Beirut: Dâr al-Fikr, 1992), h. 360; al-Hâfizh Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Ibn Mâjah al-Qazwîniy (selanjutnya disebut Ibn Majah), Sunan Ibn Mâjah, juz II, tahqîq Muhammad Fuad Abdul Baqiy (Beirut: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah,  t.t.), h. 1407; al-Imâm al-Hâfizh Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Asad al-Syibaaniy, Musnad al-Imâm Ahmad bin Hambal, juz VII, tahqîq Syu’aib al-Arnaûth (Beirut: Muassah al-Risâlah li al-Thaba’ wa al-nasyr, 1999), h. 183; lihat ‘Alâ’ al-Dîn Ali bin Balbân al-Fârisiy, ShahîhIbn Hibbân bi Tartîb Ibn Balbân, Juz I, tahqîq Syu’aib al-Arnaûth (Beirut: Muassah al-Risâlah li al-Thaba’ wa al-nasyr, 1993), h. 292.
[13]al-Syaikh al-‘Allâmah al-Faqîh Abu al-Hasan Ali bin Khlaf bin Abdul Malik bin Baththâl al-Bakriy al-Qurthubiy al-Balansiy (selanjutnya disebut Ibn Baththal), Syarh Shahîh al-Bukhâriy , juz I, tahqîq Abu Tamim Yasir bin Ibrahim (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, t.t.), h. 158; lihat Ibn Hajar al-‘Asqalâniy, Fath al-Bâriy, jilid I, h. 294.
[14]Para ulama membagi hasad menjadi dua macam, yaitu hasad hakiki dan hasad majazi. Hasad hakiki adalah seseorang berharap nikmat orang lain hilang. Hasad seperti ini diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama) dan adanya dalil tegas yang menjelaskan hal ini. Sedangkan yang dimaksudkan dengan hasad majazi adalah ghibthah,yaitu berangan-angan agar mendapatkan nikmat seperti yang ada pada orang lain tanpa mengharapkan nikmat tersebut hilang. Lihat al-Imâm Muhyiddin Abu Zakaria Ibn Syaraf al-Nawawiy (selanjutnya disebut al-Nawawiy),Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawiy, juz VII (Kairo: al-Mathba’ah al-Mishriyyah bi al-Azhâr, 1929), h. 97.
[15]al-Imâm al-‘Allâmah Syamsuddin Muhammad bin Yusuf bin Ali al-Kirmaniy (selanjutnya disebut al-Kirmaniy), al-Kawâkib al-Durariy fi Syar al-Bukhâriy, juz II (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabiy, 1981), h. 41.
[16]Hikmah berasal dari bahasa Arab, yaitu “al-hikmah” merupakan ism al-mashdar dari kata kerja “hakama” yang berarti menahan atau melarang, yakni melarang dari kezaliman. Kata al-hikmah juga berarti hidayah, sebab menahan kezaliman itu merupakan hidayah dari Allah Swt. Lihat Abu al-Husain Ibn Fâris Ibn Zakariya, Mu’jam Maqâyîs al-Lughah, Juz II(Beirut: Dâr al-Fikr, 1979), h. 91.Kata hakama juga berarti melarang untuk suatu tujuan kebaikan, sehingga dikatakan Luqman mendapat al-hikmah berarti dia memberi peringatan dan menyampaikan semua hikmah  dengan sifat bijak yang dimilikinya. Lihat al-Raghib al-Isfahaniy, Mu’jam Mufradat al-Fazh al-Qur’an, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 126. Jadi, hikmah secara harfiahberarti ucapan yang sesuai dengan kebenaran, falsafat, perkara yang benar dan lurus, keadilan, pengetahuan, dan lapang dada. Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid II (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 112.
[17]Abu Ja’far Muhammad bin Jarîr al-Thabariy (selanjutnya disebut al-Thabariy),Tafsîr al-Thabariy Jâmi’ al-Bayân an Ta’wîl Ây al-Qur’ân, jilid XVII,tahqîq olehAbdullah bin Abdu al-Muhsîn al-Tirkiy (Kairo: Markaz al Buhûts wa al-Dirâsât al-‘Arabiyyah wa al-Islâmiyyah bi Dâr Hijr al-Duktûr Abd al-Sindi Hasan Yamâmah, 2001), h. 546,
[18]al-‘Allâmah Abi Fadl Syihâb al-Dîn al-Sayyid Mahmûd al-Alûsiy al-Baghdâdiy (selanjutnya disebut al-Alûsiy), Rûh al-Ma’ânî fi al-Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa al-Sab’i al-Matsâni, juz XXI(Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabiy, t.t.), h. 83.
[19]al-Thabariy, Jâmi’ al-Bayân, jilid XVII, h. 545.
[20]Imâm Abu Ja’far al-Nuhâs, Ma’âni al-Qur’ân, juz V,tahqîq‘Ali al-Shâbûniy (Makkah: al-Jâmi’ah Umm al-Qurâ,1988),  h. 282.
[21]Abu al-Qâsim bin Mahmûd bin Umar al-Zamakhsyariy (selanjutnya disebut al-Zamakhsyariy), al-Kasysyâf an Haqâiq Ghawâmidh al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-’Aqâwîl fi Wujûh al-Ta’wîl, juz V (Riyadh: Maktabah al-‘Ubaikan, 1998), h. 11. 
[22]al-Alusiy, Rûh al-Ma’ânî,juz XXI, h. 83.
[23]Sulaiman Ibn Umar al-Ajiliy al-Syâfi’iy, al-Futûhât al-Ilâhiyyah,Juz II(Beirut: Dâr al-Fikr, t.t), h. 403.
[24]Lihat QS. al-Baqarah [2/87] ayat 269.
[25]Hasad terdiridari dua macam, yaituhasadmadzmûm (tercela) dan hasadmamdûh (terpuji) dalam setiap keadaan. Hasad madzmûm adalah mengharapkan hilangnya nikmat dari orang lain, baik dalam urusan-urusan agama atau dalam urusan-urusan keduniawiaan, baik terbesit dalam hati atau dalam bentuk usaha menghilangkan kenikmatan itu. Inilah hasad yang dilarang karena ia merupakan sifat tercela. Sedangkan yang dimaksud dengan  hasadmamdûh adalah sebagaimana pengertian hasad dalam hadits tersebut di atas, dan hasad jenis ini masuk dalam bab Tamannîal-Khair (mengharapkan kebaikan). Lihat Abdurrahman bin Nashir bin Abdullah bin Nashir bin Muhammad Alu Sa’di, Bahjah Qulûb al-Abrâr wa Qurratu ‘Uyûn al-Akhyâr fî Syarhi Jawâmi’ al-Akhyâr(Saudi Arabia: Maktabah al-Rusyd, 2002), h. 203.
[26]Ilmu pengetahuan juga diperoleh melalui hidayah Allah Subhânau wa Ta’ala, yaitu berupa firasat, intuisi, dan sejenisnya dengan penyucian hati. M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat(Jakarta: Mizan, 1998), hlm. 438.Berdasarkan proses, ilmu seperti ini disebut juga dengan ilmu laduni, yakni ilmu yang diperoleh tanpa upaya seperti yang terjadi pada kasus Nabi Khaidir. Lihat Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), h. 394.
[27]al-Hâfizh Abu al-Qâsim Sulaiman bin Ahmad al-Thabrâniy, al-Mu’jam al-Kabîr, juz IX, tahqîq Hamdi Abdul Majid al-Salafiy (Kairo: Maktabah Ibn Taimiyah t.t), h. 395.
[28]Ibn Hajar al-‘Asqalâniy, Fath al-Bâriy, jilid I, h. 284.
[29]Imam al-Bukhari, al-Jâmi’ al-Shahîh, jilid I, h. 41.
[30]Abu Bakar bin Jabir al-Jazairi, Aisar at-Tafâsir li al-Kalam al-`Aliy al-Kabîr, jilid IV (Madinah Al Munawwarah: Maktabah al ‘Ulum al Hikam, 2003), h. 354.
[31]Kajian terhadap sumber ilmu dalam Islam memadukan bahan-bahan empiris (kealaman) dan spiritual (kewahyuan). Pemaduan kedua bahan inilah yang akan memunculkan konsep epistemologi Islam yang berbeda dengan konsep epistemologi Barat. Menurut Mujamil Qomar, kiblat epistemologi Barat yang mengistimewakan peranan manusia dalam memecahkan “segala sesuatu”, dan dalam waktu bersamaan menentang dimensi spritual yang kemudian menjadi sumber krisis epistemologi yang berimplikasi pada krisis pengetahuan, maka ada upaya untuk mencari pemecahan dengan mempertimbangkan epistemologi lain. Sedangkan epistemologi Islam yang diformulasikan berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan respons kreatif terhadap tantangan modern yang membahayakan kehidupan dan keharmonisan manusia sebagai akibat epistemologi Barat. Lihat Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2005), h. 103.
[32]M. Quraish Shihab, h. 440.
[33]al-Imâm Malik bin Anas (selanjutnya disebut Imam Malik), al-Muwaththa’, jilid II, biriwayah Yahya bin Yahya al-Laitsiy al-Andalûsiy (Beirut: Dâr al-Gharb al-Islâmiy, 1997), h. 480. Lihat al-Imâm al-Hâfizh Abu Abdillah al-Hâkim al-Naisâbûriy, al-Mustadrak ‘alâ al-Shahîhaini,Juz. I (Kairo: Dâr al-Haramain li al-Thaba’ wa al-Nasyr wa al-Tauzî’, 1997), h. 161.
[34]Imam Malik, al-Muwaththa’, biriwayah Yahya bin Yahya al-Laitsiy al-Andalûsiy, jilid II, h. 480. Lihat juga jjuz Xxi, h. 631.
[35]Muhammad Ajjâj al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts Ulûmuhu wa Mushthalahuhu (Beirût: Dâr al-Fikr,1989), h. 19.
[36]Muhammad Abd al-Baqi ibn Yusuf al-Zarqani al-Mishry al-Azhariy al-Maliky, Syarh al-Zarqâniy ‘ala al-Muwaththa’ al- Imam Malik, juz IV (t.t.: al-Mathba’ah al-Khairiyyah, t.t.), h. 86-87.
[37]al-Imâm al-Hâfiz Abu Umar Yusuf bin Abdullah Ibn Muhammad bin Abd al-Barr al-Namiriy al-Andalûsiy (selanjutnya disebut Ibn Abd al-Barr), al-Istidzkâr, Juz XXVI (Beirut: Dâr Qutaibah li al-Thaba’ wa al-Nasyr, 1993), h. 98-99.
[38]al-Qâdhiy Abu al-Walîd Sulaiman bin Khalaf bin Sa’ad bin Ayyub al-Bâjiy, al-Muntaqâ Syarh Muwathha’ Mâlik, juz VIII, tahqîq Muhammad Abd al-Qâdir Ahmad Atha’(Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), h. 270.
[39]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos wacana Ilmu, 2002), cet. 4, h. 13. Lihat juga Deden Makbuloh, Pendidikan Islam:Arah Baru Pengembangan Ilmu dan Kepribadian di Perguruan Tinggi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), cet. 1, h. 171.
[40]Muhammad al-Maliki al-Hasani, Kemuliaan dan Kesempurnaan Pribadi Muhammad SAW, terj. Muhammad Al Mighwar, (Bandung: Pustaka Pelajar, 2006), h. 370.
[41]Maulana Muhammad Zakariyya al-Khandalawi (selanjutnya disebutal-Khandalawi), Himpunan Fadhilah Amal, terj. A. Abdurrahman Ahmad, (Yogyakarta: Ash-Shaff, 2003), h. 573.
[42]al-Imâm al-Hâfizh Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sijastâniy al-Azadiy (selanjutnya disebut Imam Abu Daud), Sunan Abu Daud,Juz IV,I’dâd wa Ta’lîq ‘Izzat ‘Ubaid al-Da’âs dan Adil al-Sayyid(Beirut: Dâr Ibn Hazam, 1997),  h. 39-40. Lihat al-Imâm al-Hâfizh Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah al-Tirmidziy (selanjutnya disebut Imam Tirmidzi), al-Jâmi’ al-Shahîh wa Huwa Sunan al-Tirmidziy, juz V, tahqîq Ibrahim ‘Uthwah ‘Iwadh(Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafâ al-Bâbiy al-Halabiy wa Awlâduh, 1975), h. 48.
[43]al-Hâfizh Dhiyâ’ al-Dîn Muhammad bin Abd al-Wâhid al-Maqdisiy, Fadhâil al-‘A’mâl, Juz IV, tahqîq Ghassân Isa Muhammad Hermâs(Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1987), h. 557.
[44]Imam Tirmidzi, Sunan al-Tirmidziy, biahkâm al-‘Allâmah al-Muhaddits Muhammad Nâshir al-Dîn al-Albâniy (Riyadh: Maktabah al-Ma’ârif li al-Nasyr wa al-Tauzi’, t.t), h. 604.
[45]al-Khandalawi, h. 573.
[46]al-Syekh Khalil Ahmad al-Sahhâranfûriy (selanjutnya disebut al-Sahhâranfûriy), Badzl al-Majhûd fi Halli Abi Daud, juz XV (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 329.
[47]Abu al-Thayyib Muhammad Syams al-Haqq al-‘Azhîm Âbâdiy (selanjutnya disebutÂbâdiy), ‘Aun al-Ma’bûd: Syarh Suanan Abi Daud, Juz X, ta’lîq al-Hâfizh Ibn Qayyim al-Jauziyyah(Madinah: al-Maktabah al-salafiyyah, 1968), h. 73.
[48]al-‘Allâmah al-Imâm Syaikh al-Islâm Syams al-Dîn Abu Abdullah Muhammad bin Abu Bakar Ibn Qayyim al-Jauziyyah (selanjutnya disebut Ibn Qayyim), al-‘Ilm Fadhluhu wa Syarafuhu, (Riyadh: Majmû’ah al-Tuhaf al-Nafâis al-Dauliyyah, 1996), h. 64-65.
[49]al-Sahhâranfûriy, h. 330.
[50]Âbâdiy, h. 73.
[51]Imam Muslim, Shahîh Muslim, jilid II, h. 426-427.
[52]Imam Muslim, Shahîh Muslim, jilid II, h. 426.
[53]Imam Muslim, Shahîh Muslim, jilid II, h. 426.
[54]al-Nawawiy, Shahîh Muslimbi Syarh al-Nawawiy, Juz XV, h. 116.
[55]al-Nawawiy, Shahîh Muslimbi Syarh al-Nawawiy, h. 116. Lihat juga al-Imâm al-Hâfizh Abu al-Fadhl ‘Iyâdh bin Musa bin‘Iyâdh al-Yahshabiy, Ikmâl al-Mu’lim bi Fawâid Muslim, juz VII, tahqîq Yahya Ismail (al-Manshurah: Dâr al-Wafâ li al-Thaba’ah wa al-Nasyr wa al-Taujî’, 1998), h. 334
[56]Musa Syâhîn al-Atsîn, Fath al-Mun’im: SyarhShahîh Muslim, juz IX (Kairo: Dâr al-Syurûq, 2002), h. 231.
[57]Azyumardi Azra,h. 9.
[58]Burhanuddin Abdullah, Pendidikan Islam Sebagai Sebuah Disiplin Ilmu (Yogyakarta: Pustaka Prisma, 2010), h. 64.
[59]Didiek Ahmad Supadie, ed. Pengantar Studi Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), h. 256.
[60]Imam al-Tirmidziy, al-Jâmi’ al-Shahîh wa Huwa Sunan al-Tirmidziy, juz IV, h. 612. Lihat al-Imâm al-Hâfizh Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman bin al-Fadhl bin Bahram al-Dârimiy, Sunan al-Dârimiy, juz I, tahqîqHusein Salim Asad al-Dârâniy (Riyadh: Dâr al-Mughniy li al-Nasyr wa al-Tauzî’, 2000), h. 543.
[61]Imam al-Tirmidziy, juz IV, h. 562-563;Imam Ahmad, juz XXIX, h. 561-562.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar