Selasa, 11 Agustus 2015

KEUNIKAN BAHASA ARAB : STUDI IMPLIKASI PERBEDAAN I'RAB TERHADAP PERUBAHAN MAKNA



KEUNIKAN BAHASA ARAB: STUDI IMPILKASI PERBEDAAN I’RAB
TERHADAP PERUBAHAN MAKNA

Oleh : Samsul Bahri M.A[1]

Abstrak
Kajian ini membahas aspek keunikan dalam bahasa Arab. Keunikan tersebut terletk pada I’rab yang memiliki pengaruh perubahan makna di dalam sebuah kalimat.

Kata kunci: I’rab, Istifham, Mubtada’, Khabar

A.      Pendahuluan
Setiap bahasa mempunyai kekhususan yang membedakannya dengan bahasa lain.[2] Karena bahasa adalah sistem lambang bunyi arbitrer yang digunakan para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri.[3] Karena digunakan oleh suatu masyarakat, tentu bahasa dengan kearbitrerannya menjadi produktif dan dinamis sehingga pada akhirnya pada setiap bahasa akan terbentuk ciri khas yang tidak terdapat ataupun dimiliki bahasa lain.[4]
            Bahasa Arab telah dipilih sebagai bahasa pengantara wahyu yang ditujukan kepada seluruh penutur bahasa di dunia. Penelitian yang mendalam terhadap bahasa ini memperlihatkan rahsia pemilihannya sebagai bahasa al-Quran. Kajian-kajian yang dibuat oleh para sarjana bahasa dari berbagai aspek terutama ilmu linguistik telah dapat membuktikan keunikan dan keistimewaan bahasa ini yang tidak terdapat pada bahasa-bahasa lain.[5] Mungkin hal inilah yang menyebabakan Allah memilih bahasa Arab sebagai bahasa bahasa al-Qur’an agar umat manusia bisa memahaminya dengan mudah. Hal ini Allah tegaskan dalam firman-Nya, “Sesungguhnya kami telah menurunkan al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.
            Tak dapat dipungkiri bahwasanya bahasa Arab mempunyai banyak keunikan, kekhasan (al-Khashâ’ish), dan keistimewaan  dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain, kalau bukan karena itu niscaya Allah tidak memilihnya sebagai bahasa bagi kitab-Nya yang mulia (al-Qur’an). Di antara keistimewaannya yang menonjol adalah bahwa bahasa Arab mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam melahirkan makna-makna baru, tidak hanya dengan penambahan huruf pada asal kalimat saja, bahkan hanya dengan perubahan harakat.[6] Kemudian juga perubahan semantik yang disebabkan oleh perubahan struktur kata. Sebagai contoh: كتاب – كتابان – كتب – كتابة – مكتب – مكتبة , dari perubahan kata-kata tersebut dapat dilihat perubahan maknanya. Bahasa Arab bahasa yang sangat luas dan kaya, jumlah kosakatanya tidak dapat ditandingi oleh bahasa apa pun di dunia ini, bahasa yang tinggi, yang mampu mengungkapkan makna dengan berbagai macam gaya bahasa (uslûb).[7]
            Menurut Rusydi Ahmad Thu’aimah, mengetahui keistimewaan dan karakteristik (الخصائص) bahasa Arab yang membedakannya dari bahasa-bahasa lain merupakan suatu keniscayaan bagi para pengajar bahasa Arab. [8]Beliau menyebutkan ada sekitar 10 karakteristik bahasa Arab di antaranya adalah i’râb.[9]
            I’râb adalah merupakan salah satu dari sekian banyak keistimewaan dan karakteristik yang dimiliki bahasa Arab.[10] Fenomena i’râb ini –dibandingkan dengan karakteristik bahasa Arab yang lainnya- merupakan karakteristik yang banyak dibicarakan oleh para linguis Arab, baik linguis klasik maupun kontemporer. I’râb dipandang merupakan salah satu fenomena yang sangat urgen dan mononjol dalam ilmu nahwu (sintaksis)  sebab dia memegang posisi sentral bagi eksistensi nahwu dalam bahasa Arab, sampai-sampai di antara para ahli bahasa Arab itu ada yang menjadikan ilmu nahwu itu semuanya adalah i’râb sehingga mereka mendefinisikan ilmu nahwu itu sebagai ilmu i’râb.[11]
Kemudian Ahmad Abd al-Ghaffâr[12] juga menegaskan bahwa i’râb dalam bahasa Arab merupakan masalah yang urgen dan selalu di butuhkan, sebab menurut dia satu kata bisa mempunyai makna yang berbeda-beda yaitu; mungkin sebagai subyek, objek, idhafah, ibtida, khabar, dan lain-lain. Kalau bukan dengan i’râb, maka makna kalimat tersebut tidak dapat dipahami dan diketahui dengan jelas.  Atau dengan ungkapan lain, bahwa kebutuhan akan i’râb akan terlihat untuk mengetahui posisi kata dalam suatu kalimat (al-Jumlah). Sabagai contoh bisa dilihat kalimat-kalimat berikut ini; 1. ما أحسن طالب  2.  ما أحسن طالبا  3. ما أحسن طالب  . Kalimat nomor satu adalah pertanyaan (Istifhȃm), hal tersebut dapat diketahui dari harakat dhommah pada kata (أحسن) dan harakat kasrah (jarr) pada kata (طالب). Kalimat nomor dua adalah ungkapan keheranan (ta’ajjub), hal tersebut dapat  diketahui dari harakat fathah (nashab) pada kata (أحسن) dan kata (طالب). Sedangkan kalimat yang nomor tiga adalah kalimat berita, itu dapat diketahui dari harakat fathah pada kata (أحسن) dan harakat dhommah (rafa’) pada kata (طالب).
            Perbedaan makna (dalâlah) di antara kalimat-kalimat di atas disebabkan adanya perbedaan harakat i’râb pada akhir kata kalimat tersebut, kalau seandainya tanpa i’râb niscaya akan terjadi keambiguan (al-Labs) dalam memahaminya. Sebab disusunnya i’râb menurut Ibn al-Sarrrâj (w. 550 H) untuk membedakan makna suata kalimat, dan kalau i’râb tersebut dihilangkan, maka makna-makna kalimat tersebut tidak dapat dibedakan sehingga orang akan mendapatkan kesulitan memahami maksudnya dengan baik dan benar.[13]

B.       Pembahasan
I’râb merupakan salah satu dari karakteristik (al-Khashâ’ish) dan keunikan yang dimiliki oleh bahasa Arab. Ia menempati posisi penting dalam bahasa Arab dibandingkan dengan karakter-karakter lainnya yang dimiliki oleh bahsa Arab, sebab ia merupakan bagian yang diilfiltrasi oleh al-Lahn yang membuat para linguis Arab tergugah untuk merumuskan dan mengkodifikasikan ilmu nahwu yang dapat menjauhkan lahn tersebut sehingga dengan demikian keorisinilan bahasa Arab akan dapat terjaga dan terpelihara.

A.   Pengertian I’râb
            Kata i’râb merupakan bentuk mashdar (infinitive) dari “أعرب يعرب إعرابا“. Kemudian kalau dilihat di kamus-kamus bahasa Arab dan pendapat-pendapat para linguis Arab tentang makna I’râb tersebut, maka kata i’râb tersebut mempunyai makna-makna yang banyak, di antaranya i’râb berarti  menjelaskan (أبان), menyingkap (كشف), dan menampakkan (أظهر ) sebagaimana dikatakan: ” أعرب الرجل عن حاجته” (seseorang menjelaskan keinginannya), i’râb juga berarti membaguskan atau memperindah (al-Tahsîn), seperti dikatakan: “أعرب الشيئ” (membaguskan dan memperindah sesuatu), dan i’râb juga berarti berubah (al-Taghyîr), seperti dikatakan: “عربت معدة البعير” (perut onta betina berubah),[14] kemudian i’râb juga bisa berarti menghilangkan kerusakan (Izâlah al-Fasâd), seperti dikatakan: “أعربت الشيئ” yang berarti: “أزلت عربه” (saya menghilangkan kerusakannya).[15] Sedangkan menurut Ibnu Jinnî (321-392 H)[16] , kata i’râb berakar dari kata: أعرب عن الشيئ yang berarti (mengungkapkan sesuatu),[17] sebagaimana dikatakan:  وأعرب الرجل عما في نفسه  (seseorang mengungkapkan/menjelaskan apa yang ada pada dirinya).[18] Hal senada juga dinyatakan oleh al-Zajjâjî (w. 329 H)[19] yang mengatakan bahwa i’râb maknanya adalah penjelasan (al-Bayân) karena harakat i’râb tersebut berfungsi untuk menjelaskan makna yang dimaksud dalam suatu kalimat. Kemudian Ibnu al-Anbâri (513-577 H)[20]  menyatakan ada tiga alasan mengapa i’râb itu dinamakan i’râb: 1. karena ia berfungsi untuk menjelaskan makna, 2. karena ia merubah harakat akhir kata pada suatu kalimat 3. karena orang yang meng-i’râb-kan perkataannya membuat pendengar suka kepadanya.[21] Jadi ketika orang Arab menamakan harakat akhir pada suatu kalimat dengan harakat i’râb (al-Harakât al-I’râbiyyah) maksud mereka adalah bahwa harakat tersebutlah yang mengungkapkan makna, dan mendekatkan makna tersebut kepada pamahaman, seakan-akan suatu makna terkunci/tertutup dan harakat i’râb-lah yang berfungsi untuk membuka dan menghilang penutup makna tersebut sehingga ia menjadi jelas.     
            Sedangkan pengertian i’râb secara terminologi,  para ahli nahwu (al-Nuhât) - baik yang klasik maupun kontemporer-  mereka memberikan beberapa definisi:
1)      Ibn al-Anbâri (513-577 H) dalam kitab (Asrâr al-Arabiyyah),[22] mengatakan: اختلاف أواخر الكلم باختلاف العوامل لفظا أو تقديرا ( Perubahan akhir kata yang disebabkan perubahan ‘âmil,[23] secara lafazh (eksplisit) atau taqdîr (implisit).
2)      Ibn Hisyâm (708–761 H)[24] dalam kitab (Syarah Syudzûr al-Dzahab),[25] mengatakan:    الإعراب أثر ظاهر أو مقدر يجلبه العامل في اخر الاسم المتمكن والفعل المضارع (I’râb adalah pengaruh yang tampak atau tersembunyi pada akhir al-Isim al-Mutamkkin dan Fi’il Mudhâri yang ditimbulkan oleh ‘Âmil).
3)      Syekh Mushthafâ al-Ghalâyainî (1885-1944 M) dalam kitab (Jami’ al-Durûs al-Arabiyyah),[26] mendefinisikan: أثر يحدثه العامل في اخر الكلمة فيكون اخرها مرفوعا أو منصوبا أو مجرورا أو مجزوما حسب ما يقتضيه ذلك العامل (Pengaruh yang ditimbulkan oleh ‘âmil pada akhir sebuah kata, sehingga ia berubah menjadi marfû’, manshûb, majrûr, atau majzûm sesuai apa yang dituntut oleh ‘âmil tersebut).
4)      Sedangkan ‘Abbâs Hasan (1900-1978 M) dalam buku (al-Nahwu al-Wâfî),[27] menyebutkan: تغير العلامة التي في اخر اللفظ بسبب تغير العوامل الداخلة عليه وما يقتضيه كل عامل   (Perubahan tanda pada akhir kata karena adanya perubahan ‘âmil-‘âmil yang memasukinya dan apa yang dituntut dari setiap ‘âmil tersebut).
              Dari definisi-definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa i’râb adalah perubahan baris (harakat)[28] secara jelas atau tersembunyi yang terjadi pada setiap akhir kata dalam suatu kalimat yang disebabkan oleh perbedaan ‘âmil yang masuk pada kalimat tersebut. Agar lebih jelas tentang definisi i’râb ini mari kita lihat kata (علي) pada kalimat-kalimat berikut ini: 1.عليٌ  ذهب    2. علياً رأيت 3. ذهبت مع عليٍ , dari harakat akhir kata (علي) pada kalimat-kalimat tersebut berubah dari dhommah ke fathah kemudian   ke  kasrah. Perubahan harakat (baris) tersebut disebabkan perbedaan faktor-faktor (al-‘Awâmil) yang masuk pada kata tersebut, yaitu: ذهب , رأيت dan مع . Sedangkan perubahan harakat huruf akhir pada kalimat (علي) tersebut dinamakan i’râb.

B.     Bukti-Bukti Adanya Hubungan I’râb dengan Perubahan Makna         
            Setiap bahasa di dunia ini mempunayai kaidah-kaidah (al-Dhawâbith) yang mengaturnya, dan kaidah-kaidah tersebut harus dipatuhi oleh penutur bahasa tersebut sehingga tidak terjadi kesalahan dalam penggunaan bahasa tersebut yang pada akhirnya akan menimbulkan kesalah pahaman. Dalam hal ini, bahasa Arab bukan lah satu-satunya bahasa yang mengharuskan para penuturnya untuk tidak menyimpang dari kaidah-kaidah yang telah disepakati dalam bahasa tersebut. Bahasa Arab mempunyai kaidah-kaidah dan struktur-struktur yang cermat dan teliti, yang mana setiap kata dan huruf dalam bahasa Arab ini memiliki kaidah tersendiri. Ini bukan bermaksud untuk membanggakan dan melebih-lebihkannya dari bahasa lain, tapi ini adalah murni pandangan obyektif dari penulis  yang ingin menjelaskan hal tersebut.
Untuk menjelaskan hal tersebut di atas bisa diambil satu contoh yaitu huruf (الفاء), yang mana huruf ini mempunyai kaida-kaidah (al-Dhawâbith) tersendiri. Huruf ini bisa berfungsi sebagai huruf ‘athaf, seperti: نزل المطر فابتلت الأرض (Hujan turun, maka kemudian basahlah tanah), dan contoh lain: مات صاحبنا فقبر (sahabat kami meninggal, kemudian dikuburkan), ‘athaf disini berfungsi sebagai ..(al-Ta’qîb al-Mubâsyir). Kemudian ini juga bisa untuk menyatakan sebab, misalnya: لا تكثر من لوم صديقك فتندم (Jangan banyak mencela teman kamu sehingga kamu akan menyesal). Kemudian huruf ini juga menunjukan isti’nâf (memulai pembicaraan yang baru), contohnya: فمن تمتع بالعمرة إلى الحج فما استيسر من الهدي فمن لم يجد فصيام ثلاثة أيام (maka barangsiapa yang melaksanakan umrah sebelum berhaji, dia wajib menyembelih hadyu yang mudah didapat. Tetapi jika dia tidak mendapatkannya, maka dia wajib berpuasa tiga hari dalam musim haji …). Dan kemudian juga huruf ini bisa berfungsi sebagai jawab syarat, contohnya: وإذا حييتم بتحية فحيوا بأحسن منها أو ردوها (dan apabila kalian diberi salam, maka jawablah salam tersebut dengan yang lebih baik atau yang sama dengannya).
Adapun menganai harakat i’râb (al-Harakah al-I’râbiyyah), maka ia merupakan bagian dari struktur-struktur dan kaidah-kaidah bahasa Arab yang indah ini. Ilmu nahwu yang diwariskan oleh ulama-ulama terdahulu dan diterima oleh ulama-ulama berikutnya melalui kajian-kajian dan studi-studi sehingga menjadi sebuah ilmu yang kuat dan kokoh, di dalamnya didapati setiap kondisi dari harakat-harakat kata dalam suatu struktur kalimat ada kaida-kaidah yang mengaturnya, dan pengabaian terhadap kaidah tersebut akan menimbulkan kesalahan dalam pemahaman.
            Hal tersebut karena di antara karakteristik yang dimiliki oleh bahasa Arab adalah bahwa ia dalam mengungkapkan makna-makna dari dua sisi: 1. Susunan kata atau struktur (النظم), yaitu metode yang digunakan dalam penyusunan kalimat dan bagian-bagiannya. 2. I’râb, yang merupakan aspek pengungkap makna yang lebih kuat dan lebih jelas, ia merupakan penunjuk untuk menantukan posisi-posisi kata (mawâqi’ al-Kalimât) dalam struktur kalimat.[29] 
            Tanda-tanda i’râb (al-‘Alâmah al-I’râbiyyah) merupakan penunjuk untuk mengetahui dan membedakan  makna-makna yang kemungkinan sama dalam satu kalimat pada bahasa Arab, sebagaimana dinyatakan oleh al-Suyûthî (849-911. H) dalam al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir: العلامة الإعرابية علم لمعان معتورة يتميز بعضها عن بعض فالإخلال بها يفضي إلى التباس المعاني وفوات ما هو الغرض الأصلي من وضع الألفاظ وهيئاتها أعني الإبانة عما في الضمير  (Tanda i’râb merupakan tanda bagi makna-makna yang banyak yang berfungsi untuk membedakan antara makna yang satu dengan lainnya, pelanggaran terhadap tanda-tanda i’râb tersebut akan mengakibatkan kerancuan (keambiguan) dan menghilangkan tujuan utama dari pembuat (penyusunan) lafazd-lafazd dan bentuknya, maksud saya: menjelaskan apa yang ada di dalam hati…).[30] Karena tanda i’râb ini merupakan salah satu bagian untuk menantukan fungsi sintaksis atau makna nahwu yang mana dengan perubahan i’râb tersebut akan berimpliksi pada perubahan makna, maka ajakan untuk mengabaikan atau menghilangkan i’râb tersebut menurut Hammâsah ‘Abd al-Lathîf (1941- sekarang) terlalu berlebih-lebihan.[31]
Di antara bukti-bukti adanya hubungan dan keterkaitan antara i’râb dan perubahan makna dapat dilihat dari literatur-literatur bahasa Arab, Hadist, al-Qur’an al-Karim, dan kesaksian dari para linguis Arab.
1.    Bukti dari Literatur-Literatur Bahasa Arab
            Dalam literatur-literatur Arab khususnya buku-buku nahwu baik yang klasik maupun kontemporer banyak didapati bukti-bukti yang menunjukan pentingnya alamat  i’râb untuk membantu dalam memahami makna kalimat. Berikut ini akan dikemukakan beberapa contoh yang menguatkan peran yang dimainkan i’râb dan urgensinya dalam menjelaskan dan menentukan makna:
a.         ما أحسنُ محمد .١  ما أحسنَ محمد .۲   ما أحسنَ محمد .۳
Ketiga kalimat-kalimat tersebut dari segi kontruksinya mempunyai susunan dan jumlah kata yang sama, yang membedakan kalimat-kalimat tersebut satu sama lain adalah terletak pada harakat-harakatnya. Kalimat yang pertama merupakan pertanyaan (al-Istifhâm) yang menanyakan apakah yang terbaik pada diri Muhammad, itu dapat diketahui dari harakat dhommah pada kata (أحسن) dan harakat kasrah pada kata (محمد).  Sedangkan kalimat kedua merupakan ungkapan kekaguman (al-Ta’ajjub) yang menyatakan kekaguman pembicara atas kebaikan Muhammad, hal tersebut dapat diketahui dari harakat fathah pada kata (أحسن) dan (محمد).  Kemudian pada kalimat yang terakhir dapat diketahui maksud dari pembicara adalah memberitakan (al-Ikhbâr) bahwa Muhammad tidak melakukan kebaikan, hal tersebut dapat diketahui dari harakat fathah pada kata (أحسن) dan harakat dhommah pada kata (محمد). Di sini terlihat jelas yang membedakan makna antra ketiga kalimat tersebut adalah harakat i’râb, tanpa adanya harakat tersebut maka makna-makna ketiga kalimat tesbut tidak dapat dibedakan.

b.         ١. لا تأكل السمك وتشربَ اللبن  ۲. لا تأكل السمك وتشربْ اللبن  ۳. لا تأكل السمك وتشربُ اللبن
             Ketiga kalimat-kalimat tersebut di atas mempunyai kontruksi atau susunan kata yang sama, untuk dapat membedakan makna-makna yang terkandung di dalamnya, kalimat-kalimat tersebut harus dapat diberi harakat terlebih dahulu sehingga maknanya dapat diketahui dengan jelas. Yang membedakan makna kalimat-kalimat tersebut adalah harakat yang terdapat pada kata kerja (تشرب).
             Kalimat yang pertama mengandung larangan untuk memakan ikan bersamaan dengan  meminum susu, itu dapat diketahui dari harakat fathah pada kata  (تشرب) dan pertikel waw yang berada sebelumnya yang dinamakan dengan waw al-Ma’iyyah. Sedangkan kalimat yang kedua mengandung larangan untuk melakukan keduanya (larangan untuk makan ikan dan juga larangan untuk minum susu walupun dikerjakan secara tidak bersamaan) itu karena harakat sukun (al-Jazam) pada kata (تشرب), dan fertikel waw sebelum kata (تشرب) tersebut adalah waw al-‘Athaf. Kemudian kalimat yang ketiga maksudnya sebagai larangan untuk memakan ikan dan memperbolehkan untuk meminum susu, itu karena harakat dhommah (rafa’) pada kata (تشرب), dan pertikel waw sebelum kata (تشرب) tersebut adalah waw al-Ibtidâ’.[32] Misalnya juga: (لا تظلم الناسَ وتنصحَهم بأن يصبروا), dengan menashabkan fi’il mudhâri’ (تنصح) maksudnya melarang untuk menggabungkan antara berbuat zhalim dengan nasehat untuk bersabar, dengan menjazamkannya berarti melarang untuk melakukan kedua perbuatan tersebut walaupun tidak dilakukan secara bersamaan, sedangkan dengan merafa’kannya berarti hanya melarang untuk berbuat zhalim dan membolehkan untuk memberikan nasehat untuk bersabar.
            Contoh lain, kalau dikatakan: (اعطني فأمدحك), kalau kata (أمدح) pada kalimat tersebut dikasih harakat fathah, maka maksudnya adalah bahwa pujian (al-Madh) belum terjadi, ia terjadi setelah adanya pemberian (al-‘Athâ) karena pujian disebab oleh pemberian. Sedangkan kalau dikatakan: (اعطني فأمدحك) dengan harakat dhommah, maka maksudnya adalah bahwa pujian sudah terjadi sebelum adanya pemberian, yang berarti berilah saya karena saya termasuk orang yang memuji kamu.

c.       Contohnya juga, kalau dikatakan: فلان متهم بقتل السائق وابنه .
Kata (ابنه) pada kalimat tersebut di atas posisinya adalah sebagai ‘athaf, hal tersebut dapat diketahui karena sebelumnya ada pertikel waw, namun kata tersebut  tidak diketahui dengan jelas di’athafkan kemana karena tidak ada harakatnya, ke term (فلان) atau term (السائق),  kalau dikasih harakat dhommah maka berarti ia di‘athafkan ke term (فلان) sehingga posisinya sebagai pembunuh (al-Qâtil), sehingga makna kalimat tersebut adalah: (si pulan dan anaknya didakwa sebagai pembunuh sopir), sedangkan kalau dikasih harakat kasrah maka berarti ia di‘athafkan ke term (السائق) sehingga posisinya sebagai yang terbunuh (al-Maqtûl), sehingga makna kalimat tersebut adalah: (si pulan didakwa membunuh sopir dan anaknya). Di sini terlihat bahwa harakat sebuah kata sangat mempengaruhi terhadap makna sruktur kalimat.
d.      Apabila seseorang mengakatan: (أنا قاتلُ غلامِك), kemudian seorang lagi mengatakan: (أنا قاتلٌ غلامَك),
Yang bisa dijatuhi hukuman adalah yang mengatakan: أنا قاتلُ غلامِك (dengan idhâfah), sebab kalimat tersebut menunjukan fi’il mâdhî yang berarti ia telah melakukannya. Sedangkan yang mengatakan: أنا قاتلٌ غلامَك (dengan harakat nashab), ia tidak dapat dijatuhi hukuman sebab kalimat tersebut menunjukan pada masa yang akan datang yang berarti dia belum melakukannya. Misalnya juga: 1. أنا مكرمُ أخيك  2. أنا مكرمٌ أخاك , kata (مكرم) pada kedua kalimat tersebut dalam segi kontruksinya tidak ada perbedaan, yang membedakan keduanya hanya pada harakat, yang satu dhommah sedangkan satu lagi adanya tanwîn pada harakat dhommah, namun dari segi makna terdapat perbedaan, yang pertama menunjukkan masa yang telah lalu (saya telah memuliakan saudara kamu), sedangkan yang kedua menunjukkan masa yang akan datang (saya akan memuliakan saudara kamu). [33] Sebagaimana firman Allah swt: ولا تقولن لشيئ إني فاعل ذلك غدا  إلا أن يشاء الله  , kata (فاعل) yang berbentuk nakirah pada ayat tersebut menunjukkan bahwa perbuatan itu belum dilaksanakan, buktinya adalah adanya kata (غدا) yang berarti dia akan melaksakannya pada besok hari.
e.       Contoh lain: (ما صنعت وأباك ؟ لو ترك الناقة وفصيلها لرضعها).
Term (أباك) dan (فصيلها) pada kalimat tersebut keduanya manshûb (berharakat fathah) karena posisinya sebagai maf’ûl  ma’ah,[34] yang mana arti kalimat tersebut adalah: (Apa yang telah kamu lakukan bersama ayahmu? Seadainya onta betina itu ditinggalkan bersama anaknya, niscaya ia akan menyusuinya). Sedangkan kalau dikatakan: (ما صنعت وأبوك؟ لو ترك الناقة وفصيلها لرضعها) dengan mambaca rafa’, maka ia (kedua kata tersebut)  menjadi ‘athaf,  dan artinya akan berubah menjadi: (Apa yang telah kamu lakukan? Dan apa yang telah dilakukan ayah kamu? Seandainya onta betina tersebut ditinggalkan, dan anaknya juga ditingglkan, niscaya ia akan menyusuinya).
Disini terlihat jelas perubahan makna yang ditimbulkan akibat perubahan i’râb pada kedua kata tersebut di atas.
f.        Misalnya lagi kalau dikatakan: (هذا الضارب الظالم)
Tanpa harakat i’râb, kata (الظالم) pada kalimat tersebut tidak dapat ditentukan posisinya, apakah ia sebagai sifat (na’at) dari kata (الضارب) atau sebagai objek dari kata tersebut. Tapi, dengan menashabkan term (الظالم) memberikan pengertian bahwa pukulan jatuh padanya yang berarti ia jadi objek (al-Maf’ûl), sedangkan kata (الضارب) sebagai subjek (al-Fâ’il), dan artinya adalah; (ini  pemukul orang yang zhalim). Sedangkan kalau kata (الظالم) tersebut dirafa’kan, maka berarti ia menjadi sifat dari kata (الضارب) sehingga artinya akan berubah menjadi: (ini adalah seorang pemukul yang zhalim).         
g.       Misalnya dalam uslûb al-Istitsnâ, (ينجح المستذكرون غيرُ المرهقين)
Dengan merafa’kan kata (غير)  menunjukkan makna bahwa orang-orang yang mengulangi pelajarannya yang bukan orang-orang bodoh, mereka lulus dalam ujian, berarti kata (غير) disini posisinya sebagai na’at dari kata (المستذكرون) Sedangkan kalau dinashabkan menjadikan maknanya bahwa orang-orang yang menulangi pelajarannya akan lulus dalam ujian, berarti kata (غير) disini posisinya sebagai pertikel pengacualian (adâh al-Istitsnâ).[35]
h.       Misalnya juga dalam ‘athaf kepada dhâmir rafa’ muttashil: (أكرمتُك وأحمد),
Term (أحمد) pada kalimat tersebut di atas  mengandung kemungkinan rafa’ dan nashab, hal tersebut karena adanya huruf ‘athaf (waw) sebelum kata (أحمد)  tersebut sehingga ia bisa di’athafkan kepada dhamîr[36] al-Mutakallim yaitu ta yang posisinya sebagai subjek (al-Fâ’il) dan bisa juga di’athafkan kepada dhamîr mukhâthab yang posisinya sebagai subjek (al-Maf’ûl). Kalau kata (أحمد)  dibaca rafa’, maka berarti ia di’athafkan kepada dhamîr al-Mutakallim sehingga posisinya menjadi subjek (al-Fâ’il) dan artinya adalah: (Saya dan Ahmad memuliakan kamu), sedangkan kalau dibaca nashab, maka berarti ia di’athafkan kepada dhamîr al-Mukhâthab sehingga posisinya menjadi objek (maf’ûl) dan artinya adalah: (Saya memuliakan kamu dan Ahmad).
i.         (أكلت السمكة حتى رأسها)
Kata (رأسها) pada kalimat tersebut di atas mempunyai tiga kemungkinan harakat i’râb, mungkin dibaca rafa’, nashab, dan jarr. Hal ini karena pertikal (حتى) yang berada sebelum kata tersebut yang mempunyai beberapa fungsi, yaitu: sebagai huruf isti’nâf, huruf ‘athaf, atau huruf jarr.[37]
Kalau dikatakan: (أكلت السمكة حتى رأسُها), dengan rafa’, pertikel (حتى) pada kalimat ini fungsinya sebagai isti’nâf, dan kata (رأسُها) posisinya sebagai subjek (mubtadâ) dan maksudnya: saya makan ikan, dan kepalanya aku makan. Sedangkan kalau dikatakan: (أكلت السمكة حتى رأسَها) dengan nashab, maka pertikel (حتى) disini fungsinya sebagai huruf ‘athaf, dan kata (رأسها) posisinya sebagai ‘athaf sehingga makna kalimat tersebut adalah: (aku memakan ikan dan kepalanya), jadi kepalanya ikut dimakan. Kemudian kalau dikatakan: (أكلت السمكة حتى رأسِها) dengan jarr, maka pertikel (حتى) disini fungsinya sebagai huruf jarr yang maknanya sampai batas (intihâ al-Ghayah), dan kata (رأسها) tersebut posisinya sebagai isim majrûr sehingga makna kalimat tersebut adalah: (saya makan ikan sampai pada kepalanya), kepala tidak ikut dimakan. Misalnya juga: نمت من الظهر إلى العصرِ (saya tidur mulai dari zhuhur sampai ashar), tidurnya berhenti ketika waktu ashar telah tiba.
j.           Misalnya kalau dikatakan: "مررتً بزيدٍ الكريم".
Kata "الكريم" pada kalimat tersebut mempunyai tiga kemungkinan bacaan i’râb. Kata tersebut mungkin dibaca jarr, nashab, atau rafa’. Kalau dibaca jarr, maka berarti posisinya adalah sebagai sifat (na’at) dari kata "زيد", kalau dibaca nashab berarti posisinya adalah sebagai subyek (maf’ûl), dan kalau dibaca rafa’, bararti posisisnya sebagai khabar mubtadâ.
            Contoh-contoh tersebut di atas menurut penulis cukup untuk memberikan bukti akan pentingnya i’râb untuk membantu dalam memahami makna kalimat degan baik dan benar. I’râb memiliki peran yang cukup besar dalam menjelaskan dan menantukan makna dalam kalimat. Pengabaian i’râb akan mengakibatkan kerancuan, keambiguan, dan hilangnya makna. Padahal keambiguan (al-Ilbâs) bertentangan dengan tujuan utama dari eksistensi dan penggunaan bahasa.

C.  Penutup
Para linguis Arab menjadikan penyimpangan (al-‘Udûl) dari asal/dasar penyusunan kalimat (Tarkîb al-Jumlah)[38]dengan cara membuang (al-hadzf), menyembunyikan (al-Idhmâr), pemisahan (al-Fashl), pengacauan susunan (tasywîsy al-Rutbah) dengan cara mendahulukan (taqdîm) dan mengakhirkan (ta’khîr) atau perluasan (al-Tawssu’) dalam i’râb, sebagai bagian dari keringan dan kemudahan (al-Tarakhkhush) ketika hal tersebut dipandang aman dari kerancuan dan keambiguan (tidak menimbulkan keambiguan). Namun Menurut Tammâm Hassan, yang harus diperhatikan bahwa keringanan ini harus tetap tunduk pada ikatan-ikatan, yang paling utama adalah tercapainya suatu manfaan atau aman dan terhindar dari keambiguan ketika terjadinya penyimpangan tersebut. [39].
           Salah satu dasar bahasa Arab adalah penentuan dan penunjukan makna dengan menggunakan harakat. Apabila dasar ini sudah didapati, maka harakat i’râb ini harus dilihat sebagai isyarat atau penunjuk makna-makna yang dimaksud. Namun kata Ahmad ‘Arfah, orang Arab tidak selalu mengharuskan dan memaksakan diri untuk berpegang pada pada i’râb tersebut, sebab ia hanyalah merupakan media untuk menjaga keamanan dari terjadinya keambiguan pada struktur (al-Nizhâm) dan konteks (al-Siyâq).[40]
           Hal senada juga dinyatakan oleh al-Suyûthî (w. 911 H) sebagaimana yang ia katakan bahwa i’râb di tempatkan pada isim-isim (al-Asmâ) dengan maksud dan tujuan untuk menghilangkan keambiguan yang terjadi padanya, melihat adanya makna-makna kemungkinan makna yang berbeda padanya. Oleh karena itu lah kata dia, fi’il, huruf, isim-isim yang mudhmar, isim maushûl, dan isyârat tidak membutuhkan i’râb ini karena kesemuanya itu menunjukan pada maknanya dengan bentuknya masing-masing. Sedangkan fi’il mudhâri’ karena ia kadang-kadang dimasuki makna-makna yang berbeda seperti isim maka ia juga dimasuki oleh i’râb untuk menghilangkan keambiguan. Misalnya fâ’il dirafa’kan sedangkan maf’ûl dinashabkan untuk menghilangkan keambiguan, karena kalau harakatnya sama tidak bisa dibedakan antara keduanya.[41]
           Orang Arab sepakat bahwa fâ’il itu dirafa’kan dan maf’ûl dinashabkan apabila fâ’il disebutkan, tapi bisa fâ’il bisa dinashabkan dan maf’ûl dirafa’kan apabila dianggap tidak mengakibatkan keambiguan (al-Lubs), sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Mâlik (601-672. H)[42]: ورفعُ مفعولٍ به لا يلتبس # مع نصب فاعلٍ روَوا فلا تقس (marafa’kan maf’ûl bih yang tidak mengakibatkan keambiguan dengan menashabkan fâ’il mereka meriwayatkan maka jangan diqiyaskan).[43] Hal ini menurut ibn al-Tharâwah (438-528. H)[44] dapat diqiyaskan, sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surah al-Baqarah (36) yaitu: (فتلقى آدمُ من ربه كلماتٍ) , Ibnu Katsîr (701-774 H) salah seorang dari ahli qira’at sab’ah membacanya dengan menashabkan kata (ادم) dan merafa’kan kata (كلمات).[45] Alasan dari menashabkan (آدمُ) dan merafa’kan (كلمات) adalah karena hal tersebut tidak akan menimbulkan kesalah pahaman dan keambiguan sebab maknanya sudah diketahui.  
           Ibn al-Tharâwah (438-528 H) mengatakan: إذا فهم المعنى فارفع ما شئت وانصب ما شئت وإنما يحافظ على رفع الفاعل ونصب المفعول إذا احتمل كل واحد منهما أن يكون فاعلا وذلك نحو: ضرب زيد عمرا , لو لم ترفع "زيدا" وتنصب "عمرا" لم يعلم الفاعل من المفعول (apabila makna telah dipahami maka rafa’kan yang kamu inginkan dan nashabkan yang kamu inngikan, sesungguhnya dipeliharanya rafa’nya fâ’il dan nashabnya apabila apabila terjadi kemungikinan tiap-tiap kedua bisa menjadi fâ’il, seperti:  ضرب زيد عمرا , apabila kata "زيدا" tidak dirafa’kan dan kata "عمرا" tidak dinashabkan, maka tidak bisa dibedakan antara fâ’il dengan maf’ûl). Senada dengan al-Tharâwah (438-528 H), al-Zajjâjî juga menyatakan keringanan atau kemudahan (al-Tarakhkhush) dalam i’râb ada didapati dalam syair-syair Arab. Sedangkan Ibn Hisyâm (708-761 H) dia melihat bahwa keringanan dalam hal tersebut merupakan pemanis kalimat orang Arab,[46] sebagaimana yang ia katakana: "من ملح كلامهم تقارض اللفظين في الأحكام" (bagian dari pemanis kalimat mereka adalah saling meminjam antara dua lafazh dalam ketetapan hukum). Seperti memberikan i’râb maf’ûl kepada fâ’il atau sebaliknya, contohnya: "خرق الثوبُ المسمارَ" dan "كسر الزجاجُ الحجرَ" . Kata (الثوبُ) dan (الزجاجُ)  pada kedua kalimat tersebut posisinya sebagai obyek (maf’ûl bih) yang seharus berharakat fathah, tapi disini ia dikasih harakat dhommah. Hal tersebut bisa dilakukan karena maknanya sudah pasti dan orang tidak akan salah memahi bahwa yang merobek baju adalah paku, bukan bukan sebaliknya, begitu juga pada kalimat yang kedua, yang memecah kaca adalah batu.[47]
Berdasarkan dari pembahasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa i’râb berhubungan erat dengan keambiguan atau ketaksaan makna. I’râb hanya dapat berimplikasi pada perubahan makna suatu kalimat yang apabila kalimat tersebut  tidak di’i’râbkan maka akan menimbulkan kerancuan dan keambiguan dalam memahaminya. Sedangkan kalau makna suatu kalimat sudah jelas, maka i’râb tersebut tidak memberikan implikasi terhadap makna kalimat tersebut. Hal ini sesuai dengan tujuan adanya i’râb yaitu untuk memperjelas makna sehingga tidak terjadi kesalahan dalam memahami suatu kalimat.               















DAFTAR PUSTAKA

Abdul Gaffar, Ahmad.Dirâsât Fî al-Nahwy al-Araby, Kairo: al-Islam lil Thiba’ah, 1993
Ahmad Thu’aimah, Rusydi, Ta’lîm al-Lughah al-‘Arabiyyah li ghair al-Nâthiqîn bihâ, Mesir: ISISCO, 1989
Al-Fantûkh, Abd al-‘Azîz ibn Muhammad dkk, Tahdzîb Syarh Ibn ‘Aqîl li Alfiyah Ibn Mâlik, Riyadh: Jâmi’ah al-Imâm Muhammad ibn Sa’ûd al-Islâmiyyah, 1420
Al-As’ad, Abd al-Karîm Muhammad, al-Wasîth fî Târîkh al-Nahwi al-‘Arabî, Riyadh: Dâr al-Syawâf, 1992
Al-Farrâ, Abû Zakariyyâ Yahyâ ibn Ziyâd, Ma’ânî al-Qur’ân,  Bairut: ‘Âlam al-Kutub, 1983
Al-Ghalâyainî, Mushthafâ, Jâmi’ al Durûs al-‘Arabiyyah, Bairut: Maktabah al-‘Ashriyyah, 2003
Al-Khathîb, ‘Abd al-Lathîf Muhammad, Kuwait: al-Turâts al-‘Arabî, t.th
Al-Suyûthî, Jalâl al-Dîn, al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir fî al-Nahwî, Bairut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th
Chaer, Abdul, Linguistk Umum, Jakarta: Rineka Cipta, Cet, II, 2003
Ibn Mâlik, Jamâl al-Dîn Abû ‘Abd Allah Muhammad ibn ‘Abd Allah, Syarh ak-Kâfiyyah al-Syâfiyah, Tahqîq ‘Abd al-Mun’in Ahmad Harîrî, Makkah: Dâr al-Ma’mûn li al-Turâts, t.th,  jil. 1
Kridalaksan, Harimurti, Kamus Linguistik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993
Mahmûd Ma’rûf, Nâyif, Khashâ’ish al-‘Arabîyah wa Tharâ’iq Tadrîsuhâ, Beirut: Dâr al- Nafâis, Cet. 5, 1998
Saussure, Ferdinand de, Course in General Linguistics, New York: Mc Graw-Hill Book Company, 1966,
Shâlih al-Sâmirâ’i’, Fâdhil, Ma’ânî al-NahwiKairo: Syarikah al-‘Âtik, t.th, jilid. 1
Qâsim, Riyadh Zaki, Tiqaniyyât al-Ta’bîr al-‘Arabi, Bairut,: Dâr al-Ma’rifah, 2000, cet. 1
Abû al-Barakât Abd al-Rahmân Ibn Muhammad al-Anbârî, Asrâr al-Arabiyyah, Tahqîq Muhammad Bahjat al-Baithâr, (Damaskus: al-Majma’ al-Ilmi al-Arabi, t.th),







[1] Penulis adalah Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Arab STIT Darul Hijrah Martapura
[2]Lihat, Nâyif Mahmûd Ma’rûf, Khashâ’ish al-‘Arabîyah wa Tharâ’iq Tadrîsuhâ, Beirut: Dâr al- Nafâis, Cet. 5, 1998, h. 40.
[3]Lihat Harimurti Kridalaksan, Kamus Linguistik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993, h. 21, dan Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, New York: Mc Graw-Hill Book Company, 1966, h. 16.
[4]Abdul Chaer, Linguistk Umum, Jakarta: Rineka Cipta, Cet, II, 2003, h. 51.
        [5]Lihat Azhar bin Muhammad, Jurnal Teknologi, Universitas Teknologi Malaysia, edisi 42, Juni 2005, h. 61.
[6]Nâyif Mahmûd Ma’rûf, Khashâ’ish al-‘Arabîyah wa Tharâ’iq Tadrîsuhâ , h. 41.
[7]Padanannya dalam bahasa Inggris adalah style, yaitu cara pengungkapan dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang hendak ia kemukakan. Sedangkan Leech dan Short mendefinisikannya sebagai cara penggunaan bahasa dalam konteks tertentu oleh pengarang tertentu untuk tujuan tertentu, dan seterusnya. Lihat M.H. Abrams, A Glossary of Literary Terms, New York: Holt, Rinehart and Winston, 1981, hlm. 190. Lihat juga, Geoffry N. leech dan Michael H Short, Style in Fiction: A Linguistic Introduction to English Fictional Prose, (London: Longman, t. th), h. 10.
            [8]Lihat Rusydi Ahmad Thu’aimah, Ta’lîm al-Lughah al-‘Arabiyyah li ghair al-Nâthiqîn bihâ, Mesir: ISISCO, 1989. h. 35. Menurut beliau mengetahui karekteristik bahasa Arab akan dapat membantu pengajar bahasa Arab dalam: 1. Penyajian materi (bahan) pengajaran, 2. Mengetahui kesulitan dan kemudahan yang didapati ketika mengajar bahasa tersebut, 3. Melakakukan analisis konrtrastif antara bahasa Arab dengan babasa-bahasa lain, 4. Menjeleskan sistem bahasa Arab kepada siswa-siswa tingkat lanjutan pada program pengajaran bahasa Arab untuk non Arab.
[9]I’râb menurut Ahmad Abdul Gaffar adalalah: أثر ظاهر أو مقدر يحدثه العامل في اخر الاسم المتمكن والفعل المضارع فيكون اخر الاسم مرفوعا أو منصوبا أو مجرورا, واخر المضارع مرفوعا أو منصوبا أو مجزوما, وهذا الأثرالذي يحدثه العامل إما أن يكون حركة أو حرفا أو سكونا أو حذفا. Lihat Ahmad Abdul Gaffar, Dirâsât Fî al-Nahwy al-Araby, Kairo: al-Islam lil Thiba’ah, 1993, h. 86.
[10]‘Abd al-Qâdir ibn ‘Abd al-Rahmân al-Sa’di, Ahdâf al-I’râb wa Shilatuh bi al-‘Ulûm al-Syar’iyyah wa al-Arabiyyah, Majalah Jâmi’ah Ummu al-Qurâ li ‘Ulûm al-Syari’ah wa al-Lughah al-Arabiyyah wa Adâbiha, jilid. 15, edisi 27, 1424 H, h. 562.
[11]Lihat ‘Abd Allah Jâd al- Karîm, al-Daras al-Nahwi Fî al-Qaran al-‘Isyrîn, (Kairo:  Maktabah al-Adab, 2004), Cet. 1, h. 86 . 
[12]Ahmad Abd al-Ghaffâr, Dirâsât Fî al-Nahwi al-Arabi, h. 90.
[13]Lihat, Muhammad ibn Abdul Malik al-Sarrâj al-Syantarînî, Tanbîh al-Albâb ‘Ala Fadhâ’il al-I’râb, (Yordania: Dâr ‘Ammâr, 1995), cet. 1, h. 22.
[14]Lihat, Ibn ‘Ushfûr al-Isybilî, Syarh Jumal al-Zujâjî, tahqîq Shâhib Abû Janâh, t. th, jilid. 1, h. 102.
[15]Lihat, Ahmad ‘Abd al-Ghaffâr, Dirâsât fî al-Nahwi al-‘Arabî, (Kairo: al-Islâm li al-Thibâ’ah, 1993), jil.1, h. 86.
[16]Abû al-Fath Utsmân ibn Jinnî lahir di Mosul tahun 321 H. Asal keturunan Ibn Jinnî tidak diketehui dengan jelas. Ayahnya keturunan Roma dan Yunani, budak Sulaiman ibn Ahmad al-Azdî. Oleh karena itu Ibn Jinnî sering menggunakan nama majikannya di belakang namanya, yaitu  Abû al-Fath ibn Ahmad al-Azdî. Ibn Jinnî termasuk penulis yang produktif, dia banyak mengarang kitab yaitun hampir mencapai 50 judul. Di antara karyanya adalah al-Khashâ’ish, Sirru al-Shinâ’ah, al-Muhtasab,  al-Luma’fî al-‘Arabiyyah, al-Muntashif, Kitâb al-Mudzakkar wa al-Mu’annats, al-Wuqûf wa al-Ibdâl, al-Mahâsin fî al-‘Arabiyyah al-Muqtadhab,dan lain-lain. Lihat, Syeikh Muhammad Thanthâwi, Nasy’at al-Nahwi wa Târîkh Asyhar al-Nuhât  hlm. 202. Syauqî Dhif, al-Madâris al-Nahwiyyah, (Kairo: Dâr al-Ma’ârif: 1976), cet. 3, h. 265-276.
[17]Ibn Jinniy, al-Khashâ’ish, (Tahqîq Muhammad Ali al-Najjâr), Bairut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabi, 1952, jilid 2, h.35.
[18]Lihat Abu Muhammad al-Qâsim ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Harîry, Syarah Mulhatu al-I’râb, Tahqîq Kâmil Mushthafa al-Handâwi, Bairut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005, cet. 2, h. 22.
[19]Lihat Mâzin al-Mubârak, al-Zujâjî Hayâtuhu wa Âtsâruhu wa Mazhabuhu al-Nzhwî, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1984, cet. 2, h. 66.
[20]Nama lengkapnya adalah Abu al-Barakât ‘Abd al-Rahman ibn Abî al-Wafâ’ Muhammad ibn ‘Ubaid Allah ibn Abî Sa’îd al-Anbari yang diberi gelar Kamâl al-Dîn, lahir di distrik Anbar yaitu sebuah kota di tepi sebelah timur sungai Ifrat, dekat Baghdâd Ibu kota Irak. Ia pernah belajar pada Madrasah al-Nizhâmiyyah di Baghdâd. Belajar fiqh dari al-Imâm Abî Manshûr Sa’îd Muhammad yang dikenal dengan ibn al-Razzâz yaitu seorang guru fiqh mazhab Syafi’i di madrasah al-Nizhâmiyyah. Sedangkan ilmu bahasa dan sastra dia belajar dari al-Imâm Abî Manshûr al-Jawâlîq Mauhûb ibn Ahmad. Kemudian ilmu nahwu ia pelajari dari al-Imâm Abî al-Sa’âdât Hibat Allah ibn al-Syajarîk (w. 542 H) dan al-Jawâlîqî (466-540 H). Di antara karyanya adalah al-Inshâf fî Masâil al-Khilâf baina al-Bashriyyîn wa al-Kufiyyîn, Asrâr al-‘Arabiyyah, dan Nuzhat al-Alibbâ’ fî Thabaqât al-Udabâ’, dan lain-lain. Lihat, Lihat ‘Abd al-Rahmân Uthbah, Ma’a al-Maktabah al-‘Arabiyyah: Dirâsah fi Ummahât al-Mashâdir  wa al-Marâji’ al-Muttashilah bi al-Turâts, (Bairut: Dâr al-Awzâ’î, 1986), cet. III, h. 292.
[21]Lihat, Abû al-Barakât Abd al-Rahmân Ibn Muhammad al-Anbârî, Asrâr al-Arabiyyah, Tahqîq Muhammad Bahjat al-Baithâr, (Damaskus: al-Majma’ al-Ilmi al-Arabi, t.th), h. 18-19.
[22]Lihat, Abû al-Barakât Abd al-Rahmân Ibn Muhammad al-Anbârî, Asrâr al-Arabiyyah, Tahqîq Muhammad Bahjat al-Baithâr, h. 19.
[23]Âmil adalah faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan harakat pada akhir kata dalam suatu kalimat, sehingga akhir kata tersebut berubah menjadi rafa’, nashab, jar, atau jazam. Menurut riwayat Muhammad ibn Salâm al-Jumhî, ‘Abd Allah ibn Abî Ishâq al-Hadhramî (w. 117 H) adalah orang pertama yang menciptakan teori ‘âmil ini pada ilmu nahwu, kemudian diikuti oleh ‘Îsâ ibn ‘Umar (w. 149 H), dan berkembang melalui Khalîl ibn Ahmad al-Farâhîdî (w. 179 H).  Lihat ‘Abbâs Hasan, al-Nahwu al-Wafî, Kairo: Dâr al-Ma’ârif, t.th, cet. 3, h. 75. Lihat juga,’Abd Allah Ahmad Jâd al-Karîm, al-Ma’na wa al-Nahwu, (Maktabah al-Âdâb, 2002), cet. 1, h. 43. Lihat juga Thalâl ‘Alâmah, Tathawwur al-Nahwi al-‘Arabi, Bairut: Dâr al-Fikr al-Lubnâni, 1993, cet. 1, h. 37. Lihat juga, ‘Abd al-Qâhir al-Jujânî, al-‘Awâmil al-Mi’ah fi Ushûl ‘Ilm al-‘Arabiyyah, Tahqîq Zahrân al-Badrâwî, (Kairo: Dâr al-Ma’arif, 1988), cet. 2, h. 73.
[24]Nama lengkapnya adalah Jamâl al-Dîn Abû Muhammad ‘Abd Allah ibn Yûsuf ibn Ahmad ibn ‘Abd Allah ibn Hisyâm al-Anshârî. Dia merupakan ahli nahwu yang termasyhur pada masa al-Mamâlîk, lahir di Kairo pada tahun 708 H. Ia pernah mendengarkan Dîwân Zuhair ibn Abî Sulmâ dari Abû Hayyân, ia pernah juga belajar dengan Tâj al-Dîn al-Tabrîzî. Ia pernah belajar fiqh dengan Imâm al-Syâfi’i, kemudian pindah menjadi panganut mazhab Hanbali. Di antara karyanya adalah Qathr al-Nadâ wa Ballu al-Shadâ, Syudzûr al-Dzahab fi Ma’rifah Kalâm al-‘Arab, Audhahu al-Masâlik ilâ alfiyah ibn Mâlik, Syarah al-Tashîl ibn Mâlik, al-Jâmi’ al-Shaghîr, al-Jâmi’ al-Kabîr, al-I’râb ‘an Qawâ’id al-I’râb, ‘Umdah al-Thalib fi al-Tahqîq Tashrîf ibn al-Hâjib. Lihat ‘Abd al-Karîm Muhammad al-As’ad, al-Wasîth fî Târîkh al-Nahwi al-‘Arabî, Riyadh: Dâr al-Syawâf, 1992, cet. 1, h. 210. Lihat juga, Syauqî Dhif, al-Madâris al-Nahwiyyah, (Kairo: Dâr al-Ma’ârif: 1976), cet. 3, h. 346- 348.
[25]Ibn Hisyâm, Syarah Syudzûr al-Dzahab Fî Ma’rifah Kalâm al-‘Arab, Kairo: Maktabah al-Kulliyyât al-Azhariyyah, t.t, h. 42.
[26]Mushtafa al-Ghalâyîni, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, Bairut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1984, cet. 17, jilid. 1, h. 16.
[27]‘Abbâs Hasan, al-Nahwu al-Wafî, Kairo: Dâr al-Ma’ârif, t.th, cet. 3, h. 74.
[28]Harakat merupakan bagian dari fonem, studi tentang harakat ini dipandang penting sebab ia beruba-ubah, ia juga menentukan bentuk (shîghah) suatu kata dan memperjelas makna. Dalam bahasa Arab harakat ada tiga, yaitu: fathah, dhommah, dan kasrah, tetapi tingkatan harakat ini dari segi panjang dan pendeknya terbagi kepada enam bagian, yaitu: fathah dan fathah thawîlah, dhommah dan dhommah thawîlah, kasrah dan kasrah thawîlah. Lihat Riyadh Zaki Qâsim, Tiqaniyyât al-Ta’bîr al-‘Arabi, (Bairut,: Dâr al-Ma’rifah, 2000), cet. 1, h. 91. 
[29]Lihat, Ahmad ‘Abd al-Sattâr al-Jawârî, Nahwu al-Ma’ânî, (Mathba’ah al-Majma’ al-‘Ilmi al-Irâqî, 1987), h. 34.
[30]Lihat, Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, jilid. 1, h. 201.
[31]Lihat, Hammâsah ‘Abd al-Lathîf, al-‘Alâmah al-I’râbiyyah, (Kairo: Dâr al-Fikr, t.th),  h. 277.
[32]Lihat, Fâdhil Shâlih al-Sâmirâ’i’, Ma’ânî al-Nahwi, (Kairo: Syarikah al-‘Âtik, t.th), jilid. 1, h. 33.
[33]Lihat, Majallah al-Turâts al-‘Arabî, (Damaskus: edisi. 108, tahun ke 27, Desember 2008).
[34]Yang dimaksud dengan maf’ûl ma’ah (المفعول معه) adalah isim yang mansûb yang posisinya berada setelah huruf waw yang mempunyai makna “bersama” (مع). Sedang menurut Musthafâal-Ghalâyainî adalah: isim pelengkap (isim fadhlah) yang terletak setelah huruf wâw yang bermakna “bersama” (ma’a) yang didehului oleh kalimat untuk menunjukan terjadinya sesuatu bersamaan dengannya. Untuk memperdalam tentang maf’ûl ma’ah ini silahkan lihat, Mushthafâ al-Ghalâyainî, Jâmi’ al Durûs al-‘Arabiyyah, (Bairut: Maktabah al-‘Ashriyyah, 2003), cet. 1, jilid. 2, h. 456-459.     Lihat juga, ‘Abd al-‘Azîz ibn Muhammad al-Fantûkh dkk, Tahdzîb Syarh Ibn ‘Aqîl li Alfiyah Ibn Mâlik, (Riyadh: Jâmi’ah al-Imâm Muhammad ibn Sa’ûd al-Islâmiyyah, 1420), h. 78.
[35]Menurut Mushthafâ al-Ghalâyainî, istitsnâ adalah: إخراج ما بعد "إلا" أو إحدى أخواتها من أدوات الاستثناء من حكم ما قبله (mengeluarkan kata yang berada setelah "إلا" atau salah satu dari kawan-kawannya yaitu: غير – سوى – خلا – عدا – حاشا dari hukum yang dimiliki oleh kalimat yang sebelumnya. Untuk mengetahui lebih dalam tentang istitsnâ ini silahkan baca, Mushthafâ al-Ghalâyainî, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, h. 493.
[36]Dhamîr adalah isim yang menunjukkan atas orang pertama (al-Mutakallim), orang kedua (al-Mukhâthab), atau orang ketiga (al-Ghâ’ib). Dhamîr ini terbagi kepada dua bagian, yaitu tersembunyi (mustatar) dan tampak (bâriz), dan  yang  tampak (al-Bâriz) ini terbagi dua, yaitu:1.al-Muttashil , yaitu yang tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan dengan fi’il atau isim, seperti tâ al-Fâ’il dari (قرأتً), alif al-Itsnain dari (كتبَا), dan wâw al-Jamâ’ah dari (ذهبوا) 2. al-Munfashil, yaitu yang berdiri sendiri seperti: أنا – أنت – نحن – أنتما – أنتم – أنتن – هو – هي – هما – هم – هن . Untuk lebih memperdalam masalah dhamîr ini silahkan baca, Muhammad ‘Ali Abû al-‘Abbâs, al-I’râb al-Muyassar, (Kairo: Dâr al-Thalâ’i, t.th), h. 14-17.
[37]Lihat, Majallah al-Turâts al-‘Arabî, (Damaskus: edisi. 104, tahun ke 21, 2006).
        [38]Dasar dan asal dari dibuatnya kalimat baik dalam bentuk ujaran maupun tulisan adalah untuk memberikan pemahaman (al-Ifhâm) kepada penerima kalimat tersebut. Sebab seseorang  berbicara atau menulis tujuannya adalah menyempaikan pemikiran dan ide kepada pendengar atau pembaca. Jadi, kaidah bahasa (al-Nizhâm al-Lughawî) dibuat untuk memberikan pengertian yaitu untuk menyempaikan maksud dan tujuan pembicara kepada pendengar.
        [39]Lihat pernyataan Tammâm Hassan: (ويتضح خضوع العدول لأمن اللبس في وجوب أن يكون هناك دليل على المحذوف وضرورة التفسير عند الأضمار وما يفرض من شروط على الفصل بين المتلازمين وعلى التقديم والتأخير وهلم جرا), Tammâm Hassan, al-Lughah al-‘Arabiyyah Ma’nâhâ wa Mabnâhâ, h. 233.
        [40]Lihat, Ahmad ‘Arfah, al-Nahwu wa al-Nuhât,
        [41]Lihat, Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir fî al-Nahwî, (Bairut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th),  jil. 1, h. 337.
[42]Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn ‘Abd Allah ibn’Abd Allah ibn Mâlik Jamâl al-Dîn Abû ‘Abd Allah al-Jayyânî lahir di Jayyân pada tahun 601 H. Dia pernah belajar dengan ibn Hâjib di Mesir pada tahun 630, belajar dengan al-Sakhâwî di Damaskus, dan belajar dengan ibn Ya’îsy al-Halabî di Halab.
        [43]Lihat, Jamâl al-Dîn Abû ‘Abd Allah Muhammad ibn ‘Abd Allah ibn Mâlik, Syarh ak-Kâfiyyah al-Syâfiyah, Tahqîq ‘Abd al-Mun’in Ahmad Harîrî, (Makkah: Dâr al-Ma’mûn li al-Turâts, t.th),  jil. 1, h. 612.
        [44]Nama lengkapnya Abû al-Husain ibn al-Tharâwah. Dia merupakan salah satu ahli nahwu yang paling menonjol pada masa keemasan Andalus. Dia belajar “kitab Sibawaihi “ dari al-A’lam Yûsuf ibn Sulaimân (w. 476 H), kemudian di antara guru-gurunya yang lain adalah: Abû Marwân ‘Abd al-Malik ibn Sarrâj (w. 489 H) dan Abû al-Walîd ibn Khalaf al-Bâjî (w. 474 H). Dia banyak berbeda pendapat dengan mayoritas (jumhûr) al-Nuhât secara umum, dan dengan Sibawaihi secara khusus. Di antara karya-karyanya adalah: al-Muqaddimât ilâ ‘Ilm al-Kitâb, Syarh al-Musykilât ‘alâ Tawâlî al-Abwâb, Tarsyîkh al-Muqtadâ, Maqâlah fî al-Isim wa al-Musammâ al-Ifshâh bi Ba’dhi mâ Jâ’a min al-Khatha’ fî al-Îdhâh. Lihat, Mazîd Ismâ’îl Na’îm dan Rûfâ’îl Marjân, Abû al-Husain ibn al-Tharâwah wa Ârâ’uhu fî al-Nahwi wa al-Sharf, Majallah Jâmi’ah Tisyrîn li al-Dirâsah wa al-Buhûts al-‘Ilmiyyah: Silsilah al-Âdâb wa al-‘Ulûm al-Insâniyyah, jil. 27, edisi.2, 2005.
        [45]Lihat, Abû Zakariyyâ Yahyâ ibn Ziyâd al-Farrâ, Ma’ânî al-Qur’ân,  (Bairut: ‘Âlam al-Kutub, 1983), cet. 3, jil. 1, h. 28.
        [46]Lihat, Ibnu Hisyâm al-Anshârî, Mughnî al-Labîb ‘an Kutub al-A’ârîb, Tahqîq: ‘Abd al-Lathîf Muhammad al-Khathîb, (Kuwait: al-Turâts al-‘Arabî, t.th), Jil. 6, h. 719.
        [47]Lihat, Ibnu Hisyâm al-Anshârî, Mughnî al-Labîb ‘an Kutub al-A’ârîb, Tahqîq: ‘Abd al-Lathîf Muhammad al-Khathîb, 725.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar