Selasa, 11 Agustus 2015

PENDIDIKAN AKHLAK PERSPEKTIF AL-QUR'AN SURAH AL-NUR AYAT 4-9



PENDIDIKAN AKHLAK
PERSPEKTIF AL-QUR’AN SURAH AL-NUR AYAT 4-9

Disusun oleh:
Muhammad Toriqularif[1]

Abstrak
Menuduh adalah perbuatan yang keji apa lagi tidak dapat memberikan bukti-bukti atau saksi-saksi. Menjaga lisan sangat dianjurkan dalam hal ini, terlebih menuduh wanita yang baik-baik berbuat zina apa lagi yang dituduh adalah istrinya sendiri.
Dalam ayat 4 dan 5 surah al-Nur dijelaskan bahwa apabila ada yang menuduh berzina wanita baik-baik dan ia tidak dapat menunjukkan empat orang saksi maka baginya di cambuk 80 kali apabila ia merdeka dan 40 kali apabila ia budak serta dianjurkan untuk tidak menerima kesaksian apapun dari mereka karena tergolong fasik disebabkan kecerobohan mereka menuduh tanpa dasar.
Dua ayat selanjutnya menjelaskan tentang sanksi hukum terhadap suami yang menuduh istrinya berzina yang tidak mendatangkan saksi-saksi yang menguatkan tuduhannya selain diri mereka sendiri, maka mereka harus bersumpah sebanyak empat kali dengan nama Allah bahwa mereka termasuk orang-orang yang benar atas tuduhannya terhadap istrinya itu. Dan sumpah yang ke lima menjadi laknat baginya apa bila mereka tergolong orang-orang yang berbohong.
 Kemudian dalam ayat selanjutnya dijelaskan bahwa sang istri diberikan kesempatan untuk membela dirinya atas tuduhan suaminya. Apa bila sang istri diam tiadak membantah tuduhan suaminya maka ia dihukumkan zina, sang istri terhindar dari hukum zina dengan jalan bersaksi atas nama Allah sebanyak empat kali bahwa suaminya tergolong orang-orang pembohong, dan sumpah yang kelima menjadi laknat baginya apa bila suaminya benar dengan tuduhannya.
Dalam sebuah munasabah yang berkaitan dengan ayat-ayat diatas menjelaskan bahwa hendaklah sangat berhati-hati dan jangan bertindak ceroboh baik menuduh atau perbuatan keji lainnya jika tidak pasti kebenarannya dan hendaklah tidak termakan isu bila tidak ingin mendapat laknat dari Allah. Namun demikian apabila manusia mau bertaubat maka niscaya Allah akan mengampuni karena besarnya anugerah dan kasih sayang Allah.
 
Kata kunci; Akhlak, Surah Al- Nur, Ayat 4-9
PENDIDIKAN AKHLAK
PERSPEKTIF AL-QUR’AN SURAH AL-NUR AYAT 4-9

A.  Pendahuluan
Allah Swt. menurunkan Al-Qur’an bukan untuk sia-sia, karena Al-Qur’an adalah tuntunan sepanjang hayat demi kebahagian hidup di dunia dan akhirat. Kehadiran Al-Qur’an ditengah-tengah kehidupan manusia adalah sebagai jawaban yang terbaik dan paling benar dari segala permasalahan yang ada dimuka bumi. Istilah lain pun dapat kita jumpai dalam memaknai kehebatan dan keagungan Al-Qur’an salah satunya ialah “Al-Qur’an sesuai dengan segala ruang dan waktu sampai hari kiamat”.[2] Secara global petunjuk Al-Qur’an meliputi tiga hal pokok, yaitu:
1.    Masalah akidah atau kepercayaan, yang mencakup kepercayaan kepada Tuhan dengan segala sifatnya. Wahyu dengan segala kaitannya yang antara lain kitab-kitab suci, malaikat dan para nabi, hari kemudian dan balasan dan ganjaran Tuhan didalamnya.
2.    Masalah ibadah dan syari’at, yang meliputi hukum-hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia dan sesama alam.
3.    Masalah akhlak dan budi pekerti yang bertujuan mewujudkan keserasian hidup bermasyarakat, dalam bentuk antara lain gotong-royong, amanat, kebenaran, kasih sayang, tanggung jawab, dan lain-lain.[3]
Dalam kesempatan ini akan kita bahas tentang isi kandungan Surat Al-Nur dan hubungannya dengan pendidikan akhlaq. Sebagaimana yang telah kita ketahui, Surat Al-Nur terdiri atas 64 ayat, dan termasuk golongan surat-surat madaniyah. Dinamai Al-Nur yang berarti Cahaya, diambil dari kata Al-Nur yang terdapat pada ayat ke 35. Dalam ayat ini, Allah swt. menjelaskan tentang Nur Ilahi, yakni Al-Quran yang mengandung petunjuk-petunjuk. Petunjuk-petunjuk Allah itu, merupakan cahaya yang terang benderang menerangi alam semesta. Surat ini sebagian besar isinya memuat petunjuk-petunjuk Allah yang berhubungan dengan soal kemasyarakatan dan rumah tangga. Pokok-pokok isi kandungan  Surah Al-Nur diantaranya adalah, (1) tentang keimanan, yaitu kesaksian lidah dan anggota-anggota atas segala perbuatan manusia pada hari kiamat, hanya Allah yang menguasai langit dan bumi, kewajiban rasul hanyalah menyampaikan agama Allah, iman merupakan dasar dari pada diterimanya amal ibadah. (2) tentang hukum-hukum, yaitu hukum-hukum sekitar masalah zina, li'an dan adab-adab. Berita bohong terhadap Umu Al-Mu'minin 'Aishah r.a. (Qishatu al-Ifki). (4) dan lain-lain, yaitu semua jenis hewan diciptakan Allah dari air, janji Allah kepada kaum muslimin yang beramal shaleh[4].
Untuk lebih memfokuskan pembahasan agar tidak melebar dan menyesuaikan tema sebagaimana yang tertera, maka dalam makalah ini hanya akan membahas sekelumit kandungan surah al-Nur ayat 4 sampai dengan ayat 9 yang berhubungan dengan akhlaq. Semoga makalah ini dapat bermanfaat serta menjadi pencerahan bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.

B.  Makna Kata
Kata yarmun pada mulanya berarti melempar, tapi yang dimaksud disini adalah makna majazi, yakni menuduh. Ayat ini tidak menjelaskan tuduhan apa yang dimaksud, tetapi dari konteknya dipahami bahwa ia adalah tuduhan berzina. Memang pada masa jahiliah sering kali tuduhan semacam itu dilontarkan bila mereka melihat hubungan akrab antara pria dan wanita. Mereka juga sering kali menuduh wanita berzina, jika melihat anak yang dilahirkan tidak mirip dengan suami ibu yang melahirkannya. Kata al-Muhshanat terambil dari akar kata hashana yang berarti menghalangi. Benteng dinamai hishn karena dia menghalangi musuh masuk atau musuh melintasinya. Wanita yang dilukiskan dengan akar kata ini oleh al-Qur’an, dapat diartikan sebagai wanita yang terpelihara dan terhalangi dari kekejian, karena dia adalah seorang yang suci bersih, bermoral tinggi, atau karena dia merdeka, bukan budak, atau karena seorang istri yang mendapat perlindungan dari suaminya. Para ulama sepakat menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata tersebut di sini adalah wanita yang suci bersih, bermoral tinggi, baik telah menikah maupun belum. Jika demikian siapa pun wanita terhormat dengan keimanannya yang dicemarkan nama baiknya dengan tuduhan zina, maka pencemarnya dituntut mendatangkan empat orang saksi atau didera[5].

C.  Tafsir Surah Al- Nur ayat 4-9

tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù'tƒ Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­ óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ Ÿwur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy»pky­ #Yt/r& 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÍÈ   žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qç/$s? .`ÏB Ï÷èt/ y7Ï9ºsŒ (#qßsn=ô¹r&ur ¨bÎ*sù ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÎÈ   tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ öNßgy_ºurør& óOs9ur `ä3tƒ öNçl°; âä!#ypkà­ HwÎ) öNßgÝ¡àÿRr& äoy»ygt±sù óOÏdÏtnr& ßìt/ör& ¤Nºy»uhx© «!$$Î/   ¼çm¯RÎ) z`ÏJs9 šúüÏ%Ï»¢Á9$# ÇÏÈ   èp|¡ÏJ»sƒø:$#ur ¨br& |MuZ÷ès9 «!$# Ïmøn=tã bÎ) tb%x. z`ÏB tûüÎ/É»s3ø9$# ÇÐÈ   (#ätuôtƒur $pk÷]tã z>#xyèø9$# br& ypkôs? yìt/ör& ¤Nºy»pky­ «!$$Î/   ¼çm¯RÎ) z`ÏJs9 šúüÎ/É»s3ø9$# ÇÑÈ   sp|¡ÏJ»sƒø:$#ur ¨br& |=ŸÒxî «!$# !$pköŽn=tæ bÎ) tb%x. z`ÏB tûüÏ%Ï»¢Á9$# ÇÒÈ  
Ada pun arti dari ayat 4-9 surah al-Nur adalah sebagai berikut;
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[6] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta[7]. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar Termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu Termasuk orang-orang yang benar. (Q.S. Al- Nur, ayat 4-9)

Setelah ayat yang lalu menguraikan keburukan mengawini pezina, ayat 4 dan 5 di atas mengingatkan tentang keburukan serta sanksi hukum terhadap mereka yang menuduh dan mencemarkan nama baik seorang wanita terhormat. Apa bila ada orang yang menuduh berzina wanita baik-baik, kemudian mereka tidak dapat menunjukkan empat orang saksi, maka bagi si penuduh akan dicambuk sebanyak 80 kali jika penuduhnya merdeka dan 40 kali jika penuduhnya hamba sahaya. Selain itu dianjurkan untuk tidak menerima kesaksian apapun dari mereka karena mereka tergolong orang-orang yang fasik disebabkan kecerobohan mereka melempar tuduhan tanpa dasar. Ketentuan ini berlaku bagi siapa saja kecuali bagi orang-orang yang bertaubat serta bertekad untuk tidak mengulangi lagi sesudah dicambuk dan membuktikan pertaubatan mereka dengan memperbaiki diri dan beramal saleh, bila sudah demikian maka kesaksian mereka bisa diterima dan tidak dinamai fasik lagi, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang[8]. Pendapat lain menyebutkan, kesaksian mereka tetap tidak diterima. Pendapat ini beranggapan bahwa pengertian istisna atau pengecualian di sini hanya kembali kepada kalimat terakhir dari ayat sebelumnya tadi, yaitu; “Dan mereka itulah orang-orang yang fasik”. Maksudnya hanya status fasiknya saja yang dihapus dari mereka, sedangkan ketiadagunaan kesaksiannya masih tetap[9].
Setelah menyebut tuduhan terhadap wanita-wanita secara umum, maka pada ayat 6-7 menguraikan tuduhan suami kepada istrinya. Ayat ini menyatakan bahwa, sanksi hukum terhadap orang yang menuduh istrinya berzina dengan tidak mendatangkan saksi-saksi yang menguatkan tuduhannya selain diri mereka sendiri, maka mereka harus bersumpah sebanyak empat kali dengan nama Allah bahwa mereka termasuk orang-orang yang benar dalam tuduhannya kepada istrinya itu. Dan sumpah yang ke lima adalah laknat Allah baginya apabila mereka termasuk kelompok pembohong yakni orang-orang yang telah mendarah daging sifat buruk itu dalam kepribadiannya[10]. Dalam hal ini yang menjadi khabar dari mubtada pada ayat yang sebelumnya tadi ialah, untuk menolak had menuduh berzina yang akan ditimpakan atas dirinya[11].
Setelah menjelaskan apa yang harus ditempuh oleh suami yang menuduh istrinya berzina, kini istri diberi kesempatan untuk menunjukkan kesuciannya dan kepalsuan tuduhan suaminya. Ayat ini menyatakan, apabila sang istri diam tidak membantah tuduhan suami, maka ia dijatuhi sanksi hukum zina, dan sang istri dihindarkan dari hukuman zina dengan jalan bersaksi atas nama Allah sebanyak empat kali bahwa suaminya benar-benar tergolong pembohong, dan sumpah yang ke lima menjadi laknat Allah baginya jika ia yaqin suaminya itu termasuk kelompok orang-orang yang benar[12].
D.  Asbab al-Nuzul Ayat
Al-Bukhari meriwayatkan dari jalur Ikrimah dari Ibnu Abbas bahwa dihadapan Nabi saw. Hilal bin Umayyah menuduh istrinya berzina dengan syuraik bin Sahma. Nabi saw. bersabda kepadanya, “keluarkan saksi! kalau tidak, kamu harus menerima hukuman had”. Ia berkata, “Rasulullah kalau salah seorang dari kami melihat lelaki lain bersama istrinya, apa mungkin dia pergi mencari saksi?!” Nabi saw. mengulangi sabdanya, “keluarkan saksi! kalau tidak, kamu harus menerima hukuman had”. Hilal pun berkata, “Demi Allah yang mengutusmu dengan membawa kebenaran, saya berkata apa adanya. Semoga Allah menurunkan ayat yang membebaskan punggung saya dari hukuman had”. Maka Jibril turun membawa firman Allah kepada Nabi Muhammad saw. ayat 6 sampai ayat 9 surat al-Nur.[13]
Ahmad meriwayatkannya dengan lafazh bahwa ketika turun ayat 4 surah a-Nur, Sa’ad bin Ubadah yang merupakan pemimpin Anshar berkata, “apakah demikian ayat itu diturunkan, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “hai orang-orang Anshar, apakah kalian tidak mendengar ucapan pemimpin kalian ini?” mereka menyahut, “wahai rasulullah, jangan salahkan dia! Dia seorang yang amat pencemburu. Sungguh, tidak pernah ia mengawini wanita lalu ada seorang di antara kami yang mengawini (bekas istrinya itu) karena saking besarnya cemburunya”. Sa’ad berkata, “Rasulullah, saya sungguh tahu bahwa ayat itu benar dan bahwa ia dari Allah. Hanya saja saya merasa heran bahwa kalau saya mendapati istri saya disetubuhi seorang laki-laki, saya tidah boleh meyeretnya atau menggerakkannya sebelum empat orang saksi!”.[14]
Tidak lama kemudian datang Hilal bin Umayyah, salah satu dari tiga orang yang diterima tobatnya. Dia datang dari kampungnya pada waktu isya, dan ia dapati seorang lelaki sedang bersama istrinya. Ia lihat dengan matanya dan ia dengar dengan telinganya sendiri. Dia tidak bertindak apa-apa hingga pagi harinya. lalu ia pergi menemui Rasulullah dan melapor, “Saya pulang kerumah pada waktu isya. Saya dapati istri saya bersama seorang lelaki. Saya saksikan dengan mata saya dan saya dengar dengan telinga saya!” Rasulullah tidak senang dengan laporan yang dibawanya. Orang-orang Anshar berkumpul dan berkata, “kita telah ditimpa peristiwa seperti yang dikatakan sa’ad bin ‘Ubadah. Sekarang Rasulullah akan mencambuk Hilal bin Umayyah dan membatalkan persaksiannya dimasyarakat!”
Hilal berkata, “Demi Allah, saya berharap Allah memberi jalan keluar bagi saya dari hukuman”. Demi Allah Rasulullah sudah hendak memerintahkan pelaksanaan hukuman cambuk, ketika tiba-tiba Allah menurunkan wahyu kepada beliau sehingga para sahabat menahan pelaksanaannya hingga beliau selesai menerima wahyu. Saat itulah turun ayat 6 surah al-Nur. Abu ya’la juga meriwayatkan hal senada dari hadits Anas[15].
Al-Bukhari dan Muslim serta yang lain meriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad bahwa Uwaimir datang menemui Ashim bin Adi. Kata-katanya, “Tolonglah aku bertanya kepada Rasulullah. Kalau ada seorang laki-laki mendapati lelaki lain bersama istrinya lalu ia membunuhnya, apakah dia akan dibunuh apakah dia akan dibunuh sebagai hukuman qishash, atau bagaimana?” Lalu ‘Ashim menanyakan hal itu kepada Rasulullah, dan beliau mengecam si penanya. Ketika bertemu lagi, Uwaimir bertanya, “apa kabar?” Ia menjawab, “Apa kabar?!” Kamu tidak membawa kebaikan buatku! Aku sudah bertanya kepada Rasulullah, tapi beliau malah mengecam si penanya!” kata si Uwaimir, Demi Allah, saya akan datangi Rasulullah dan saya akan bertanya sendiri!” Lalu ia pergi dan bertanya dan Rasulullah mengatakan, “Telah diturunkan beberapa ayat kepadaku mengenai dirimu dan istrimu”.[16]
Al-hafizh Ibnu hajjar berkata, “Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Ada yang mentarjih bahwa ayat-ayat ini turun tentang Uwaimir, dan ada pula yang mentarjih bahwa ia turun tentang urusan Hilal, juga ada yang mengompromikan antara keduanya bahwa yang pertama-tama terjadi adalah urusan Hilal lalu kebetulan saat itu juga Uwaimir datang, jadi ayat-ayat tersebut turun mengenai keduanya. An-Nawawi, diikuti oleh al-Khathib, cenderung kepada kompromi ini. Katanya, “Barangkali keduanya kebetulan terjadi pada waktu bersamaan”.
Kata al-hafizh Ibnu Hajar, “Ada kemungkinan bahwa ayat itu telah turun disebabkan peristiwa Hilal; dan ketika Uwaimir (yang tidak mengetahui peristiwa yang dialami Hilal) datang, Nabi saw. memberi tahunya tentang hukumnya. Oleh sebab itu, beliau mengeluarkan sabda seperti itu dalam kisah hilal, lalu Jibril turun, sedangkan dalam kisah Uwaimir beliau bersabda, “Allah telah menurunkan ayat tentang dirimu.”  Ucapan beliau,  “Allah telah menurunkan ayat tentang dirimu”.  diartikan, Tentang siapa pun yang mengalami seperti apa yang kamu alami. Jawaban inilah yang dikemukakan oleh Ibnush Shabbaagh dalam asy-Syaamil. Sementara al-Qurthubi cenderung kepada pendapat yang mengatakan bahwa ada kemungkinan ayat ini turun dua kali.
Al-bazzar meriwayatkan dari jalur Zaid bin Muthii’ dari Hudzaifah bahwa Rasulullah bertanya kepada Abu Bakar, “Kalau kamu lihat seorang laki-laki bersama Ummu Ruman, apa yang akan kamu lakukan terhadapnya?” Ia menjawab, “saya pasti mengambil tindakan yang buruk terhadapnya”. Rasulullah bertanya, “Bagaimana denganmu, Umar?” Ia menjawab, “Saya akan mengatakan, ‘Allah mengutuk orang yang lebih lemah, dan sungguh dia orang yang keji”. Maka turunlah ayat ini. Kata al-Hafizh Ibnu Hajjar, “Tidak ada halangan sebab turunnya ayat banyak”.[17]

E.   Munasabah ayat
Dari pembahasan surah al-Nur ayat 4-9 diatas, yang sangat erat munasabahnya adalah ayat 10 dan ayat 23 dari surah yang sama. Ada pun arti dari ayat 10 surah al-Nur ialah, “Dan andaikata tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya atas dirimu dan (andaikata) Allah bukan Penerima taubat lagi Maha Bijaksana, (niscaya kamu akan mengalami kesulitan-kesulitan). Ayat ini dapat dipahami bahwa, seandainya Allah bukan sebaik-baik Pengampun dan sebaik-baik Pencurah rahmat dan andaikata tidak ada karunia Allah yang menurunkan al-Qur’an dan jikalau tidak ada rahmat-Nya yang memberi pertaubatan, serta menetapkan ketentuan hukum yang bijaksana dalam mengatur kehidupan, maka pastilah akan terjerumus dalam kedurhakaan dan kekacauan. Tetapi itu tidak terjadi karena pengampunan Allah, kebijaksanaan dan rahmatNya dan Dialah Penerima taubat lagi Maha Bijaksana.[18] 
Ayat 10 surat al-Nur di atas tidak menyebut apa yang diakaibatkan oleh kata seandainya. Ini dimaksudkan untuk melukiskan betapa besar anugerah Allah sehingga akibat buruk yang merupakan ancaman tersebut tidak jadi lahir dalam kenyataan.[19] secara umum ayat ini mewanti-wanti kepada siapa saja agar sangat berhati-hati dan jangan bertindak ceroboh baik menuduh atau perbuatan keji lain jika tidak pasti kebenarannya dan hendaknya tidak mudah termakan isu bila tidak ingin mendapat laknat dari Allah. Namun demikian apabila manusia mau bertaubat maka niscaya Allah akan mengampuni karna besarnya anugerah dan kasih sanyang Allah.
Sedangkan arti dari ayat 23  ialah, Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah[20] lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar, Ayat ini menyatakan bahwa, orang-orang yang melempar tuduhan berzina terhadap wanita yang baik-baik, suci, lengah, yang sempurna imannya mereka akan dilaknat oleh Allah, Rasul, kaum mukminin bahkan semua yang taat dan tunduk kepada Allah. Mereka melaknatnya di dunia dan diakhirat, dan baginya azab yang besar.[21]
Ayat diatas memberikan sifat-sifat yang demikian terpuji kepada wanita-wanita. Tentu saja yang pertama dimaksud adalah istri Nabi yang dituduh itu yakni ‘Aisyah ra. bahkan seluruh istri Nabi saw. Disisi lain perlu dicatat bahwa menuduh siapa pun termasuk wanita kafir tidak dibenarkan agama tanpa ada bukti-bukti, hanya sanksi hukum (dera) tidak dijatuhkan kepada penuduh terhadap yang kafir. Ini karena jaminan dasar tentang kesuciannya tidak ditemukan pada dirinya akibat kekufuran itu. dan yang dimaksud laknat didunia adalah kejauhan mereka dari rahmat Allah antara lain tercermin dalam cambukan, serta antipati masyarakat muslim, di samping penolakan kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Tentu saja ini bagi yang tidak bertaubat sebagimana diuraikan oleh ayat 5 yang lalu.[22]


F.   Penutup
Dalam kehidupan akhlaq memang menjadi pilar utama dan wajib dijunjung tinggi sebagai panglima dalam menakodai perjalanan hidup. Manusia hidup tidak sendiri, ia membutuhkan orang lain oleh karenanya sikap, perilaku dan kepedulian serta apa saja yang berhubungan dengan kehidupan sosial menjadi penting dimulai dari menjaga lisan, perbuatan sampai menjaga hati. Diantara yang termasuk menjaga lisan adalah tidak sembarangan menuduh.
Menuduh adalah perbuatan yang keji apalagi tidak disertai dengan bukti dan saksi-saksi lebih-lebih yang dituduh adalah seorang wanita yang baik-baik apa lagi istrinya sendiri yang dituduh berzina. Tidak gampang mengeluarkan pernyataan negatif apa lagi menuduh berzina walaupun terhadap istri sendiri tanpa dilandasi dengan bukti-bukti yang jelas.
Dalam hal ini Islam sangat menjunjung tinggi tata krama dalam berbicara, bahkan saking menjunjung tingginya maka bagi siapa saja yang menuduh orang lain berzina meskipun istrinya sendiri dan apa bila tidak benar tuduhannya itu akan diberikan sanksi dera sebagi hukum fisik dan kesaksiannya tidak bisa diterima sebagai sanksi hukum sosial serta mendapat laknat Allah, Rasul dan semua yang beriman kepada Allah sebagai sanksi hukum secara psikologis.
Melalui ayat-ayat yang telah dibahas, dapat diambil sebagai bahan renungan sebagai anjuran nilai-nilai moral diantaranya ialah, jangan menuduh tanpa bukti, anjuran untuk bersaksi atau berkata jujur serta tuntunan bertaubat atas segala kesalahan yang telah dilakukan jika tidak ingin mendapat laknat dan senantiasa mengharapkan karunia dari Allah. 

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer, Yogyakarta: Elsaq Press, 2008
M. Roem Rowi, Ragam Penafsiran Al-Qur’an, Surabaya: LPIQ Surabaya, 2001
Al-Qur’an Digital
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2004, Vol. 9
Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Jalalain, terj, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009
Imam Al-Mundziri, Mukhtashar Shahih Muslim Ringkasan Hadis Shahih Muslim, terj. Jakarta: Pustaka Amani, 2003  
Jalaluddin As-Suyuthi, Asbab al-Nuzul Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, terj. Jakarta: Gema Insani, 2008



[1] Penulis adalah Dosen
[2] Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2008),h. 24
[3] M. Roem Rowi, Ragam Penafsiran Al-Qur’an, (Surabaya: LPIQ Surabaya, 2001),h. 2
[4] Al-Qur’an Digital
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), Vol. 9. h. 289
[6] Yang dimaksud wanita-wanita yang baik disini adalah wanita-wanita yang Suci, akil balig dan muslimah.
[7] Maksud ayat 6 dan 7: orang yang menuduh Istrinya berbuat zina dengan tidak mengajukan empat orang saksi, haruslah bersumpah dengan nama Allah empat kali, bahwa Dia adalah benar dalam tuduhannya itu. kemudian Dia bersumpah sekali lagi bahwa Dia akan kena laknat Allah jika Dia berdusta. Masalah ini dalam fiqih dikenal dengan Li'an.
[8] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), Vol. 9. h. 288-289
[9] Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, 227
[10] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), Vol. 9. h. 290-291
[11] Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, 228
[12] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), Vol. 9. h. 291-292
[13] Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, h. 259
[14]Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Jalalain, terj, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009), h. 259-260
[15] Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, h. 260
[16]Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti,  h. 260-261.  lihat juga Imam Al-Mundziri, Mukhtashar Shahih Muslim Ringkasan Hadis Shahih Muslim, terj. (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), h. 480  
[17] Jalaluddin As-Suyuthi, Asba>b al-Nuzu>l Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’a>n, terj. (Jakarta: Gema Insani, 2008), h. 391-393
[18] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 292
[19] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 293
[20] Yang dimaksud dengan wanita-wanita yang lengah ialah wanita-wanita yang tidak pernah sekali juga teringat oleh mereka akan melakukan perbuatan yang keji itu.
[21] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 312
[22] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 313

Tidak ada komentar:

Posting Komentar