REPOSISI
PENDIDIKAN ISLAM DALAM MERESPONS
TANTANGAN DUNIA
PENDIDIKAN
Oleh
Drs. H.M. Alwi Kaderi, M.Pd.I)
ABSTRAK
Sebagai dampak dari berbagai
tantangan dunia pendidikan Islam yang terjadi di negara kita Indonesia,
sehingga posisi pendidikan Islam selama ini seolah-olah terpojokkan, bersifat ekslusif dan hanya
menjadi tugas guru agama, maka salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah
dengan melakukan reposisi pendidikan Islam itu sendiri. Reposisi tersebut dapat
dilaksanakan dengan pengintegrasian imtak dengan materi pembelajaran non agama
yang sedang dipelajari oleh peserta didik, atau yang diajarkan oleh pendidik. Cara
yang dapat dilakukan adalah: pertama, pengintegrasian filosofis, yakni
bila tujuan fungsional mata pelajaran non agama sama dengan tujuan fungsional
agama. Kedua; pengintegrasian terhadap konsep agama yang berlawanan
dengan konsep pengetahuan non agama. Dan ketiga; pengintegrasian
dilakukan terhadap konsep dalam materi agama dan materi non agama kedua-duanya
saling mendukung. Reposisi pendidikan Islam juga merupakan Pengintegrasian imtak
dalam proses pembelajaran yang dilakukan dengan bertolak dari konsep bahwa pada
setiap proses pembelajaran diupayakan untuk tidak berlawanan dengan ajaran
agama Islam itu sendiri. Serta pengintegrasian
imtak dilakukan dengan cara memilih materi ajar non agama yang memuat ajaran-ajaran
agama Islam. Adanya Permendiknas nomor
22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, secara tidak langsung telah mereposisi
pendidikan Islam sebagai core kurikulum pendidikan. Karena telah terjadi
perubahan paradigma dari pendidikan Islam. Pendidikan Islam bukan hanya
merupakan tugas guru agama semata, tetapi merupakan tugas bersama antara kepala sekolah, guru agama, guru umum,
dan seluruh tenaga kependidikan yang ada di sekolah, serta semua orang tua
peserta didik. Sehingga pendidikan Islam harus dikembangkan menjadi budaya
sekolah sebagaimana dalam tujuan Pendidikan Islam itu sendiri.
Kata kunci: reposisi,
tantangan, pengintegrasian, pendidikan Islam.
A.
PENDAHULUAN
Ketika
membaca dan mencermati judul tulisan ini mungkin muncul berbagai macam
pertanyaan dibenak para pembaca. Misalnya, apanya dari pendidikan Islam itu
yang perlu direposisi?. Apakah selama ini peran dan kondisi pendidikan Islam
masih belum mendapat perhitungan sebagai sebagai suatu sistem pendidikan
alternatif di tengah-tengah perbincangan kondisi pendidikan nasional kita,
sehingga pendidikan Islam kehilangan esensinya dan perlu dilakukan reposisi?.
Pertanyaan lainnya apakah selama ini posisi pendidikan Islam itu masaih belum
jelas?, lalu timbul anggapan bahwa pendidikan Islam telah termarginalkan, sehingga
perlu direposisikan kembali?. Bahkan pertanyaan yang lebih ekstrim lagi, apakah
pendidikan Islam selama ini telah gagal dalam melaksanakan fungsi utamanya?, misalnya
antara lain dalam menumbuhkan dan memelihara keimanan, membina dan menumbuhkan
akhlak mulia, membina dan meluruskan ibadat, serta menggairahkan amal dan
melaksanakan ibadat, maupun dalam mempertebal rasa dan sikap keragaman serta
mempertinggi solideritas sosial para siswa.
Di sisi lain, reposisi pendidikan Islam perlu dilakukan dalam
rangka merespon berbagai tantangan dalam dunia pendidikaan pada saat ini.
Misalnya yang disebabkan pengaruh arus globalisasi, baik di bidang budaya,
etika dan moral, sebagai akibat dari kemajuan teknologi di bidang komonikasi
dan informasi. Rendahnya social capital (sikap amanah), dimana bangsa
Indonesia pada saat ini social capital-nya mendekati titik zero trust society, yang berarti
sikap amanah bangsa kita sangat lemah. Serta berbagai tantangan lainnya. Dan
untuk merespon semua tantangan tersebut. pendidikan Islam mau tidak mau harus
berusaha dalam mengatasi dan menyelesaikan berbagai tantangan tersebut, tentu
saja bersama-sama dengan kekuatan
lainnya, baik sosial, politik, dan ekonomi pada umumnya.
B.
HAKIKAT PENDIDIKAN ISLAM
Ada berbagai
definisi atau pengertian yang dikemukakan oleh para pakar pendidikan
tentang apa itu pendidikan Islam. Salah satunya
adalah dikemukakan oleh Athiyah Al- Abrasyi yang mengatakan: bahwa, Pendidikan
Islam itu adalah dalam rangka mempersiapkan manusia supaya hidup dengan
sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi
pekertinya (akhlaknya), teratur pikirannya, halus perasaannya, mahir dalam
pekerjaannya, manis tutur katanya baik dengan lisan maupun tulisan.
Sementara Ahmad
Marimba memberikan pengertian bahwa: Pendidikan Islam itu adalah merupakan
bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya
kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.
Sedangkan
menurut Musthafa Al-Ghulayaini, bahwa pendidikan Islam ialah menanamkan akhlak
yang mulia di dalan jiwa anak dalam masa pertumbuhan dan menyiraminya dengan
air petunjuk dan nasehat, sehingga akhlak itu menjadi salah satu kemampuan
(merasap dalam) jiwanya, kemudian buahnya berujud keutamaan, kebaikan dan cinta
bekerja untuk kemamfaatan tanah air.
Dari beberapa
deefinisi tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, para pakar
pendidikan Islam berbeda pendapat mengenai pengertian pendidikan Islam itu
sendiri. Namun dari perbedaan pendapat tersebut terdapat adanya titik
persamaan, yaitu bahwa pendidikan Islam itu adalah merupakan bimbingan yang
dilakukan oleh seorang dewasa kepada anak didik dalam masa pertumbuhaan agar ia
memiliki kepribadian muslim.
Perlu kita
sadari bahwasanya syariat Islam itu tidak akan dihayati dan diamalkan orang
manakala hanya diajarkan saja, tetapi ia harus melalui proses pendidikan. Nabi
sendiri telah mengajak orang untuk beriman dan beramal serta berakhlak mulia
sesuai dengan ajaran Islam dengan berbagai metode dan pendekatan. Dari situ
kita melihat, bahwa pendidikan Islam itu lebih banyak ditujukan kepada perbaikan
sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri
sendiri maupun orang lain. Di segi lain, pendidikan Islam tidak hanya bersifat
teoritis saja, tetapi juga praktis. Ajaran Islam tidak memisahkan antara iman
dan amal shaleh. Oleh sebab itu pendidikan Islam adalah sekaligus pendidikan
iman dan pendidikan amal. Karena ajaran Islam berisi ajaran tentang sikap dan
tingkah laku pribadi masyarakat, maka pendidikan Islam adalah pendidikan
individu dan pendidikan masyarakat.
Mari kita
perhatikan apa yang dikemukakan oleh
Prof. Dr. Muhaimin, M.A., bahwa pada
hakikatnya pendidikan Islam ada dua, yaitu:
Pertama, Pendidikan Islam itu merupakan aktifitas pendidikan yang diselenggarakan atau
didirikan dengan hasrat dan niat untuk mengejawantahkan ajaran dan nilai-nilai
Islam. Sehingga dalam praktiknya, pendidikan Islam itu (khususnya di Indonesia)
dapat dikelompokkan menjadi lima jenis pendidikan, yaitu:
1.
Pondok Pesantren/Madrasah Diniyah. Pendidikan ini berdasarkan UU RI
nomor 20 Tahun 2003 ten-
tang Sistem Pendidikan Nasional
dalam bagian Kesembilan disebutkan dengan “Pendidikan Keagama-an”, yang dalam
pasal 30 ayat (2) ditetapkan bahwa
pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota
masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agama-nya dan/atau
menjadi ahli agama. Kemudian pada ayat
(3) ditetapkan, Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur
pendidikan formal, non formal, dan informal. 2. Madrasah dan pendidikan
lanjutannya seperti STAIN/IAIN dan UIN yang bernaung di bawah Kementerian
Agama. 3. Pendidikan Usia Dini (PAUD) atau Taman Kanak-Kanak (TK), sekolah/Perguruan
Tinggi yang diselenggarakan oleh dan/atau berada di bawah naungan Yayasan atau organisasi-organisasi
Islam. 4. Pelajaran agama Islam di sekolah/madrasah/Perguruan tinggi sebagai
suatu mata pelajaran atau mata kuliah, dan/atau sebagai program studi; dan 5. Pendidikan
Islam dalam keluarga atau ditempat-tempat ibadah, dan/atau di forum-forum kajian
keislaman, seperti Majelis Ta’lim, dan Institusi-institusi lainnya yang
sekarang sedang digalakkan oleh masyarakat, atau pendidikan (Islam) melalui
jalur Pendidikan non formal dan informal.
Kedua. Pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang dikembangkan dari
dan disemangati atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam. Dalam
pengertian yang kedua ini, pendidikan Islam dapat mencakup: 1). Kepala
Sekolah/Madrasah atau pimpinan Perguruan Tinggi yang mengelola dan
mengembangkan aktivitas kependidikannya yang disemangati atau dijiwai oleh
ajaran dan nilai-nilai Islam, serta tenaga-tenaga penunjang pendidikan (seperti
pustakawan, Laboran, Teknesi sumber belajar dan lain-lain) yang mendukung
terciptanya suasana, iklim dan budaya keagamaan yang Islami di sekolah/Madrasah
atau Perguruan Tinggi tersebut. 2). Komponen-Komponen aktifitas pendidikan,
seperti kurikulum atau program pendidikan, peserta didik yang tidak sekedar
pasif-aktif, tetapi aktif kreatif, personifikasi pendidik/guru, konteks belajar
atau lingkungan, alat/media/sumber belajar, metode, dan lain-lain yang
disemangati atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam, atau yang berciri
khas Islam. Dari kedua pengertian Pendidikan Islam tersebut diatas, maka
pengertian yang pertama lebih menekannkan kepada aspek kelembagaan dan program
pendidikan Islam, dan pengertian yang kedua lebih menekankan pada aspek ruh dan
spirit Islam yang melekat pada setiap
aktifitas pendidikan.
Selanjutnya apabila kita tinjau dari
segi etimologi, pendidikan Islam itu tentu saja ia berasal dari khazanah bahasa
Arab yang diterjemahkan, mengingat dalam bahasa itulah ajaran Islam diturunkan.
Menurut yang tersirat dalam al-Qur’an dan al-Hadits, sebagai dua sumber ajaran
Islam, istilah yang dianggapnya relevan dalam menggambarkan konsep dan
aktifitas pendidikan Islam, ada tiga term yang ia pergunakan, yaitu: al-Tarbiyah, al-
ta;dib dan al-Ta’lim. Namun dari ketiga istilah tersebut term yang
populer digunakan dalam praktik pendidikan Islam adalah term al-Tarbiyah.
Sementara al-Ta’dib dan al-Ta’lim jarang sekali digunakan.
Sekalipun kedua istilah tersebut telah digunakan sejak awal pertumbuhan
pendidikan Islam.
Sebenarnya dalam pembahasan lebih
lanjut mengenai hakikat pendidikan Islam ini, terutama yang berkaitan dengan term
apa yang lebih tepat untuk digunakan dalam pendidikan Islam, para ahli
pendidikan Islam terdapat perbedaan pendapat. Misalnya, Abdurrahman al-Nahlawi, beliau lebih
cenderung menggunakan kata tarbiyah, dengan alasan kata tarbiyah berasal dari
tiga kata, yaitu: pertama dari
kata “raba, yarbu” yang berarti bertambah dan bertumbuh. Karena
pendidikan mengandung misi untuk
menambah bekal pengetahuan kepada anak didik dan menumbuhkan potensi yang
dimilikinya. Kedua.,berasal dari kata “rabiya , yarba”, yang
berarti menjadi besar. Karena pendidikan juga mengandung misi untuk membesarkan
jiwa dan memperluas wawasan seseorang. Dan ketiga, dia berasal dari kata “rabba
yarubbu” , yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga,
dan memelihara.
Sedangkan Naquib al-Attas
berpendapat bahwa kata yang paling tepat untuk mewakili kata pendidikan adalah kata “ta’dib”. Menurut beliau kata tarbiyah
terlalu luas, karena mencakup
pendidikan untuk hewan. Sedangkan “ta’dib” sasaran pendidikannya adalah manusia.
selanjutnya berbeda dengan ke dua
tokoh tersebut di atas, tokoh pendidikan Abdul Fattah Jalal berpendapat bahwa istilah yang lebih komprehensif untuk mewakili
istilah pendidikan dalam pendidikan Islam adalah “ta’lim”. Karena
istilah tersebut lebih universal bila dibandingkan dengan istilah tarbiyah.
Alasan lainnya, menurut beliau bahwa kata ta’lim berhubungan dengan pemberian bekal
pengetahuan. Pengetahuan ini dalam Islam dinilai sesuatu yang memiliki
kedudukan yang tinggi. Hal ini misalnya dapat dijelaskan melalui kasus Nabi
Adam, As. yang diberikan pengajaran (ta’lim) oleh Allah SWT, dan dengan
sebab ini, para Malaikat bersujud (menghormati) Nabi Adam, As.
Hal tersebut sebagaimana telah diabadikan dalam al-Qur’an surah al-Baqarah,
ayat 30-34.
Uraian di atas memperlihatkan dengan
jelas bahwa di kalangan para ahli pendidikan ternyata masih belum terdapat
kesepakatan mengenai penggunaan dari ketiga istilah tersebut untuk mewakili
kata pendidikan dalam pendidikan Islam. Demikian pula bila kita hayati dengan seksama, ketiga istilah tersebut
sebenarnya memang memiliki kesan yang berbeda-beda. Misalnya istilah ta’lim
mengesankan proses pemberian bekal pengetahuan, sedangkan istilah tarbiyah
mengesankan proses pembinaan dan pengarahan bagi pembentukan kepribadian dan
sikap mental. Sementara istilah ta’dib mengesankan proses pembinaan terhadap
sikap moral dan etika dalam kehidupan yang lebih mengacu pada peningkatan martabat manusia.
C. TANTANGAN DUNIA PENDIDIKAN ISLAM BESERTA ALTERNATIF SOLUSI
YANG DITAWARKAN
Dunia pendidikan (khususnya
di Indonesia) dewasa ini memperlihatkan fenomena yang sangat memprihatinkan. Hingga
pada saat ini sering terjadinya tawuran di kalangan pelajar, perbuatan asusila
yang dilakukan oleh kaum terpelajar dan cendekiawan, pada hal semua itu pada
gilirannya meningkatkan penilaian yang tidak baik terhadap pendidikan. Fenomena
demikian, memang agaknya tidak terlepas dari sekat-sekat sosial-masyarakat.
Karenanya hubungan antara dunia pendidikan dengan masyarakat itu erat sekali,
keduanya saling pengaruh-mempengaruhi. Lembaga pendidikan yang
diidentifikasikan dengan “sekolah”, dalam proses perkembangannya tidak terlepas
dari “mesin” sosial. Pada hal mesin sosial menggerakkan segala demensi
kemanusiaan, yang terdiri dari sektor sosial, ekonomi, kebudayaan, ilmu
pengetahuan dan teknologi, politik dan agama. Masing-masing sektor tersebut
berjalan dan berkembang saling berkait menuju ke arah tujuan sosial yang
ditetapkan. Jika gerakan masing-masing sektor tersebut terjadi secara harmonis
dan serasi, niscaya masyarakatpun berkembang secara harmonis pula. Namun, jika
sebaliknya, inequi-librium, maka
sektor lainnya akan terpengaruh. Dari sinilah terjadinya krisis kehidupan yang
belakangan ini sangat dirasakan. Sehingga memberi pengaruh dan beban yang berat
bagi dunia pendidikan kita.
Dari berbagai fenomena
negatif yang berkembang pada dewasa ini, oleh para pakar pendidikan
dijadikan bukti dalam merumuskan berbagai identifikasi krisis atau menjadi
tantangan dari pendidikan (Islam) yang sedang dan akan terjadi. Berbagai krisis
dan tantangan pendidikan Islam tersebut, diantaranya sebagaimana apa dikemukan
oleh Muzayin Arifin sebagaimana berikut ini:
1. Krisis Nilai
Krisis nilai ini berkaitan dengan sikap menilai suatu perbuatan
yang bersifat baik dan buruk, benar dan salah, sopan dan tidak sopan, etis dan tidak etis dan lain-lain yang
berkaiatan dengan etika individu dan sosial. Sikap penilaian yang dulu dianggap sesuatu yang
benar, yang baik, yang sopan atau yang etis, saat ini telah mengalami perubahan
sebaliknya, ditolerir, atau sekurang-kurangnya tidak diacuhkan.
1.
2. Krisis Konsep
Tentang Kesepakatan Arti Hidup Yang Baik
Masyarakat telah mengalami pergeseran pandangan (view)
tentang cara hidup bermasyarakat yang baik, baik dalam bidang ekonomi, politik,
kemasyarakatan, dan implikasinya terhadap kehidupan individual. Nilai-nilai
yang dijadikan ukuran, menjadi kabur. Demikian pula yang dijadikan cerminan
idealitas masyarakat, tidak dapat dipertahankan lagi.
1.
2.
3. Adanya
Kesenjangan Kredibilitas
Dalam masyarakat saat ini sangat dirasakan adanya erosi kepercayaan,
baik di kalangan pemegang kekuasaan, ekonomi maupun penanggung jawab sosial.
Demikian juga, di kalangan orang tua, Guru, Khatib di mimbar dan lainnya
mengalami kegoncangan wibawa.
1.
2.
3.
4. Beban Institusi
Sekolah Terlalu Besar, Melebihi Kemampuannya
Sekolah, di satu pihak, dituntut untuk memikul beban tanggung jawab
moral dan sosial-kultural (yang tidak menjadi program institusionalnya) di lain
pihak ia dikekang oleh sistem dan aturan birokrasi yang memperberat dan
mengekang dinamika sekolah. Akhirnya, sekolah tidak mampu menjalankan
beban-beban tersebut.
1.
2.
3.
4.
5. Kurangnya Relevansi Program Pendidikan Di Sekolah Dengan Kehidupan
Pembangunan.
Sekolah yang mendukung kepentingan eletis non populis, tidak
demokratis, tidak berorientasi ke arah kepentingan pembangunan tidak akan dapat
mempertahankan eksistensinya dalam masyarakat.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Kurangnya Idealisme dan Citra Remaja tentang Peranannya di Masa
Depan
Untuk hal ini, sekolah
dituntut untuk mengembangkan idealisme dan self-image generasi muda
untuk berwawasan masa depan yang realistis, sehingga mereka mau mempersiapkan
diri.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Makin Membesarnya Kesenjangan antara si Miskin dan si Kaya
Sekolah memerlukan dukungan masyarakat secara berimbang, tidak
hanya oleh kaum kaya, tetapi juga kaum miskin. Oleh karena itu, sekolah tidak
hanya diisi oleh kelompok masyarakat
yang kaya semua, tetapi juga terbuka untuk masyarakat miskin. Dengan demikian,
sekolah dituntut untuk berlaku adil dan demokratis; sekaligus mendidik
demokrasi dan persamaan, serta keadilan sosial dalam pola hidup ekonomi.
Untuk menjawab semua tantangan yang bersifat negatif tersebut,
serta untuk mengikis habis berbagai krisis di bidang pendidikan tersebut, perlu
kiranya adanya usaha ilmiah yang
sistematis, yang mampu merumuskan epistemologi
dan aksiologi dunia pendidikan Islam dan memberikan semcam “penekanan”
terhadap kependidikan yang berskala
nasional. Sengguhpun Konferensi
Pendidikan Islam se Dunia telah dilakukan beberapa kali, namun dalam
perkembangannya belum memperlihatkan dampak yang menggembirakan, terutama bagi
kita bangsa Indonesia. Kenyataan inilah yang mengindikasikan perlu adanya
pengkajian ulang berbagai kebijakaan yang lebih menjanjikan terhadap
perkembangan pendidikan Islam di negara kita.
Sebagai salah satu alternatif
solusi yang ditawarkan oleh Suwendi berikut ini mungkin perlu mendapat
pertimbangan bagi kita semua, yaitu:
Pertama, mengadakan
rumusan ulang terhadap arah “kiblat” pendidikan agama. Arah kiblat yang
dimaksud adalah acuan orientasi pengembangan kependidikan untuk diberlakukan
secara nasional. Fenomena yang terjadi, terutama pada masa.masa yang lalu, memperlihatkan
pada pengembangan pendidikan agama ke arah Barat. Pada hal kebijakan yang
demikian pada gilirannya telah mengikis (untuk
tidak mengatakan telah menghilangkan)
karakteristik asli pendidikan agama di negara kita Indonesia.
Kedua. Merevitalisasi
pendidikan agama di Indonesia. Revitalisasi
ini pada dasarnya adalah
mengeksentuasikan pada pentingnya pendidikan agama, sehingga pendidikan agama
menjadi suatu keniscayaan. Sebagai kerangka dasar perwujudan revitalisasi ini
dapat dilakukan beberapa cara, antara lain:
a). Mendorong
pendidikan agama untuk diajarkan oleh seluruh komponen masyarakat, baik melalui
lembaga pendidikan formal, non formal atau bahkan informal. Misalnya melalui
pengajian/majelis ta’lim, tabligh, dan sebagainya. b). Nilai
pendidikan agama tidak dipisahkan dengan nilai dari materi pendidikan lainnya.
Islamisasi ilmu pengetahuan harus mendapatkan perhatian yang semestinya. Muatan
pendidikan agama harus tercermin dalam mata pelajaran-mata pelajaran lainnya.
c). Menciptakan suasana pendidikan agama, baik dilingkungan lembaga pendidikan,
masyarakat, maupun keluarga.
Ketiga; mendirikan lembaga pendidikan tinggi (Universitas) Islam
Internasional. Lembaga pendidikan dimaksud adalah lembaga pendidikan keislaman yang mampu
memiliki jaringan dan akses secara internasional. Pendirian lembaga ini agaknya
merupakan “kewajiban” tersendiri bagi negara dan bangsa Indonesia sebagai
bangsa yang berkomunitas muslim terbesar di dunia.
Keempat, mengembangkan buku-buku “dars”
yang memiliki kesamaan visi dan misi. Artinya, buku-buku pelajaran keagamaan
yang digunakan oleh seluruh siswa Indonesia mengacu kepada platform yang
sama.
Tantangan dunia pendidikan lainnya adalah sebagaimana yang dikemukakan
oleh Prof. Dr. Muhaimin, MA, bahwa dunia pendidikan negara kita pada saat ini sedang
menghadapi berbagai tantangan berat, di
antaranya adalah:
1. Globalisasi
di bidang budaya, etika dan moral, sebagai akibat dari kemajuan teknologi informasi
dan di bidang transportasi. Para /peserta didik saat ini telah mengenal
berbagai sumber pesan pembelajaran, baik yang bersifat pedagogis-terkontrol
maupun non pedagogis yang sulit dikontrol. Sumber-sumber yang sulit dikontrol
itulah yang akan mempengaruhi perubahan budaya, etika, dan moral para siswa
atau masyarakat. Masyarakat yang semula
merasa asing dan bahkan tabu terhadap model-model pakaian (fashion)
yang terbuka dan hiburan-hiburan (fun) atau film-film porno dan sadisme,
atau tabu dengan bacaan dan gambar porno
yang dimuat dalam berbagai media massa, kemudian menjadi biasa-biasa saja (permissive),
bahkan bisa ikut menjadi bagian dari itu. Sebagai eksesnya, muncullah sikap
sadisme, kekerasan, pemerkosaan, dan lain-lain di sebagian masyarakat. Bahkan
tidak heran jika pada saat ini sering dijumpai model kehidupan kontroversial
yang dapat dialami dalam waktu yang sama serta dapat bertemu dalam pribadi yang
sama. Misalnya antara kesalehan dan
kemerosotan, antara kelembutan dan kekerasan, antara koruptor dan dermawan, bahkan
antara koruptor dan keaktifan beribadah (shalat, haji atau umrah, dan lain-lain),
antara masjid dan mall, yang keduanya terus-menerus berdampingan antara satu
dengan lainnya. 2.Rendahnya tingkat social–capital. Inti dari social
capital adalah “trust” (sikap
amanah). Menurut pengamatan para ahli, bahwa dalam bidang social capital bangsa Indonesia pada saat ini sudah mencapai
titik “zero trust society”, artinya masyarakat kita sulit untuk
dipercaya. Artinya sikap amanah (trust) masyarakat sangat lemah. Salah
satu indikatornya adalah hasil survei “The Political and Economic Risk
Consultancy” (PERC) tahun 2004, bahwa indeks korupsi di Indonesia sudah
mencapai 9,25 atau berada pada rangking pertama di Asia. Bahkan pada tahun
berikutnya, tahun 2005 indeksnya meningkat lagi hingga mencapai 9,4.. 3. Hasil-hasil
survei internasional menunjukkan bahwa mutu pendidikan di Indonesia masih
rendah jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita. 4. Disparitas
kualitas pendidikan antar daerah di Indonesia juga masih tinggi. 5. Diperlakukannya
globalisasi dan perdagangan bebas, yang berarti persaingan dalam pekerjaan
semakin ketat. 6. Angka pengangguran lulusan sekolah/madrasah dan perguruan
tinggi semakin meningkat. 7. Tenaga asing yang semakin meningkat, sedangkan
tenaga Indonesia yang dikirim ke luar negeri pada umumnya nonprofesional.
8. Semakin banyak orang-orang yang lebih senang sekolah/studi atau
menyekolahkan anaknya di luar negeri. 9.
Eskalasi konflik, yang di satu sisi
merupakan unsur dinamika sosial, tetapi di sisi lain justru mengancam
harmoni bahkan integrasi sosial baik lokal, regional, nasional, bahkan
internasional. 10. Permasalahan makro nasional, yang menyangkut krisis
multidimensional baik di bidang ekonomi, politik, moral, budaya dan sebagainya.
11. Peran Sekolah/Madrasah dan Perguruan Tinggi dalam membentuk masyarakat
madani (civil society).
Semua tantangan tersebut harus dapat dijawab secara sistematis dan
komprehensif. Oleh sebab itu pendidikan Islam mau tidak mau harus terlibat dalam mengatasi dan
menyelesaikan berbagai tantangan di atas bersama-sama dengan kekuatan pendidikan nasional lainnya.
Bahkan bersama-sama kekuatan sosial, politik, dan ekonomi, pada umumnya. Hanya
saja pendidikan Islam tersebut perlu melakukan evaluasi diri telebih dahulu,
untuk kemudian dilakukan reaktualisasi dan reposisi, dengan cara melakukan
sinkronisasi dengan kebijakan pendidikan nasional untuk membebaskan bangsa dari
berbagai persoalan di atas. Demikian pula
para Pemimpin pendidikan atau para Kepala sekolah/Madrasah dan/atau
pimpinan perguruan tinggi, dapat pula
berperan untuk mengatasi berbagai krisis tersebut di atas, terutama bagi yang
memenuhi syarat-syarat yang diperlukan. Secara umum ada tiga persyaratan pokok
yang harus dipenuhi oleh para pemimpin
tersebut, yaitu:
1.
Memiliki kompetensi; maksudnya manakala seorang pemimpin tidak memiliki
kompetensi, maka tidak mungkin ia dapat menciptakan prestasi-prestasi dalam
mengemban tugas dan kewajiban yang diamanahkan kepadanya.
2.
Memiliki integritas; maksudnya bahwa kompetensi yang dimiliki oleh
seorang pemimpin mutlak harus didukung
oleh moral atau integritas, bila tidak seorang peminpin akan mudah terjatuh
pada tindakan yang justru merendahkan martabat dirinya, yang pada akhirnya ia
akan ditinggalkan oleh teman-teman dan para pendudkungnya.
3.
Memiliki visi, sebab seorang pemimpin wajib
memiliki visi kedepan. Tanpa visi yang jelas, seorang peminpin akan gampang
terjatuh pada sifat pragmatisme sesaat,
yang bisa menjadikan bangsa akan termarginalkan dalam percaturan dunia
pendidikan.
Selanjutnya dalam rangka mengantisipasi agar tidak
terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan sebagaimana disinggung di atas, maka
Menteri Pendidikan Nasional telah mengeluarkan Peraturan Manteri Pendidikan
Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang “Standar Kepala Sekolah/Madrasah” di mana setiap kepala sekolah/madrasah haruslah memiliki lima kompetensi sebagaimana
berikut:
1. Kompetensi yang
berkaitan dengan “Kepribadian”, yang meliputi:
a). Berakhlak
mulia, mengembangkan budaya dan tradisi akhlak mulia, dan menjadi teladan
akhlak mulia bagi komunitas di sekolah/madrasah. b).Memiliki integritas kepribadian sebagai pemimpin. c). Memiliki
keinginan yang kuat daalam pengembangan diri sebagai kepala sekolah/madrasah.
d). Bersikap terbuka dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. e). Mengendalikan
diri dalam menghadapi masalah dalam pekerjaan sebagai kepala sekolah/madrasah.
dan f). Memiliki bakat dan minat jabatan sebagai pemimpin pendidikan.
2.
Kompetensi yang berkaitan ”manajerial”, yang meliputi:
a). Menyusun
perencanaan sekolah/madrasah untuk berbagai tingkatan perencanaan. b). Mengem-bangkan
organisasi sekolah/madrasah sesuai dengan kebutuhan. c). Memipin
sekolah/madrasah dalam rangka pendayagunaan sumber daya sekolah/madrasah secara
optimal. d). Mengelola perubahan dan pengembangan sekolah/madrasah menuju
organisasi pembelajaran yang efektif. e). Menciptakan budaya dan iklim
sekolah/madrasah yang kondusif dan inovatif bagi pembelajaran peserta didik.
f). Mengelola guru dan staf dalam rangka pendayagunaan sumber daya manusia
secara optimal. g). Mengelola sarana dan parasarana sekolah/madrasah dalam
rangka pendayagunaan secara optimal. h). Mengelola hubungan sekolah/madrasah
dan masyarakat dalam rangka pencarian dukungan ide, sumber belajar, dan
pembiayaan sekolah/madrasah. i). Mengelola peserta didik dalam rangka
penerimaan peserta didik baru, penempatan dan pengembangan kapasitas peserta
didik. j). Mengelola pengembangan kurikulum dan kegiatan pembelajaran sesuai
dengan arah dan tujuan pendidikan nasional. k). Mengelola keuangan
sekolah/madrasah sesuai dengan prinsip pengelolaan yang akuntabel, transparan,
dan efisien. l). Mengelola ketata usahaan sekolah/madrasah dalam mendukung
pencapaian tujuan sekolah/madrasah. m). Mengelola unit layanan khusus
sekolah/madrasah dalam mendukung kegiatan pembelajaran dan kegiatan peserta
didik di sekolah/madrasah. n). Mengelola sistem informasi sekolah/madrasah
dalam mendukung penyusunan program dan pengambilan keputusan. o). Memanfaatkan
kemajuan teknologi informasi bagi peningkatan pembelajaran dan manajemen
sekolah/madrasah. p). Melakukan monitoring, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan
program kegiatan sekolah/madrasah dengan prosedur yang tepat, serta
merencanakan tindak lanjutnya.
3.
Kompetensi yang berkaitan dengan “Kewirausahaan”, yang
meliputi:
a). Menciptakan inovasi yang berguna bagi pengembangan
sekolah/madrasah. b). Bekerja keras untuk mencapai keberhasilan
sekolah/madrasah sebagai organisasi pembelajaran yang efekfif. c). Memiliki
motivasi
yang kuat untuk sukses dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai
pemimpin sekolah/madrasah. d). Pantang menyerah dan selalu mencari solusi
terbaik dalam menghadapi kendala yang dihadapi sekolah/madrasah. e). Memiliki
naluri kewirausahaan dalam mengelola kegiatan produksi/jasa sekolah/madrasah
sebagai sumber belajar peserta didik.
4.
Kompetensi yang berkaitan dengan “Supervisi” yang meliputi:
a). Merencanakan program supervisi akademik dalam rangka
peningkatan profesionalisme guru. b). Melaksanakan supervisi akademik terhadap guru
dengan mengggunakan pendekatan dan teknik supervisi yang tepat. c). Menindaklanjuti
hasil supervisi akademik terhadap guru dalam rangka peningkatan profesionalisme
guru.
5.
Kompetensi yang berkaitan dengan “Sosial”, yang meliputi:
a). Bekerja sama dengan
pihak lain untuk kepentingan sekolah/madrasah. b). Berpartisipasi dalam
kegiatan sosial dan kemasyarakatan. c). Memiliki kepekaan sosial terhadap orang
atau kelompok lain.
Kita menyadari bahwa semangat kemandirian
masyarakat Islam dalam menyelenggarakan pendidikan (madrasah) adalah sangat
tinggi, hal tersebut misalnya dapat kita lihat dari data tentang jumlah madrasah
(MI, Mts dan SMA) yang ada di Indonesia sebanyak 91,4% adalah milik masyarakat
atau milik swasta. Semua itu terjadi karena didorong oleh semangat
keagamaan dan misi dakwah yang mereka laksanakan. Kondisi demikian tentu saja
sangat menguntungkan bagi masyarakat pada umumnya. Sebab dari lembaga
pendidikan tersebut akan mampu menampung peserta didik yang membutuhkan
pendidikan dalam jumlah yang cukup besar. Sekaligus juga ikut mensukseskan
program wajib belajar sembilan tahun yang dicanangkan oleh pemerintah
Indonesia. Walaupun kita juga mengakui bahwa semangat
keagamaan dan dakwah tersebut pada umumnya belum banyak dilengkapi dengan
profesionalitas dalam manajemen madrasah, belum banyak didukung oleh sumber
daya internal, baik dalam pengembangan program pendidikan (kurikulum), sistem
pembelajaran, sumber daya manusianya, sumber dana maupun prasarana dan sarana
yang memadai. Sehingga bukan mustahil sebagian besar dari proses spendidikannya
dan out put-nya pun masih belum sesuai dengan apa yang diharapkan dan
perlu ditingkatkan kualitasnya.
Namun perlu disadari bahwa tingginya semangat keagamaan dan Dakwah
masyarakat, pada saat ini harus berhadapan dengan berbagai ketentuan Pemerintah
RI, yang salah satunya adalah “Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005,
tentang Standar Nasional Pendidikan. PP tersebut mengatur tentang kriteria
minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah Indonesia, yang meliputi
atas delapan standar. Yaitu: standar isi, standar prosess, standar kompetensi
lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan
prasaranan, standar pengelolaan, standar pembiayaan, serta standar penilaian
pendidikan. Sehingga semua sekolah/madrasah dituntut untuk memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan tersebut
dengan sebaik-baiknya, bahkan harus selalu berusaha untuk terus meningkatkan
kualitasnya hingga mempu melebihi standar yang telah ditentukan dalam Peraturan
Pemerintah tersebut.
Senada dengan berbagai tantangan tersebut di atas, yang perlu
mendapat perhatian kita sebagai masyarakat muslim, adalah apa yang pernah dikatakan
oleh Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI beberapa waktu yang lalu,
yaitu tentang tantangan yang dihadapi oleh sekolah/madrasah, baik yang bersifat
internal maupun eksternal. Tantangan yang bersifat internal tersebut, antara
lain menyangkut:
a). Mutu; penyelenggaraan dan pengelolaan madrasah umumnya belum
dapat melahirkan lulusan yang berkualitas. b). Pendidik; sebagian besar tenaga
pendidik dan kependidikan di madrasah, belum berkualifikasi sesuai dengan
perundang-undangan. c). Kurikulum;
sebagian besar madrasah belum dapat mengimplementasikan standar isi dan belum
sepenuhnya dapat mencapai standar kompetensi lulusan minimal. Persentasi lulus ujian nasional cukup menggembirakan,
yaitu kurang lebih 92%, tetapi perolehan nilai rata-rata masih rendah. d). Manajemen;
penyelenggaraan dan pengelolaan madrasah, yang 91,4% swasta, umumnya belum
dikelola dengan manajemen yang profesional. e). Sarana dan prasarana; belum mamadainya
saarana dan prasarana pada sebagian besar madrasah. f). Status; belum
sepenuhnya percaya diri dalam pengelolaan dan penyelenggaraan dan terbatasnya
peluang penegerian sehingga madrasah negeri yang umumnya telah memenuhi standar
nasional, hanya berjumlah 8,6% saja.
Sementara
tantangan yang bersifat eksternal, yaitu tantangan yang dihadapi madrasah
terutama yang menyangkut persepsi masyarakat dan pemerintah yang cenderung
diskriminatif, sehingga madrasah kurang mendapatkan perhatian, termasuk dalam
penyediaan anggaran, bahkan ada yang menganggap sebagai lembaga pendidikan
kelas dua setelah sekolah.
Kondisi yang demikian tentau saja harus dijawab oleh kita semua, yaitu dengan
berusaha melakukan perubahan di berbagai segi yang dianggap masih belum
memenuhi ketentuan yang berlaku, baik yang berkaitan dengan manajemen
pengelolaan madrasah, serta melengkapi berbagai kekurangan sarana dan prasarana
maupun yang berkaitan tenaga pendidik dan kependidikan, dan lain sebagainya,
serta yang sangat penting kita perlu melakukan “reposisi pendidikan Islam” sehingga posisi
pendidikan madrasah lebih jelas. Tidak lagi termarginalkan atau bahkan dianggap
sebagai lembaga pendidikan kelas dua setelah sekolah.
A.
B.
C.
D.
REPOSISI
PENDIDIKAN ISLAM DALAM MERESPONS TANTANGAN
DUNIA
PENDIDIKAN
Sebelum
kita melakukan reposisi pendidikan Islam, maka sebaiknya terlebih dahulu kita
memahami bagaimana posisi pendidikan Islam itu sebenarnya dalam dunia
pendidikan di negara kita Indonesia. Dari pemahaman tersebut kita dapat
melakukan suatu usaha dalam rangka memantapkan posisi pendidikan Islam tersebut, sehingga
diharapkan mampu menghadapi dan merepons segala tantangan yang semakin lama
semakin memprihatinkan kita semua.
Bila kita mempelajari kembali falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu
Pancasila, maka kita mengetahui bahwa posisi pendidikan Islam itu sangat jelas,
dimana dalam rumusan Pancasila yang bersifat hierarkhis dan berbentuk piramida
tersebut menggambarkan bahwa sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” dia
meliputi dan menjiwai sila-sila berikutnya. Oleh sebab itu sila kedua:
Kemanusiaan yang adil dan beradab, adalah diliputi dan dijiwai oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila
ketiga; Persatuan Indonesia, adalah dijiwai dan diliputi oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan sila
keempat: Kerakya-tan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan adalah diliputi dan dijiwai sila Ketuhanan Yang Maha
Esa. Serta sila kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah
diliputi dan dijiwai oleh sila Ketuanan yang Maha Esa.
Hal tersebut mengandung makna bahwa pada hakikatnya inti Pancasila itu adalah keimanan kepada
“Tuhan Yang Maha Esa“ yang merupakan sasaran
utama dari pendidikan agama (termasuk pendidikan Islam), serta sekaligus
menjadi inti atau core pendidikan atau core Kurikulum pendidikan
(Islam).
Kemudian bila kita hayati isi Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, terutama pada BAB I pasal 1 ayat (1)
ditetapkan bahwa “Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spirituil keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Berkaitan dengan “potensi” pada pasal dan ayat (1) di atas, dalam
perspektif pendidikan Islam disebut
dengan “fithrah manusia”, yang dapat diartikan sebagai kemampuan
dasar/pembawaan, yang secara etimologis mengandung arti kejadian. Karena fitrah
itu berasal dari kata kerja “Fatoro” yang berarti menjadikan.
Oleh sebeb itu pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar pserta didik secara aktif
mengembangkan potensi (fithrah atau kejadian) nya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan. Bahkan menurut
Muhammad Tolchah, bahwa upaya pendidikan
itu disamping berusaha untuk mengembangkan potensi-potensi fithrah manusia juga
berusaha untuk menyelamatkan dan melindungi fithrah manusia, serta
menyelaraskan langkah perjalanan fithrah
mukhallaqah (fithrah yang diciptakan Allah pada manusia yang berupa
naluri, potensi jismiyah, nafsiah, aqliyah, dan qalbiyah) dengan
rambu-rambu fithrah munazzalah (fithrah yang diturunkan oleh Allah
sebagai acuan hidup, yaitu agama) dalam semua aspek kehidupannya. Sehingga
dengan demikian, manusia dapat lestari hidup di atas jalur kehidupan yang
benar, atau di atas jalur “Ash-shirath al mustaqim”.
Kemudian
pada pasal 1 ayat (2) UU RI Nomor 20 Tahun 2003 ditetapkan, bahwa: Pendidikan
Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan
tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Selanjutnya sebagai usaha untuk
merealisasikan isi dari ketetapan tersebut, maka dalam UU RI Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pada BAB II pasal 6 ditetapkan, bahwa:
Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk
melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan
nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis
dan bertanggung jawab. Pasal 7 ayat (1) a. ..., b. memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan,
ketakwaan, dan akhlak mulia. Bahkan lebih dari itu telah dikembangkan
menjadi pilar utama dalam pembelajaran, terutama bila dibandingkan dengan konsep yang dikembangkan oleh UNESCO
sebagaimana tabel berikut ini:
UNESCO
|
INDONESIA
|
1.
Learning
to know
2.
Learning
to do;
3.
Learning
to be.
4.
Learning to live together
|
1.
belajar
untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2.
Belajar
untuk memahami dan menghayati.
3.
Belajar
untuk mampu melaksanakan dan berbuat
secara efektif.
4.
Belajar
untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain.
5.
Belajar
untuk membangun dan menemukan jatidiri, melalui proses pembelajaran yang
aktif, kreatif, efektif, menyenangkan.
|
Sumber: Prof.Dr.Muhaimin, MA, Rekonstruksi pendidikan Agama. hal.
42
Dengan
berpedoman kepada semua pilar pembelajaran tersebut di atas, maka setiap guru
agama (tak terkecuali) yang bertugas di madrasah maupun disekolah umum haruslah maupu
mengarahkan proses pembelajaran peserta didiknya agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, di samping to know, to do, maupun to
be dan learing together. Hal ini dimaksudkan untuk menekankan
bahwa iman dan takwa itu perlu
diintegrasikan dengan IPTEKS dalam diri peserta didik. Sementara bagi
guru/pendidik non agama (guru umum) pengintegrasian tersebut dapat saja dilakukan melalui integrasi dengan
materi pelajaran yang diajarkan, melalui proses pembelajaran dalam memilih
bahan ajar dan integrasi dalam memilih media pemebelajaran.
Dan semua ketentuan ntersebut adalah merupakan salah satu syarat untuk
terlaksananya reposisi pendidikan Islam dengan baik.
Ada
banyak cara yang dapat dilakukan dalam reposisi pendidikan Islam tersebut.
Diantaranya dapat dilakukan dengan: Pengintegrasian imtak dengan materi
pembelajaran sebagai upaya mengintegrasikan konsep agama Islam ke dalam materi
(teori, konsep) yang sedang dalam proses pembelajaran. Ada beberapa cara dalam
pengintegrasian imtak dengan materi pembelajaran tersebut, yaitu: Pertama:
Pengintegrasian filosofis, maksudnya apabila tujuan fungsional mata pelajaran
umum sama dengan tujuan fungsional PAI. Misalnya: materi PAI mengajarkan
perlunya kesehatan bagi manusia, dalam materi pelajaran Orkes juga begitu. Mata pelajaran Matematika mengajarkan
ketelitian, kejujuran, kehati-hatian, sementara materi PAI juga mengajarkan sifat
yang demikian. Kedua: bila materi PAI berlawanan dengan materi pelajaran
umum. Misalnya tentang asal usul kejadian manusia, dalam PAI mengajarkan bahwa
manusia berasal dari Nabi Adam yang berasal dari tanah, sementara mata
pelajaran Antropologi menurut teori Darwin, manusia itu berasal dari monyet.
Demikian pula dalam materi PAI bunga Bank itu haram hukumnya, sedangkan menurut
pelajaran ekonomi bunga bank itu boleh saja. Terhadap kasus-kasus yang berlawanan
tersebut guru/pendidik harus mampu menyelesaikannya. Dan usahakan peserta didik
jangan diajarkan materi atau konsep yang berlawanan. Oleh sebab itu terhadap
ajaran tentang penciptaan manusia, dalam kasus tersebut dapat dipertemukan pada teori evolusinya, sedangkan perbedaannya
hanya terletak pada asal usulnya. Kemudian
dalam kasus bunga bank, penyelesaiannya dapat dilakukan dengan
menjelaskan kepada peserta didik, bahwa bank adalah sebuah lembaga keuangan yang
memiliki pegawai yang banyak, dari Direktur sampai ke staf, semuanya perlu
digaji. Dalam operasionalnya juga memerlukan dana yang tidak sedikit. Sementara
penghasilan bank tersebut sebagian besar bersumber dari pengelolaan dari uang
seluruh nasabah. Oleh sebab itulah maka
bunga bank dapat ditolerir, selama tidak berlebih-lebihan dan merugikan para
nasabahnya. Ketiga:
Perintegrasian, cara ini dilakukan manakala ajaran dalam agama Islam
seirama dan saling mendukung dengan konsep dalam pengetahuan umum. Misalnya
guru Penjaskes mengajarkan peserta didiknya bahwa pada dasarnya penyakit itu bersumber dari makanan yang kita makan, oleh sebab itu
agar terhindar dari berbagai penyakit kita perlu melakukan diet. Kemudian
guru tersebut mengintegrasikannya dengan ajaran agama Islam yang menganjurkan
agar kita melakukan puasa sunat sebagai usaha diet, sehingga terhindar
dari berbagai penyakit.
Berikutnya pengintegrasian imtak dalam proses pembelajaran dapat
pula dilakukan dengan cara mengupayakan dalam seluruh proses pembelajaran
tersebut jangan sampai bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Misalnya, janganlah
guru olah raga laki-laki di SMA/SMK atau yang sederajat mengajar renang para
siswa perempuan, demikian pula sebaliknya. Kemudian dalam menjatuhkan
sanksi/hukuman terhadap siswa yang melanggar tata tertib sekolah, usahakan
harus sesuai dengan kaidah dalam ajaran Islam. Kemudian dalam memilih materi
pelajaran, pengitegrasian imtak guru dapat melakukannya dengan cara memilih
materi pelajaran umum yang akan dibahas, yang memiliki keterkaitan atau bahkan memuat ajaran Islam itu sendiri. Misalnya guru
bahasa Inggris memilih materi ajar yang berkaitan denhgan ajaran Islam. Guru
bahasa Indonesia misalnya memilih kajian-kajian atau sajak-sajak yang akan
diajarkan yang bernafaskan Islam. Semua itu dilakukan guru dengan tujuan untuk
meningkatkan rasa iman dan taqwa pada peserta didik.
Selanjutnya pengintegrasian
imtak dapat pula dilakukan melalui media pembelajaran. Misalnya ketika guru
matematika mengajarkan tentang mencari luas dari sebuah bangunan, maka contoh
yang dipilih untuk bangunan tersebut, misalnya sebuah masjid, mushalla, dan
lai-lain. Ketika guru PPKN mengajarkan dasar negara RI dia menggunakan media
angka lima untuk menjelaskan jumlah sila-sila yang ada dalam Pancasila (khususnya
di sekolah dasar). Dalam penjelasannya media huruf lima tersebut oleh guru juga
dikaitkan dengan agama Islam yang juga dibina atas lima dasar, yaitu Syahadat,
shalat lima waktu, puasa, Zakat, dan haji. Begitulah seterusnya dengan
pelajaran–pelajaran umum lainnya, dengan catatan dilakukan ketika ada peluang
yang tepat dan tidak perlu memaksakannya bila peluangnya tidak ada.
Berikutnya bila kita mengkaji Permendiknas tentang Standar isi, antara lain berisikan:
1.
Menumbuh kembangkan
akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan,
pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam
sehingga menjadi manusia muslim yang terus kerkembang keimanan dan ketakwaannya
kepada Allah SWT.
2.
Mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan
berakhlak mulia yaitu manusia yang berpengatahuan, rajin beribadah, cerdas,
produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertolerasnsi (tasamuh),
menjaga kehormatan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama
dalam komunitas sekolah. niscaya
kita akan memahami dan menyadari akan posisi pendidikan Islam di negara RI.
Maka bila selama ini posisi pendidikan
agama Islam seolah-olah terpinggirkan, ekskulisif
dan hanya merupakan tugas guru agama, dengan adanya permendiknas tersebut
posisi pendidikan agama Islam justru menjadi core-nya pendidikan. Maksudnya
pendidikan agama Islam itu bukanlah hanya menjadi tugas guru agama Islam saja,
tetapi dia merupakan tugas dari seluruh tenaga kependidikan bersama-sama dengan
orang tua murid seluruhnya. Bahkan harus dikembangkan menjadi budaya dalam komunitas sekolah tersebut.
Oleh sebab itu dengan posisi Pendidikan agama Islam yang sudah
jelas tersebut, menurut Malik Fajar, perlu
adanya pengembangan ke arah: 1). Pendidikan multikulturalis, yaitu pendidikan
agama Islam perlu dikemas dalam bentuk multikultural, ramah menyapa perbedaan
budaya, sosial dan agama; 2). Mempertegas misi penyempurnaan akhlak (liutammima
makarimal akhlaq); dan 3). Spiritualisasi watak kebangsaan, termasuk
spiritualisasi berbagai aturan hidup untuk membangun bangsa yang beradab.
Namun untuk mewujudkannya diperlukan beberapa modal dasar. Pertama:
berusaha mening-katkan, memperkuat serta memperluas pengetahuan dan wawasan
keislamannya. Dengan asumsi bahwa semakin tinggi pengetahuan dan wawasan
keislamann seseorang, maka akan diikuti dengan semakin tinggi pula sikap
toleransinya. Sebaliknya, semakin rendah pengetahuan dan wawasan keislaman
seseorang, akan semakin besar kemungkinan timbulnya hal-hal yang negatif,
terutama bila ada yang mengipas-ngipasinya. Kedua: keluasan pengetahuan
dan wawasan tersebut akan berimplikasi pada timbulnya sikap husnuzh-zhan
(prasangka baik) terhadap sesama. Maka jika sejak semula seseorang memiliki
prasangka buruk; maka segala apa saja yang dilakukan oleh pihak lain pasti akan
ditafsirkan negatif olehnya, sehingga dapat menciptakan ketidakharmonisan atau
bahkan keretakan. Dan Ketiga: yang paling penting adalah tidak ada satu
kelompok pun yang boleh mengklaim atau memonopoli kebenaran, sebagaiman tidak
ada sekelompok manapun yang memonopoli kesalahan.
E. PENUTUP
Dari
berbagai informasi dan penjelasan sebagaimana tersebut di atas, kita mengetahui
bahwa inti dari Dasar negara kita Pancasila pada hakikatnya adalah keimanan
kepada Tuhan yang Maha Esa, yang merupakan sasaran utama pendidikan agama, juga
sekaligus sebagai inti atau core pendidikan dan kurikulum pendidikan.
Demikian pula dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, khususnya pasal
1 ayat (1), kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pendidikan Islam adalah
merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya (fithrahnya)
agar mereka memiliki kekuatan spiritual keagamaan dalam semua aspek
kehidupannya.
Namun untuk mencapai tujuan tersebut pendidikan agama Islam saat
ini banyak menghadapi berbagai tantangan yang bersifat intern maupun ekstern. Sehingga
jika berbicara tentang pendidikan Islam, maka ia tidak bisa dilepaskan dari
umat Islam sebagai aktor dan pengembangnya. Selama ini ada bermacam-macam
persepsi negatif terhadap pendidikan Islam, bahkan ada sementara pihak yang
berusaha memojokkannya. Persepsi semacam ini didukung oleh kenyataan bahwa
akhir-akhir ini konflik yang terjadi dalam hubungan manusia sebagai individu
ataupun kelompok bahkan bangsa berlangsung dalam eskalasi yang tinggi hingga
ketingkat violent, dan kasus-kasus kekerasan tersebut sering memakai
legitimasi agama Islam.
Untuk mengatasinya salah satu yang perlu dipertimbangkan adalah
melakukan reposisi dari pendidikan Islam itu sendiri. Sehingga setiap guru/pendidik
di sekolah/madrasah tak terkecuali, harus mampu mengarahkan belajar peserta
didik ke arah belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta
belajar untuk memahami dan menghayati, belajar untuk mampu melakukan dan
berbuat secara efektif, belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang
lain, serta belajar untuk membangun dan menemukan jatidiri, melalui proses pembelajaran yang
aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
Pendidikan agama Islam di sekolah yang terdiri atas beberapa aspek,
yaitu: Al-Qur’an dan Hadits, Keimanan/akidah, Akhlak, Fiqh/Hukum Islam, dan
Tarikh/Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), dalam praktiknya semuanya punya
keterkaitan dan saling melengkapi. Kemudian setiap guru/pendidik juga harus
mampu mengaitkan dan mengintegrasikan dengan ilmu-ilmu umum lainnya, sehingga
tercipta pengintegrasian antara iman dan takwa (imtak) dengan Ipteks.
Demikian pula sekalipun posisi pendidikan agama Islam itu jelas
sebagai core pendidikan, namun dalam praktiknya dilapangan kadangkala
mengalami proses reduksi dalam pemahaman maupun dalam penerapan, sehingga
melahirkan sikap perilaku yang ekslusif dan diposisikan marginal. Oleh sebab
itu dalam rangka untuk menyiapkan kader-kader kepeminpinan bangsa ke depan,
maka reposisi pendidikan Islam sangat penting untuk dilaksanakan dan
dikembangkan ke arah pendidikan Islam
yang multikulturalis; serta mempertegas misi liutammima makarimal
akhlaq, dan melakukan spiritualisasi watak kebangsaan. Namun untuk
mewujudkannya diperlukan beberapa modal dasar, yang antara lain: meningkatkan
dan memperkuat serta memperluas pengetahuan
dan wawasan keislaman; kemudian mengembangkan sikap husnush-zhan
(berprasangka baik) terhadap sesama; dan tidak boleh mengklaim atau memonopoli
kebenaran, sebagaimana juga tidak boleh memonopoli kesalahan.
DAFTAR
PUSTAKA
A.
B.
C.