Abdulah Husin[1]
Abstrak
Pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan selaras
dengan salah satu tujuan penciptaan manusia di muka bumi adalah sebagai
khalifah Allah (khalifah Allah fi al-ardh). Manusia mendapat tugas
mewakili Allah mengelola dan menyuburkan bumi untuk kepentingan manusia
sendiri. Tugas ini tentu saja memerlukan pengetahuan agar manusia mampu
melaksanakan tugas ini. Dalam hal ini, secara pragmatis ilmu membantu manusia
menunaikan tugas kekhalifahan yang diamanahkan kepadanya. Aktivitas
pengembangan dan pemanfataan ilmu pengetahuan Islam telah kemukakan oleh
Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam
sejak empat belas abad silam. Atas
dasar
ini,maka tulisan ini diarahkan
untuk membahas tentang
hakikat dan sumber ilmu pengetahuan serta pemanfaatannya dalam perspektif hadis
dengan menggunakan metode kajian hadis maudhu’i (tematik).
Kata Kunci :
Ilmu Pengetahuan; Pemanfaatan; Perspektif Hadis
A.
PENDAHULUAN
Perbincangan tentang ilmu dan pemanfataannya menjadi perbincangan menarik. Islam sebagai
agama yang tidak diragukan kebenarannya tentu memuat beragam hal-hal yang
memandu manusia untuk menemukan kebenaran. Sebagai agama yang universal, Islam
dalam ajarannya mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam konteks ajaran
Islam, keseluruhan prilaku dan tindakan dikategorikan sebagai sebuah bentuk
peribadatan dan memperoleh pahala atas perbuatan tersebut. Karena itu, dalam
ajaran Islam tak ada satupun yang luput dari jangkauan hukum dan tatanannya.
Atas dasar ini pula maka perlunya ilmu pengetahuan.[2] Salah satu informasi
tentang ilmu dalam konteks pokok agama ini terdapat dalam Alquran dan hadis Sunanah
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wassalam sebagai sumber dasar
ideal Islam.
Islam menempatkan ilmu
pada posisi sangat penting dan strategis. Alquran dan Sunnah memandang orang
berilmu dalam posisi yang tinggi dan mulia, serta memberikan dorongan untuk
terus menuntut ilmu. Islam sebetulnya bukan hanya menganjurkan belajar secara
statis, tetapi perlu pengembangan ilmu secara dinamis, progresif, dan kritis.
Bahkan menghendaki seseorang itu terus menerus melakukan pembelajaran dan
riset.[3]
Pengembangan ilmu
dalam Islam didasarkan pada tujuan hidup manusia yang dipandu oleh Alquran dan
Sunnah. Atas dasar ini, maka tujuan hidup manusia untuk mendapatkan keridahaan
dan pengakuan dari Allah menjadi salah satu karakter dan dasar utama tujuan
hidup manusia dansekaligus juga dijadikan sebagai salah satu karakter dasar
pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan.
Pengembangan
dan pemanafaatan ilmu pengetahuan selaras dengan salah satu tujuan penciptaan
manusia di muka bumi adalah sebagai khalifah Allah (khalifah Allah fi al-ardh).
Manusia mendapat tugas mewakili Allah mengelola dan menyuburkan bumi untuk
kepentingan manusia sendiri. Tugas ini tentu saja memerlukan pengetahuan agar
manusia mampu melaksanakan tugas ini. Dalam hal ini, secara pragmatis ilmu
membantu manusia menunaikan tugas kekhalifahan yang diamanahkan kepadanya.
Aktivitas
pengembangan dan pemanfataan ilmu pengetahuan Islam telah dikemukakan oleh
Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam
sejak empat belas abad silam. Atas
dasar
ini, maka tulisan ini diarahkan
untuk membahastentang
hakikat dan sumber ilmu pengetahuan serta pemanfaatannya dalam perspektif hadis
dengan menggunakan metode kajian hadis madhu’i (tematik).
B. PEMBAHASAN
1.
Hakikat Ilmu
Betapa Islam sangat mengapresiasi dan
memuliakan ilmu pengetahuan. Ilmu diibaratkan dengan keutamaan atau kelebihan
yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad saw. Sebagaimana terdapat dalam
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam shahihnya bersumber dari
Abdullah Ibn Umar sebagai berikut:
حَدَّثَنَا
سَعِيْدُ بْنُ عُفَيْرٍ قَالَ: حَدَّثَنِي اللَّيْثُ قَالَ: حَدَّثَنِي عُقَيْلٌ،
عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ هَمْزَةَ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ: أَنَّ ابْنَ
عُمَرَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: بَيْنَا
أَنَا نَائِمٌ أُتِيْتُ بِقَدْحِ لَبَنٍ فَشَرِبْتُ حَتَّى إِنِّي لَأَرَى
الرِّيَّ يَخْرُجُ فِي أَظْفَارِي، ثُمَّ أَعْطَيْتُ فَضْلِي عُمَرَ بْنَ
الْخَطَّابِ، قَالُوْا: فَمَا أَوْلَتْهُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الْعِلْمَ.[4]
Artinya: “Said bin ‘Ufair menceritakan kepada kami,
ia berkata: “al-Laits menceritakan kepadaku, ia berkata: “‘Uqail menceritakan
kepadaku dari Ibn Syihab dari Hamzah bin Abdullah bin Umar, bahwasanya Ibn Umar
mengatakan: “Saya mendengar Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Ketika aku sedang tidur, aku bermimpi seseorang datang kepadaku memberikan
segelas susu, lalu kuminum susu tersebut sehingga kulihat merengat (merembes)
keluar dari ujung kukuku, kemudian sisanya kuberikan kepada Umar bin
Khaththab.” Para sahabat bertanya, “Apakah takwil mimpi Anda itu, ya
Rasulullah?.” Rasulullah menjawab: “Ilmu.” (HR. Imam Bukhari).
Menurut Ibn Hajar, Rasulullahsahallallahu
‘alaihi wasallam menafsirkan susu dengan ilmu, karena keduanya banyak
memberi manfaat.[5]
Hadis ini menurut Ibn Munir menginformasikan tentang keutamaan ilmu
pengetahuan, di mana ilmu diibaratkan dengan keutamaan atau kelebihan Nabisahallallahu
‘alaihi wasallam yang diberikan Allah Subhânahu wa Ta’ala kepadanya.[6]
Kata ilmu dalam bahasa Indonesia
berasal dari kata al-‘ilmu dalam bahasa Arab. Secara bahasa (etimologi)
kata al-‘ilmu adalah bentuk mashdar atau kata sifat dari kata `alima
- ya`lamu - `ilman yang berarti pengetahuan,[7]
merupakan lawan kata dari “jahl” yang berarti ketidaktahuan atau
kebodohan.[8]
Sebagai subjek disebut “‘âlim” yang berarti orang yang tahu dan objeknya
adalah “ma’lûm” atau yang diketahui.[9]
Sementara secara terminologi, istilah ilmu berarti pemahaman
tentang hakikat sesuatu.[10] Ilmu diartikan juga sebagai pengetahuan
tentang sesuatu yang diketahui dari dzat (esensi), sifat dan makna
sebagaimana adanya.[11]Ilmu dapat dikatakan sebagai pengetahuan mengenai segala sesuatu yang telah disusun
secara runtut dan merupakan satu kesatuan berdasarkan metode-metode tertentu
yang dapat digunakan untuk menjelaskan gejala-gejala dari objek (pengetahuan) itu.
Apresiasi Rasulullah sahallallahu
‘alaihi wasallam terhadap ilmu tidak hanya tergambar dari penyebutan
kata al-`ilm dan derivasinya yang sangat banyak dalam kitab-kitab hadis,
tetapi terdapat ungkapan-ungkapan lainnya yang bermuara pada kesamaan makna,
diantaranyaadalahal-hikmah. Sebagaimana sabda Rasulullah sahallallahu
‘alaihi wasallam:
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا
سُفْيَانُ قَالَ: حَدَّثَنِي إِسْمَاعِيْلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ عَلَى غَيْرِ مَا حَدَّثْنَاهُ
الزُّهْرِيُّ قَالَ: سَمِعْتُ قَيْسَ بْنِ أَبِي حَازِمٍ قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ
اللهِ بْنَ مَسْعُوْدٍ قَالَ:قَالَالنَّبِيُّصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَ:لَاحَسَدَإِلَّافِياثْنَتَيْنِ:رَجُلٍآتَاهُاللهُمَالاًفَسُلِّطَعَلَىهَلَكَتِهِفِيالْحَقِّ،وَرَجُلٍآتَاهُاللهُحِكْمَةًفَهُوَيَقْضِيبِهَاوَيُعَلِّمُهَا.[12]
Artinya:
“al-Humaidiy menceritakan kepada kami, ia berkata: Sufyan menceritakan kepada
kami, ia berkata: Ismail bin Abi Khalid menceritakan kepadaku tidak sebagaimana
al-Zuhriy menceritakan kepada kami, ia berkata: Aku mendengar Qais bin Abi
Hazim berkata: Aku mendengar Abdullah bin Mas’ud berkata: Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam telah bersabda: “Tidak ada iri hati (dengki),
kecuali kepada dua orang, yaitu orang yang diberi Allah Subhânahu wa Ta’ala
harta kemudian dia pergunakan dalam kebenaran, dan orang yang diberi Allah
Subhânahu wa Ta’ala hikmah (ilmu) kemudian dipergunakannya dengan baik dan
diajarkannya.” (HR. Bukhari, Muslim, Ibn Majah, Ahmad, dan Ibn Hibban).
Hadis ini menginformasikan bahwa
sejatinya tidak ada (tidak boleh) iri atau hasad, kecuali hanya kepada dua
orang, yaitu orang yang dianugerahi harta oleh Allah dan orang yang dianugerahi
Allah hikmah. Kedua karunia ini dipergunakan oleh masing-masing pemiliknya
untuk kebenaran dan memberikan manfaat kepada orang lain.
Hasad yang dimaksud dalam hadis
ini menurut menurut para ulama
adalah ghibthah, yaitu berangan-angan agar mendapatkan
nikmat seperti yang ada pada orang lain tanpa mengharapkan nikmat tersebut
hilang dari pemiliknya.[13] Jika ghibthah
ini dalam hal dunia, maka itu dibolehkan, jika dalam hal ketaatan, maka itu dianjurkan.[14]Anjuran ghibthah dalam hadis di
atas, salah satunya adalah iri terhadap orang diberi hikmah yang
diamalkan dan diajarkannya. Menurut
al-Kirmaniy hikmah yang
maksudkan dalam hadis ini adalah“ilmu.”[15]
Redaksi hikmah berulang kali
disebutkan dalam Alquran dan memiliki beragam pengertian.[16] Para
ahli sepakat ketika menafsirkan al-hikmah yang diberikan kepada Luqman
al-Hakim bukan sebagai nubuwwah (kenabian), seperti terdapat dalam QS.
Luqman [31] ayat 12.[17]
Konteks al-hikmah pada ayat ini, diartikan oleh Ibnu Marduyah
bersumber dari Ibn Abbas, sebagai akal, pemahaman, dan kecerdasan.[18]
Senada dikemukakan Mujahid, hikmah adalah akal, kepahaman, dan ketepatan dalam
perkataan.[19]
Qatadah menambahkan pemahaman terhadap agama, dan perkataan yang benar.[20]
Hikmah diartikan juga sebagai perasaan yang halus, kecerdasan, dan pengetahuan.[21]
Hikmah juga pengetahuan terhadap semua yang maujud dan mengerjakan
kebajikan.[22]
Berdasarkan beberapa pengertian di
atas, hikmah merupakan pemahaman dan akal serta pelaksanaan dari kedua unsur
tersebut. Oleh karena itu, seseorang tidak bisa disebut sebagai al-Hakîm
kecuali ia menggabungkan kedua unsur
tersebut.[23]Jadi
secara umum, hikmah merupakan pengetahuan yang paling tinggi nilainya, yakni
pengetahuan yang menghubungkan manusia pada pemahaman tentang dunia dan
akhirat. Pendeknya, orang yang mendapatkan hikmah tentunya mendapatkan kebaikan
yang banyak dari Allah.[24]
Dengan demikian, hikmah merupakan
akumulasi dari iman, ilmu dan amal yang menjadi refleksi kesempurnaan jiwa
seseorang. Iman yang kokoh merupakan cahaya bagi sesorang dalam
menjalani kehidupan, sehingga tidak tersesat dalam menentukan jalan hidupnya
dan mampu menentukan baik dan buruk. Ilmu yang memadai sebagai sarana untuk
menjadikan kehidupan seseorang mudah dan indah. Amal yang sempurna adalah buah
dari iman dan ilmu sehingga hidup seseorang bermanfaat, tidak saja bagi diri
pribadi melainkan juga kebaikan bagi orang lain.
Maka dari itu, keutamaan dan
kemuliaan orang yang berilmu ini juga tercermin dari diperbolehkannya iri (hasad)
terhadap orang yang berilmu. Padahal iri adalah sifat tercela dan tidak
layak menjadi perangai orang-orang yang beriman. Larangan iri salah satunya
dikarenakan dampak buruk yang diakibatkan oleh sifat iri pada diri seorang
Mu`min bahkan orang kafir sekalipun, maka sifat ini dilarang oleh agama.[25]
Namun, tidak demikian dengan seseorang yang iri terhadap orang yang berilmu.
Karena iri terhadap orang yang berilmu akan berdampak positif bagi orang yang
iri, maka iri terhadap orang yang berilmu dibolehkan oleh agama, dan bahkan
dipuji.
Secara eksplisit, ungkapan “seseorang
yang Allah Subhânahu
wa Ta’ala beri karunia hikmah (ilmu)” dalam hadis di atas menunjukkan
bahwa ilmu adalah cahaya dari Allah Subhânahu wa Ta’ala yang dianugerahkan
kepada siapa saja yang Ia kehendaki.[26]
Akan tetapi, ilmu itu juga diperoleh melalui sebuah proses mencermati, membaca
dan menganalisa yang dilakukan oleh akal, indera (al-bashar) dan kalbu (al-bashîrah).
Proses ini biasa disebut dengan berfikir. Proses penemuan ilmu pengatahuan ini dilakukan dalam berbagai kreativitas dan
aktivitas, diantaranya adalah dengan
belajar. Sebagaimana diriwayatkan Thabrani dari Muawiyah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْمَعْلَى
الدِّمَشْقِيِّ ثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ ثَنَا صَدْقَةُ بْنُ خَالِدٍ ثَنَا عُتَبَةُ
بْنُ أَبِي حَكِيْمٍ عَمَّنْ حَدَّثَهُ عَنْ مُعَاوَيَةَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا
الْعِلْمُ بَالتَّعَلُمِ وَالْفِقْهُ بِالتَّفَقُّهِ، وَمَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا
يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ، وَإِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ.[27]
Artinya: “Ahmad bin al-Ma’la al-Dimasyqiy menceritakan kepada kami, Hiyam
bin ‘Ammar menceritakan kepada kami, Shadqah bin Khalid menceritakan kepada
kami, ‘Utbah bin Abi Hakim menceritakan kepada kami dari orang yang
menceritakan kepadanya dari Mu’awiyah, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw.
telah bersabda: “Wahai orang-orang beriman, sesungguhnya ilmu itu diperoleh
dengan cara belajar, dan kepahaman diperoleh dengan cara memamahi, dan jika
Allah menghendaki kebaikan kepada seseorang, maka Dia akan menjadikannya
sebagai orang yang ahli agama, dan sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya,
hanyalah ulama.” (HR. Thabrani).
Menurut Ibn Hajar al-‘Asqalaniy,
sanad hadis ini hasan, meskipun di dalamnya terdapat seorang perawi yang tidak
diketahui (mubham), akan tetapi riwayat tersebut diperkuat dengan
riwayat lainnya. Al-Bazzar juga meriwayatkan hadis seperti ini dari Ibn Mas’ud
secara mauquf (dinisbatkan kepada sahabat), sedangkan Abu Nu’aim
meriwatkannya secara marfu’.[28]
Potongan hadis ini “sesungguhnya ilmu itu diperoleh dengan cara belajar” juga
disebutkan oleh Imam Bukhari dalam shaihnya secara mu’allaq (tanpa
sanad).[29]
Hadis di atas memberikan dorongan dan motivasi kuat terhadap pengembangan
keilmuan Islam melalui
proses pembelajaran. Selain itu juga, menunjukkan adanya korelasi antara
ilmu dengan khasyyah, karena keberagamaan itu inheren dengan ilmu.
Sehingga dapat dikatakan bahwa hanya orang berilmulah yang dapat mencapai
puncak khasyyah kepada Allah. Dengan demikian, jika ada orang berilmu
namun tidak memiliki sikap keberagamaan yang kokoh, berarti ilmunya tidak
bermanfaat.Atas dasar ini, Abu Bakar bin Jabir al-Jazairi mendefinisikan ilmu sebagai
jalan menuju rasa takut kepada Allah Subhânahu wa Ta’ala, barang siapa
yang tidak memiliki ilmu, maka tidak mengenal Allah Subhânahu wa Ta’ala sehingga tidak
mempunyai rasa takut pulakepada-Nya.[30]
Inilah perbedaan tradisi
keilmuan Islam dengan Barat yang materialistis.[31]
Islam membimbing agar ilmu pengetahuan dapat mengantarkan manusia pada pemilik
rahasia alam raya ini, bukan sekadar ilmu untuk ilmu. Seperti dikemukakan M. Quraish
Shihab, semboyan “ilmu untuk (kepentingan) ilmu”dan ungkapan “ilmu bebas nilai”
tidak dikenal dan tidak dibenarkan dalam Islam, tetapi “ilmu sarat nilai”. Karena
itu pula, ilmuwan muslim harus menanamkan nilai rabbani (nilai ilahiah)
pada ilmu pengetahuan.[32]
Dengan demikian, ilmu harus selalu dibimbing dengan iman, dan sebaliknya iman
harus ditopang dengan ilmu. Dengan meningkatnya ilmu
seseorang, maka akan meningkat kekokohan akidahnya. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman dalam QS. al-Hajj [22]; 54:
zNn=÷èu‹Ï9uršúïÏ%©!$#(#qè?ré&zOù=Ïèø9$#çm¯Rr&‘,ysø9$#`ÏBšÎi/¢‘(#qãZÏB÷sãŠsù¾ÏmÎ/|MÎ6÷‚çGsù¼ã&s!öNßgç/qè=è%3¨bÎ)ur©!$#ÏŠ$ygs9tûïÏ%©!$#(#þqãZtB#uä4’n<Î):ÞºuŽÅÀ5OŠÉ)tGó¡•B
Artinya:
“Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al Quran
Itulah yang hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka
kepadanya dan Sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang
beriman kepada jalan yang lurus.” ( QS. al-Hajj [22]; 54).
Ayat di atas
dijelaskan bahwa meningkatnya ilmu harus berbanding lurus dengan meningkatnya
iman. Orang beriman sekaligus berilmu akan meningkat harkat dan martabatnya
dibandingkan dengan orang yang hanya beriman saja, atau berilmu saja. Oleh
karena itu, agar iman kita benar harus ditopang dengan ilmu yang benar pula.
Puncaknya, seperti dialami oleh para
ilmuwan, aktivitas keilmuan yang terus-menerus akan mengantarkan seorang
ilmuwan pada ketinggian moral atau akhlak, yakni suatu kondisi yang sangat
sadar dan mengerti posisinya dalam kesemestaan ini. Dari kondisi seperti ini, ia benar-benar
paham dan mengerti kebesaran dan keagungan Sang Maha Pencipta.
2.
Sumber-sumber Ilmu
Setelah mengetahui hakikat ilmu pengetahuan
dalam perspektif hadis, maka Islam pun telah mengatur dan menggariskan kepada
umatnya agar tidak salah dan tersesat dengan memberikan bingkai sumber
pengetahuan berdasarkan urutan kebenarannya menurut hadis Rasulullah sahallallahu
‘alaihi wasallam sebagai berikut.
a.
Ayat-ayat
Tanziliyyah (Alquran dan Sunnah)
Seperti disebutkan sebelumnya, ilmu
yang benar diperoleh berdasarkan dari sumber yang benar pula, yaitu Alquran dan
Sunnah Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam. Pengertian ini menegaskan
bahwa kedua sumber pokok tersebut menjadi sumber utama ilmu pengetahuan Islam.
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam yang
diriwayatkan oleh Imam Malik dan al-Hakim sebagai berikut:
وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، أَنَّهُ
بَلَغَهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: تَرَكْتُ
فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ وَ
سُنَّةَ نَبِيِّهِ.[33]
Artinya: “Malik
menceritakan kepadaku, disampaikan kepadanya bahwa Rasulullah sahallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, dan kalian
tidak akan tersesat selama kalian selalu berpegang teguh kepada keduannya,
yaitu Kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya (al-hadis).” (HR. Imam Malik
dan al-Hakim dengan redaksi sedikit berbeda bersumber dari Abu Hurairah).
Menurut Yahya bin Laits, sanad hadis
ini lemah karena terdapat Ismail bin Abi Uwais yang dianggap lemah di kalangan
ahli hadis dan tidak termasuk dalam kriteria shahih Bukhari dan Muslim. Meski
demikian, hadis ini sangat dikenal dan masyhur di kalangan ahli hadis bersumber
dari Nabi Muhammad sahallallahu ‘alaihi wasallam. Dari segi makna,
keshahihan hadis ini tidak diragukan lagi karena Allah Swt. telah menggariskan
dalam Alquran agar taat kepada-Nya dan Rasul-Nya. Di samping itu, terdapat
banyak ayat Alquran yang memerintahkan kepada kita agar taat kepada Rasulullah sahallallahu
‘alaihi wasallam dan berpegang kepada Sunnahnya.[34]
Kandungan matan hadis ini menunjukkan
pada kenyataan bahwa Nabi sahallallahu ‘alaihi wasallam telah
meninggalkan dua pusaka, yaitu kitab Allah dan sunnahnya untuk dijadikan
pedoman dalam menempuh jalan yang benar, tidak sesat dan menyesatkan. Ada dua
kata penting dalam hadis ini, yaitu kitab Allah dan sunnah. Kitab Allah adalah
wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sahallallahu ‘alaihi wasallam
melalui perantaraan malaikat Jibri as., yaitu Alquran. Sedangkan al-Sunnah
dalam perspektif ahli hadis adalah setiap perkataan, perbuatan, persetujuan,
sifat fisik, akhlak, atau perjalanan hidup yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad
sahallallahu ‘alaihi wasallam, baik sebelum menjadi rasul maupun
sesudahnya.[35]
Hadis ini menegaskan bahwa berpegang
teguh kepada Alquran dan Sunnah adalah mutlak bagi umat Islam. Sebab, tidak ada
kebenaran kecuali dari keduanya, tidak ada hidayah atau petunjuk selain dari
keduanya, dan keselamatan bagi yang senantiasa berpegang teguh kepada keduanya.
Alquran dan Sunnah merupakan kebajikan dan dalil yang sangat jelas dalam
menunjukkan segala yang hak dan batil. Oleh karena itu, wajib untuk berpegang
atau merujuk kepada keduanya, terutama dalam permasalahan agama.[36]
Ibn Abd al-Barr ketika menjelaskan
hadis ini mengatakan bahwa yang dinamakan petunjuk adalah semua aspek yang
mengacu kepada Alquran dan Sunnah Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam
yang menjelaskan maksud dan keinginan Alquran. Apabila secara zahir sulit
dipahami dalam Alquran, maka Sunnah Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam
menjelaskan maksud dan tujuan Alquran tersebut.[37]
Senada dikemukakan al-Bâjiy, Rasulullah saw. menjelaskan tentang dua perkara
ini (Alquran dan Sunnah), maksudnya adalah bahwa apa yang telah disunnahkan,
disyariatkan, dan disampaikannya kepada kita tentang halal, haram, dan lainnya
telah terdapat dalam Alquran dan Sunnah. Maka apabila tidak terdapat pada
keduanya adalah sesuatu yang tidak dapat diterima.[38]
Segala aspek kehidupan manusia telah
dijelaskan dalam Alquran dan Sunnah, baik dalam hubungannya dengan sang Khaliq
(hablum minallah), hubungan manusia dengan sesama manusia (hablum
minannas), maupun tata cara hubungan manusia dengan alam sekitar. Ayat-ayat
al-Qur’an adakalanya menjelaskan secara lansung tentang suatu hukum (qat’i)
dan adakalanya memerlukan penafsiran lebih lanjut (zhanni). Di sinilah
hadits-hadits Nabi berperan sebagai penerang lebih lanjut untuk menjelaskan
ayat-ayat yang bersifat samar (zhanni).
Menurut Azyumardi Azra, Alquran dan
Sunnah merupakan sumber bagi ilmu-ilmu Islam, dalam pengertian yang
seluas-luasnya. Lebih khas lagi, kedua sumber pokok Islam ini memainkan peran
ganda dalam penciptaan dan pengembangan ilmu-ilmu. Pertama, prinsip-prinsip
seluruh ilmu dipandang kaum Muslim terdapat dalam Alquran. Dan sejauh pemahaman
terhadap Alquran, terdapat pula penafsiran yang bersifat esoteris (ma’nawi) terhadap
Kitab suci ini, yang memungkinkan tidak hanya pengungkapan
misteri-misteri yang dikandungnya, tetapi juga pencarian makna secara lebih
mendalam, yang berguna untuk pengembangan paradigma ilmu. Kedua, Alquran
dan Sunnah menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan
dengan menekankan kebajikan dan keutamaan menuntut ilmu; pencarian ilmu dalam
segala apapun berujung pada penegasan Tauhid-Keunikan dan Keesaan Tuhan.
Karenanya, seluruh metafisika dan kosmologi yang terbit dari kandungan Alquran
dan Sunnah merupakan dasar pembangunan dan pengembangan ilmu Islam. Kedua
sumber pokok ini, singkatnya, menciptakan atmosfer khas yang mendorong
aktivitas-aktivitas intelektual dalam komformitas dengan semangat ilmu.[39]
Menurut Muhammad al-Maliki al-Hasani,
Alquran adalah ensiklopedi pertama yang pernah dikenal manusia. Alquran adalah
kitab suci yang tidak ada kepalsuan. Kandungan berisi segala macam ilmu
pengetahuan yang digali umat Islam sepanjang masa.[40]
Hal ini ditegaskan oleh Allah Subhânahu wa Ta’ala dalam Alquran di
antaranya:
$tBur`ÏB7p/!#yŠ’ÎûÇÚö‘F{$#Ÿwur9ŽÈµ¯»sÛçŽÏÜtƒÏmø‹ym$oYpg¿2HwÎ)íNtBé&Nä3ä9$sVøBr&4$¨B$uZôÛ§sù’ÎûÉ=»tGÅ3ø9$#`ÏB&äóÓx«4¢OèO4’n<Î)öNÍkÍh5u‘šcrçŽ|³øtä†
Artinya: “Dan Tiadalah binatang-binatang yang
ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan
umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab,
kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (QS. al-An’am [6]: 38).
Dalam firman-Nya lagi:
tPöqtƒurß]yèö7tR’ÎûÈe@ä.7p¨Bé&#´‰‹Îgx©OÎgøŠn=tæô`ÏiBöNÍkŦàÿRr&($uZø¤Å_uršÎ/#´‰‹Íky4’n?tãÏäIwàs¯»yd4$uZø9¨“tRuršø‹n=tã|=»tGÅ3ø9$#$YZ»u‹ö;Ï?Èe@ä3Ïj9&äóÓx«“Y‰èdurZpyJômu‘ur3“uŽô³ç0urtûüÏJÎ=ó¡ßJù=Ï9
Artinya: “(Dan ingatlah) akan hari (ketika)
Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka
sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat
manusia. dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang
yang berserah diri.” (QS. al-Nahl [16]: 89).
Kedua ayat di atas menegaskan bahwa penjelasan tentang segala
sesuatu terdapat dalam al-Qur’an, tidak terkecuali ilmu pengetahuan.
Sebagaimana telah diriwayatkan Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, ketika
beliau ditanya oleh seseorang, “Apakah Rasulullah sahallallahu
‘alaihi wasallamtelah
memberimu ilmu atau nasihat khusus yang tidak diberikan kepada orang lain?
“Beliau berkata, demi Allah, demi Yang telah menciptakan surga dan nyawa, aku
tidak memiliki sesuatu yang khusus kecuali pemahaman al-Qur’an yang telah Allah
berikan kepadaku.” Ibnu Abi Dunya berkata, “Ilmu al-Qur’an dan pengetahuan yang
didapat darinya seperti lautan yang tak bertepi.”[41]
Sedangkan Sunnah sebagai sumber ilmu pengetahuan dapat disinyalir
dari hadis shahih yang menyatakan bahwa para nabi tidak mewariskan dinar
dan dirham, melainkan
mewariskan ilmu. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallhu ‘alaihi
wasallam yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Tirmidzi dari Abu Darda
sebagai berikut:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدُ بْنُ مُسَرْهَدٍ،
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دَاوُدَ، سَمِعْتُ عَاصِمَ بْنَ رَجَاءِ بْنِ
حَيْوَةَ يُحَدِّثُ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ جَمِيلٍ، عَنْ كَثِيرِ بْنِ قَيْسٍ، قَالَ:
كُنْتُ جَالِسًا مَعَ أَبِى الدَّرْدَاءِ فِى مَسْجِدِ دِمَشْقَ، فَجَاءَهُ رَجُلٌ،
فَقَالَ: يَا أَبَا الدَّرْدَاءِ، إِنِّى جِئْتُكَ مِنْ مَدِينَةِ الرَّسُولِ صلى
الله عليه وسلم لِحَدِيثٍ بَلَغَنِى أَنَّكَ تُحَدِّثُهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى
الله عليه وسلم، مَا جِئْتُ لِحَاجَةٍ، قَالَ: فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صلى الله عليه وسلميَقُولُ: « مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ
اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ
أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ، وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ
مَنْ فِى السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِى الأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِى جَوْفِ الْمَاءِ،
وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ
الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ، وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ،
وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا، وَرَّثُوا
الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِر.[42]
Artinya:
“Musaddad bin Musarhad telah menceritakan kepada kami, Abdullah bin Daud telah
menceritakan kepada kami, aku mendengar ‘Ashim bin Raja’ bin Haiwah bercerita,
dari Daud bin Jamil, dari Katsir bin Qais, ia berkata: “Aku duduk bersama Abu
Darda di Masjid Demaskus, seseorang menghampirinya dan berkata: “Wahai Abu
Darda! Sesungguhnya aku mendatangimu dari kota Rasulullah sahallallahu
‘alaihi wasallam (Madinah) untuk mendapatkan sebuah hadis, bukan untuk
keperluan lain, karena itu sampaikanlah kepadaku sebuah hadis yang engkau
ketahui dari Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam. Abu Darda radhiyallahu
‘anhu berkata: “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka
Allah akan memudahkan jalannya ke surga. Dan sesungguhnya malaikat
membentangkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena puas dengan apa
yang diperbuatnya, dan bahwasanya penduduk langit dan bumi, bahkan ikan di
dalam air itu senantiasa memintakan ampunan bagi orang yang berilmu. Kelebihan
orang ‘alim terhadap ‘abid (orang yang beribadah tapi tidak pandai/berilmu)
adalah bagaikan kelebihan bulan purnama terhadap bintang-bintang yang lain.
Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi dan bahwasanya para nabi itu tidak
mewariskan dinar dan dirham (kekayaan duniawi), tetapi para nabi mewariskan
ilmu pengetahuan, maka barang siapa yang mengambil (menuntut) ilmu, maka ia
telah mengambil bagian yang sempurna.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan lain-lain
dengan sanad hasan lighairih.[43]
Hadis ini dishahihkan
oleh Al-Hakim dan Ibnu Hibban, demikian juga al-Albâniy[44]).
Kandungan hadis di atas merupakan
dorongan untuk mengapresiasi orang yang menuntut ilmu. Ilmu merupakan warisan
yang mulia, karena dapat menyinari manusia menuju jalan kebaikan dan kebenaran.
Sempurnanya ilmu adalah dengan amal dan mengikuti Sunnah Rasulullah sallallahu
‘alaihi wa sallam dalam akhlak dan ibadah. Sedangkan ahli ilmu (ulama)
adalah pewaris nabi, karena ia menjaga ajaran dan risalah nabi. Demikianlah,
ilmu sebagai pokok dari kenabian yang jika hilang maka akan hilang pula hasil
pokok tersebut.[45]
Konteks Sunnah sebagai sumber ilmu
pengetahuan dalam pembahasan ini sangat jelas diungkapkan oleh Rasulullah sahallallahu
‘alaihi wasallam dalam hadis di atas. Sabda Nabi sahallallahu ‘alaihi
wasallam bahwa para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham tetapi
mewariskan ilmu. Artinya, para nabi tidak mewariskan kemewahan dunia yang
identik dengan dinar dan dirham, dan menghilangkan anggapan bahwa mereka
menginginkan kemewahan dunia tersebut.[46]
Warisan ilmu tersebut bertujuan untuk menjelaskan tentang Islam dan hukum-hukum
yang berlaku.[47]
Menurut Ibn al-Qayyim, hal ini
menunjukkan kesempurnaan para nabi dan besarnya kebaikan mereka terhadap umat,
serta menunjukkan kesempurnaan nikmat Allah subhanahu wata’ala kepada mereka.
Dengan demikian, umat mereka harus menghilangkan penyakit hati yang membuat
seseorang berpikir bahwa para nabi adalah seperti raja yang menginginkan dunia
dan kemewahannya. Karena pada umumnya manusia menginginkan kemewahan dunia
untuk anaknya sepeninggalnya sehingga ia rela bersusah payah membanting tulang
untuk anaknya, maka sabda Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam di
atas menunjukkan bahwa Allah subhanahu wata’ala menghindarkan para nabi dan
rasul dari anggapan semacam itu.[48]
Konteks para nabi mewariskan ilmu
kepada generasi berikutnya juga disebutkan Allah dalam beberapa ayat, di
antaranya adalah:
ô‰s)s9ur$oY÷s?#uäyŠ¼ãr#yŠz`»yJø‹n=ß™ur$VJù=Ïã(Ÿw$s%ur߉ôJptø:$#¬!“Ï%©!$#$uZn=žÒsù4’n?tã9ŽÏWx.ô`ÏiBÍnÏŠ$t7ÏãtûüÏZÏB÷sßJø9$#ÇÊÎÈy^Í‘ururß`»yJøŠn=ß™yŠ¼ãr#yŠ(tA$s%ur$yg•ƒr'¯»tƒâ¨$¨Z9$#$oYôJÏk=ãæt,ÏÜZtBÎŽö©Ü9$#$uZÏ?ré&ur`ÏBÈe@ä.>äóÓx«(¨bÎ)#x‹»yduqçlm;ã@ôÒxÿø9$#ßûüÎ7ßJø9$#ÇÊÏÈ
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah memberi ilmu kepada Daud dan Sulaiman; dan
keduanya mengucapkan: "Segala puji bagi Allah yang melebihkan kami dari
kebanyakan hamba-hambanya yang beriman". Dan Sulaiman telah mewarisi Daud,
dan dia berkata: "Hai manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara
burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar
suatu kurnia yang nyata.” (QS. al-Naml ayat 15-16).
Bagian akhir hadis di atas,
Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang
mengambil warisan Nabi itu (ilmu), maka ia mendapatkan bagian yang banyak”.
Maksudnya adalah bagian yang sempurna, karena tidak ada yang melampaui warisan
kenabian ini,[49]
bagian yang manfaatnya paling besar, paling baik, dan paling langgeng bagi
manusia, dan tidak lain ini adalah ilmu dan agama.[50] Karena
manfaat ilmu dan agama yang dimiliki seseorang lalu diajarkan kepada orang lain
adalah kekal. Apabila terputus dari pemiliknya, maka kebaikannya akan tetap
sampai kepada pemiliknya untuk selamanya, sedangkan hal-hal lainnya akan hilang
dan sia-sia.
a. Ayat-ayat Kauniyyah (Alam Semesta)
Penempatan Alquran dan
Sunnah sebagai sumber utama ilmu dalam perspektif Islam memang sudah semestinya.
Karena keduanya merupakan sumber ideal umat Islam dalam menempuh kehidupan di
dunia dan untuk meraih kebahagiaan akhirat. Namun semua benda dan kejadian di
alam raya merupakan ayat Tuhan, yaitu petunjuk-petunjuk dan simbol-simbol
Tuhan. Atas dasar ini pula,cakupan ilmu dalam konsep Islam meliputi alam
semesta (ayat-ayat kauniyyah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam mengisyaratkan bahwa alam semesta dan segala fenomenanya merupakan
sumber ilmu dalam Islam,seperti terdapat dalama riwayat Imam Muslim dari Anas,
sebagai berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى
شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ، كِلاَهُمَا عَنِ الأَسْوَدِ بْنِ عَامِرٍ، قَالَ
أَبُو بَكْرٍ: حَدَّثَنَا أَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ
سَلَمَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ وَعَنْ
ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ النَّبِىَّصلى الله عليه وسلم مَرَّ بِقَوْمٍ
يُلَقِّحُونَ. فَقَالَ: لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا لَصَلُحَ. قَالَ: فَخَرَجَ شِيصًا
فَمَرَّ بِهِمْ. فَقَالَ: مَا لِنَخْلِكُمْ؟ قَالُوا: قُلْتَ كَذَا وَكَذَا! قَالَ:
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ.[51]
Artinya: “Ab Bakar bin Abi Syaibah dan Amr al-Nâqid menceritakan kepada
kami, keduanya (meriwayatkan) dari al-Aswad bin Amir. Abu Bakar berkata: “Aswad
bin Amir menceritakan kepada kami, Hammad bin Salamah menceritakan kepada kami
dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah, dari Tsabit, dari Anas,
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama berpapasan dengan sekolompok
orang yang sedang mengawinkan pohon kurmanya. Lalu beliau bersabda, “Seandainya
kalian tidak melakukan (itu) niscaya hal itu akan tetap baik.” Anas berkata:
“Lalu muncullah kurma mentah yang buruk kualitasnya. Suatu hari Nabi shallallahu
‘alaihi wasallama berpapasan dengan mereka, beliau bertanya, “Ada apa
dengan kurma kalian?” Mereka menjawab, “Kurmanya buruk kualitasnya padahal Anda
dahulu mengatakan ini dan itu!” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama
bersabda: “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.” (HR. Imam Muslim)
Cuplikan kisah di atas
menggambarkan ketidaktepatan sabda Rasulullah sahallallahu ‘alaihi
wasallam dengan kenyataan. Beliau mengatakan, “Jika kalian
tidak melakukan hal itu (penyerbukan), niscaya baik”. Nyatanya, setelah mereka
meninggalkan penyerbukan itu, keluarlah buah kurma jelek, kering dan jatuh.
Apakah Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam keliru? Pertanyaan ini bisa berimplikasi fatal jika
dipahami dengan mentah-mentah dan sepotong-sepotong, sehingga hadis ini
diartikan sebagai pembenaran Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam
bahwa urusan dunia sepenuhnya diatur menurut selera
masing-masing.
Hadis ini sama sekali
bukan pembenaran terhadap sekularisme. Pemahaman bahwa hadis ini sebagai
penyerahan urusan dunia kepada masing-masing individu bermula dari pemahaman
yang terpotong. Memahami keseluruhan hadits tersebut hanya dari potongan
kalimat antum a’lamu bi amri dunyâkum merupakan pelanggaran terhadap
etika berpikir. Tidak etis, jika kita memahami pernyataan seseorang, apalagi
sabda Nabi, tidak dari konteksnya. Soalnya, konteks merupakan qarinah
yang menuntun kepada apa sebenarnya yang dimaksudkan oleh penuturnya.
Melihat konteks
kalimat, posisi antum a’lamu bi amri dunyâkum dalam hadits tersebut
bukan sebagai tasyri’, tapi i‘tidzar (dalih) Rasulullah sahallallahu
‘alaihi wasallamatas ketidaksesuaian
pandangan beliau dengan kenyataan. Indikasi i’tidzar itu juga didukung
oleh riwayat-riwayat lain yang senada.
Diriwayatkan oleh
Thalhah dari ayahnya: “Aku bersama Rasulullah sahallallahu ‘alaihi
wasallam lewat di antara orang-orang yang sedang memanjat
pohon kurma. “Apa yang mereka lakukan?” tanya Rasul. “Menyerbukkan kurma,”
jawab sahabat. Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallambersabda: “Menurut dugaanku, itu tidak memberi
pengaruh apa-apa”. Sahabat memberitahukan sabda Rasul tersebut kepada para
pemanjat. Mereka meninggalkan pekerjaan itu. Lalu sahabat memberitahukan hal
tersebut kepada Rasul. Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika hal itu berguna, maka lakukanlah. Aku
hanya berpraduga. Jangan kau memegang pradugaku, tapi jika aku menyampaikan
sesuatu dari Allah, maka ambillah. Sesungguhnya aku takkan berdusta atas
Allah.”[52] Hadis
senada juga dari ‘Ikrimah bin ‘Ammar, dalam hal ini Rasulullah sahallallahu
‘alaihi wasallambersabda: “Aku ini
seorang manusia. Jika aku memerintahkan urusan agama kepada kalian, maka
kerjakanlah. Bila aku memerintahkan sesuatu dari pendapatku, maka aku ini
adalah manusia.”[53]
Imam al-Nawawi dalam
syarahnya, mengkhususkan hadis ini hanya dalam urusan duniawi dan mata
pencaharian, bukan dalam urusan syariat dan pemberlakuannya. Urusan duniawi yang
dimaksud adalah hanya berkisar hal-hal yang disabdakan beliau tidak dalam
konteks tayri’ (menjadikan peraturan). Sedang ijtihad beliau
mengenai urusan duniawi dalam konteks tasyri’, wajib dijadikan sebagai
pedoman. Sementara mengawinkan pohon kurma tidak termasuk dalam konteks tasyri’,
tetapi masuk dalam konteks permasalahan duniawi semata dan Rasulullah sahallallahu
‘alaihi wasallam tidak menilai apa yang
disabdakannya terkait dengan pengawinan pohon kurma tersebut sebagai sebuah
syariat.[54]
Para ulama mengatakan
bahwa sabda Nabi sahallallahu ‘alaihi wasallam tentang mengawinkan pohon kurma tersebut bukanlah
sebuah khabar (hadis atau pemberitaan wahyu), melainkan perkataan beliau
yang berdasarkan asumsi atau dugaan pribadi semata. Hal ini sebagaimana
dijelaskan dalam dua hadis di atas.[55]
Selanjutnya, para ulama mengatakan bahwa pendapat dan perkiraan pribadi Nabi sahallallahu
‘alaihi wasallam dalam urusan
penghidupan duniawi itu sama halnya dengan pendapat dan praduga manusia
lainnya. Oleh karena itu, hal seperti ini tidak boleh dianggap mustahil dan
sama sekali bukanlah merupakan cacat. Itu terjadi karena semangat dan ambisi
mereka (para sahabat) selalu terfokus pada akhirat, sehingga kurang perhatian
terhadap urusan duniawi.[56]
Sebaliknya, ahli dunia yang senantiasa berorientasi kepada kehidupan duniawi
dan lalai terhadap akhiratnya.
Al-Hasil, semuanya
sepakat bahwa hadits ini tidak bisa dipahami hanya pada potongan kalimat antum
a’lam bi amri dunyâkum. Tapi, harus dipahami sesuai konteks kalimat. Secara
lafdhiyah danhaliyah, terdapat qarinah yang
mengindikasikan bahwa hadis ini tidak bisa dijadikan dalil pemasrahan urusan
dunia kepada masing-masing orang.
Kasus
penyerbukan kurma, jelas diserahkan kepada ahli kurma. Seperti Nabi sahallallahu
‘alaihi wasallam pernah
bertanya pada Salman Alfarisi dalam strategi perang, yang kemudian Nabi
sahallallahu ‘alaihi wasallam
mengikuti saran membuat parit mengelilingi kota. Makanya sering kali sahabat
bertanya dulu pada Nabi sahallallahu ‘alaihi wasallam, apakah yang dikatakan Nabi sahallallahu
‘alaihi wasallamitu dari
wahyu atau bukan? Kalau wahyu, langsung mereka diam dan taat. Kalau pendapat
pribadi, maka sahabat mengajak Nabi sahallallahu ‘alaihi wasallam diskusi mencari ide yang lebih baik.
Jadi, alam semesta
sebagai sumber ilmu pengetahuan menurut hadis-hadis di atas sudah sangat jelas
pada beberapa potongan kalimat dalam kasus penyerbukan pohon kurma, yaitu:
“Jika hal itu bermanfaat bagi mereka, maka silakan mereka melakukakannya”, dan
“kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.” Hal ini mengindikasikan bahwa
manusia diberi otoritas sepenuhnya untuk memanfaatkan semua yang diciptakan
Allah, baik yang ada di darat dan di laut, bahkan di udara untuk
kemaslahatan dan kesejahteraan hidup manusia itu sendiri. Untuk bisa
memanfaatkan semua itu jelas diperlukan ilmu pengetahuan. Di samping itu,
ungkapan tersebut mengindikasikan pemikiran, pengalaman, penelitian,
percocabaan, dan lain-lain dalam menemukan ilmu pengetahuan yang benar.
Alam semesta, bumi, langit
beserta segala isinya, Allah Subhânahu wa Ta’ala peruntukkan kepada manusia.
Manusia sesuai dengan kehadirannya di muka bumi sebagai khalifah, diberi
wewenang dan hak untuk mengelolah dan memanfaatkannya, untuk kebahagian lahir
dan bathin. Sebagaimana Firman-Nya:
óOs9r&(#÷rts?¨br&©!$#t¤‚y™Nä3s9$¨B’ÎûÏNºuq»yJ¡¡9$#$tBur’ÎûÇÚö‘F{$#x÷t7ó™r&uröNä3ø‹n=tæ¼çmyJyèÏRZotÎg»sßZpuZÏÛ$t/ur3z`ÏBurĨ$¨Z9$#`tBãAω»pg䆆Îû«!$#ÎŽötóÎ/5Où=ÏæŸwur“W‰èdŸwur5=»tGÏ.9ŽÏZ•BÇËÉÈ
Artinya:
“Tidakkah kamu
perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa
yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir
dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (ke-Esaan)
Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.”
(QS. Lukman [31]: 20).
Kreativitas manusia dalam
mengelolah alam semesta, akan melahirkan berbagai inovasi sesuai dengan
tuntunan perkembangan zaman dan pradaban. Variasi dari objek penilitian
terhadap alam tersebut, akan melahirkan ilmu alam, ilmu eksakta (pasti)
termasuk sains dan teknologi. Keberadaan ilmu-ilmu ini, lebih banyak mendekati
kebenaran, dalam arti sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah, sebab yang
dikaji adalah sunnatullah fial-qaum yang bersifat tetap dan pasti.
Dengan demikian, dapat kita
ketahui bahwa sumber ilmu pengetahuan itu berasal dari dua sumber yaitu ayat-ayat
tanziliyah (Alquran dan Sunnah) dan ayat-ayat kauniyah (alam semesta dan
segala fenomenanya). Berbeda halnya dengan pemikiran Barat yang mengandalkan
hanya satu sumber, yakni alam atau universum, dan dalam memahaminya pun hanya
mengandalkan kemampuan indra dan akal, yang jelas kemampuannya sangat terbatas.
Berdasarkan
paparan di atas, seyogyanya pendidikan Islam menempatkan Alquran dan Sunnah
pada posisi yang paling sentral sebagai dasar dan sumber pendidikan Islam. Pendidikan
adalah bagian integral yang tak terpisahkan dari ajaran Islam secara
keseluruhan. Dasar-dasar pendidikan Islam inheren dengan sumber utama ajaran
Islam itu sendiri. Oleh karena itu,
segala kegiatan dan proses pendidikan Islam harus senantiasa berorientasi pada
prinsip dan nilai-nilai Alquran dan Sunnah. Hasan Langgulung seperti dikutip
Azyumardi Azra, menyatakan bahwa Alquran dan sunnah sebagai dasar pendidikan
Islam mengandung beberapa hal positif bagi pengembangan pendidikan, yaitu
antara lain penghormatan dan penghargaan kepada akal manusia, bimbingan ilmiah,
tidak menentang fitrah manusia dan memelihara keutuhan dan kebutuhan sosial.[57]
Senada
dikemukakan Burhanuddin Abdullah, Alquran dan Sunnah sebagai dasar dan sumber
pendidikan Islam selalu relavan dan sesuai dengan situasi dan kondisi perubahan
zaman. Artinya, Alquran dan Sunnah memiliki makna atau tafsir yang kontekstual
dinamis.[58] Oleh
karena itu, para ahli pendidikan Islam dituntut untuk selalu menggali kedua
sumber tersebut untuk mengembangkan pendidikan Islam agar seirama dengan
perkembangan kebudayaan, sains dan teknologi modern.
Di samping itu,
studi emperis terhadap alam dan kehidupan manusia semestinya juga mendapatkan
prioritas yang sama dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan Islam.
Adanya ayat-ayat kauniyah tersebut tidak dapat diabaikan begitu saja
tanpa mendistorsi cakupan makna Alquran dan Sunnah. Studi empirik
interdisepliner dapat memahami kandungan ayat-ayat tanziliyah (Alquran
dan Sunnah) dengan utuh.[59]
3.
Pemanfaatan Ilmu
Pemanfaatan ilmu pengetahuan adalah suatu
keharusan dan bahkan wajib dalam Islam.
Sebab, ilmu yang telah dimiliki akan diminta
pertanggungjawaban tentang pemanfaatannya kelak di akhirat. Sebagaimana ditegaskan
oleh Nabi Muhammad sahallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya sebagi berikut:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمنِ، أَخْبَرَنَا الأَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ، حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنِ عَيَّاشٍ
عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ سَعِيْدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ جُرَيْجٍ عَنْ أَبِي بَرْزَةَ
الأَسْلَمِيِّ، قَالَ: قَالَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَزُوْلَ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيْمَ فَعَلَ،
وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَ أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيْمَ
أَبْلاَهُ[60]
Artinya: “Abdullah bin Abdurrahman menceritakan
kepada kami, al-Aswad bin ‘Amir mengabarkan kepada kami, Abu Bakar bin ‘Ayyâs
menceritakan kepada kami dari al-‘A’masy, dari Sa’id bin Abdullah bin Juraij,
dari Abu Barzah al-Aslamiy, dia berkata: Rasulullah sahallallahu
‘alaihi wasallam
bersabda: “Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba
pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang
umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya.” (al-Tirmidzi menyatakan bahwa hadis ini
hasan-shahih. Sedangkan menurut Husein Salim Asad hadis ini shahih dengan sanad
yang hasan, karena terdapat Abu Bakar bin ‘Ayyâs, sebagimana diriwayatkan
al-Dârimiy).
Hadis di atas
meinformasikan tentang empat hal yang harus kita pertanggungjawabkan kepada
Allah Subhânahu Wa Ta’ala pada hari kiamat nanti, yaitu
umur, ilmu, harta, dan tubuh. Semua nikmat ini dipertanggungjawabkan tentang
pemanfaannya.
Ilmu yang dipertanggungjawabkan
dalam konteks bahasan ini mencakup semua yang bermanfaat bagi manusia seperti
meliputi ilmu agama, ilmu alam, ilmu sosial dan lain-lain. Ilmu-ilmu ini jika
dikembangkan dengan benar dan baik maka memberikan dampak yang positif bagi
peradaban manusia. Misalnya, perkembangan sains akan memberikan kemudahan dalam
lapangan praktikal manusia.
Hadis di atas menginginkan agar
antara ilmu dan amal selaras. Barangsiapa berilmu maka dia harus berbuat, baik
itu ilmu yang berhubungan dengan masalah ibadah maupun ilmu-ilmu yang lain.
Tidak tidak bermanfaat ilmu yang tidak diamalkan. Amal merupakan buah dari
ilmu, jika ada orang yang mempunyai ilmu tapi tidak beramal maka seperti pohon
yang tidak menghasilkan manfaat bagi penanamnya. Begitu pula, tidak ada
manfaatnya ilmu fikih yang dimiliki seorang fakih jika dia tidak mengubahnya
menjadi perbuatan.
Padahal, kaedah Islam menekankan bahwa
ilmu senantiasa menyeru kepada amal perbuatan. Keduanya tidak ubahnya sebagai
dua benda yang senantiasa bersama dan tidak terpisah satu sama lain. Jika amal
memenuhi seruan ilmu maka umat menjadi baik dan berkembang.Namun jika tidak,
maka ilmu akan meninggalkan amal perbuatan, dan dia akan tetap tinggal tanpa
memberikan manfaat apa pun. Jika demikian nilai apa yang dimiliki seorang
manusia yang mempunyai segudang teori dan pengetahuan namun tidak
mempraktikkannya dalam dunia nyata. Kondisi seperti ini bisa menjadi bumerang
dan bahkan dimurkai Allah, sebagai firman-Nya:
$pkš‰r'¯»tƒtûïÏ%©!$#(#qãZtB#uäzNÏ9šcqä9qà)s?$tBŸwtbqè=yèøÿs?ÇËÈuŽã9Ÿ2$ºFø)tBy‰YÏã«!$#br&(#qä9qà)s?$tBŸwšcqè=yèøÿs?ÇÌÈ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu
yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu
mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. al-Shaffat [61]: 2-3).
Ayat di atas menjelaskan bahwa ilmu
dengan amal sejatinya senantiasa bergandengan. Makna ilmu diungkapkan dalam
bentuk kata iman pada banyak tempat, dengan pengertian bahawa iman adalah ilmu
atau keyakinan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammenjelaskan
bahwa ilmu digunakan untuk bertaqwa kepada Allah Subhânahu Wa Ta’ala dan
menggapai rahmat-Nya, sebagai berikut:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمعِيْلَ، حَدَّثَنَا أَبُو نَعِيْمٍ، حَدَّثَنَا عَبَادَةُ بْنُ
مُسْلِمٍ، حَدَّثَنَا يُوْنُسُ بْنُ خَبَّابٍ عَنْ سَعِيْدِ الطَّائِيِّ أَبِي الْبَخْتَرِيِّ
أَنَّهُ قَالَ: حَدَّثَنِي أَبُو كَبْشَةَ الْأَنْمَارِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: ثَلاَثَةٌ أُقْسِمُ عَلَيْهِنَّ
وَأُحَدِّثُكُمْ حَدِيْثًا فَاحْفَظُوْهُ، قَالَ: مَانَقَصَ مَالُ عَبْدٍ مِنْ صَدَقَةٍ،
وَلَا ظَلِمَ عَبْدٌ مَظْلَمَةً فَصَبَرَ عَلَيْهَا إِلَّا زَادَهُ اللهُ عِزًّا،
وَلَا فَتَحَ عَبْدٌ بَابَ مَسْئَلَةٍ إِلاَّ فَتَحَ اللهُ عَلَيْهِ بَابَ فَقْرٍ
أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا، وَأُحَدِّثُكُمْ حَدِيْثًا فَاحْفَظُوْهُ، قَالَ: إِنَّمَا
الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ: عَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي
فِيْهِ رَبَّهُ،وَيَصِلُ فِيْهِ رَحِمَهُ، وَيَعْلَمُ للهِ فِيْهِ حَقًّا، فَهذَا
بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ. وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالاً،
فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُوْلُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ
فَهُوَ نِيَّتُهُ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ. وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ
عِلْمًا، فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِى فِيْهِ رَبَّهُ،
وَلَا يَصِلُ فِيْهِ رَحِمَهُ، وَلَا يَعْلَمُ للهِ فِيْهِ حَقًّا، فَهذَا بِأَخْبَثِ
الْمَنَازِلِ. وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللهُ مَالًا وَلَا عِلْمًا فَهُوَ يَقُوْلُ:
لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ فِيْهِ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ نِيَّتُهُ فَوِزْرُهُمَا
سَوَاءٌ.[61]
Artinya: “Muhammad bin Ismail menceritakan
kepada kami, Abu Na’im menceritakan kepada kami, Ubadah bin Muslim menceritakan
kepada kami, Yunus bin Khabbab menceritakan kepada kami dari Sa’id al-Thâiy Abu
al-Bakhtariy, ia berkata: Abu Kabsyah al-Anmariy mencerikan kepadaku bahwa ia
mendengar Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ada tiga perkara yang aku
bersumpah atasnya dan kuberitahukan kepada kalian suatu hadis, maka peliharalah
itu, beliau bersabda: “Tidaklah harta seseorang itu akan menjadi berkurang
sebab disedekahkan, tidaklah seorang hamba dianiaya dengan suatu penganiayaan
dan ia bersabar dalam menderitanya melainkan Allah menambahkan kemuliaan
padanya, dan tidaklah seorang hamba itu membuka pintu permintaan, melainkan
Allah membuka untuknya pintu kemiskinan, atau sejenisnya." Rasulullah sahallallahu ‘alaihi
wasallam melanjutkan, dan kuberitahukan kepada
kalian suatu hadis, maka peliharalah itu, beliau bersabda: “Sesungguhnya di
dunia ini ada empat golongan manusia. Pertama, manusia yang diberi oleh
Allah harta dan ilmu. Kemudian (harta dan ilmu tersebut) dia gunakan untuk
bertakwa kepada Tuhannya dan berusaha untuk menggapai rahmat-Nya. Dia tahu
bahwa dalam harta dan ilmu tersebut Allah memiliki hak. Maka, orang ini
mendapatkan tempat yang paling mulia (di sisi Tuhannya). Kedua, manusia
yang diberi oleh Allah ilmu, namun tidak diberi harta. Orang ini memiliki niat
yang suci, dan ia berkata, ‘Andai saja aku memiliki harta maka aku akan gunakan
seperti si fulan (disedekahkan dan digunakan untuk kebaikan).’ Maka atas
niatnya ini ia mendapatkan pahala seperti orang yang menafkahkan hartanya dalam
kebaikan. Ketiga, manusia yang diberi oleh Allah harta, namun tidak
diberi ilmu. Dia menggunakan hartanya tanpa disertai ilmu dan dia tidak bertakwa kepada Tuhannya (dia bersedekah
untuk pamer dan riya). Dia tidak tahu bahwa dalam harta tersebut Allah memiliki
hak. Maka, orang seperti ini mendapatkan tempat yang paling hina. Keempat, manusia
yang tidak diberi oleh Allah harta dan ilmu. Dia berkata, ‘Andai saja aku
memiliki harta, maka akan aku gunakan seperti si fulan (untuk maksiat, pamer,
dan riya), maka dengan niatnya ini dia akan mendapatkan imbalan sama seperti
orang yang didambakannya.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad. Tirmidzi menyatakan hadis
ini hasan shahih, sementara al-Albaniy menyatakan shahih).
Kelompok pertama dalam hadis di atas menduduki derajat
tertinggi dan paling mulia di sisi Allah Subhânahu wa Ta’ala. Posisi ini diperoleh dengan
harta dan ilmu yang dipergunakan untuk beribadah kepada Allah semata. Allah
Subhânahu wa
Ta’ala telah memberikannya harta dengan cara halal, ilmu yang bermanfaat,
dan petunjuk untuk beramal sesuai dengan ilmu yang diketahuinya. Kelompok
pertama ini bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu disertai dengan niat yang
ikhlas, kemudian mengaplikasikan ilmu yang dimilikanya. Ilmu membutuhkan sebuah
amal, sebagaimana amal menginginkan kesuksesan. Harta tidak akan bermanfaat,
kecuali dinafkahkan ke jalan yang benar. Begitu pula dengan ilmu, tidak akan
memberikan manfaat kecuali diamalkan dan dan diaplikasikan untuk kemaslahatan.
Berdasakan konteks bahasan tulisan ini, orang yang diberi
oleh Allah Subhânahu
wa Ta’ala anugerah ilmu pengatahuan dan mengamalkannya menempati posisi
yang paling mulia di sisi Tuhannya. Derajat tinggi ini diperoleh karena
pemanfaatan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh untuk beribadah kepada Allah Subhânahu wa Ta’aladalam
arti yang seluas-luasnya.
Dengan demikian, ilmu baru bisa disebut sebagai ilmu jika
diamalkan. Sebab, tidak ada ilmu yang berguna tanpa amal, dan tidak ada amal
yang bermanfaat tanpa ilmu. Maka, tujuan pemanfaatan ilmu pengetahuan adalah
untuk kesejahteraan, ketenangan, dan ketenteraman umat manusia, bukan
sebaliknya untuk mengahancurkan kehidupan dan melawan Tuhan.
Implikasinya terhadap pendidikan Islam adalah agar selalu
menanamkan kepada parastake holder bahwa usaha untuk mempelajari,
menggali, dan mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dalam rangka pengabdian
kepada Allah Subhânahu
wa Ta’ala sebagai Khaliq (Pencipta) ilmu pengetahuan.
C. SIMPULAN
Berdasarkan
uraian hadis yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada
dasarnya hadis Nabi cukup banyak yang menjelaskan hakikat dan sumber ilmu
pengetahuan serta pemanfaatannya.
Hakikat ilmu pengetahuan dalam
Islam adalah rangkaian aktivitas manusia dengan prosedur ilmiah, baik melalui
pengamatan, penalaran, maupun intuisi. Rangkaian aktivitas tersebut akan
menghasilkan pengetahuan yang sistematis mengenai alam serta isinya. Ilmu
pengetahuan dalam konsep Islam dapat mengantarkan manusia pada pemilik rahasia
alam raya ini, bukan sekadar ilmu untuk ilmu atau ilmu bebas nilai, melainkan ilmu
sarat nilai. Selain itu, juga mengandung nilai-nilai logika, etika,
estetika, hikmah, rahmah, dan petunjuk bagi kehidupan manusia di dunia dan
akhirat.
Secara garis besar, sumber ilmu pengetahuan
itu diklasifikasikan menjadi dua, yakni ayat-ayat tanziliyyah (Alquran
dan Sunnah) dan ayat-ayat kauniyyah (alam semesta dengan segala
fenomenanya). Ayat-ayat tanziliyyah diperoleh manusia melalui
perantaraan utusan Allah, yaitu para Nabi dan Rasul Allah.Sedangkan ayat-ayat kauniyyah
diperoleh manusia melalui usahanya mempelajari ciptaan Allah. Kedua sumber ilmu
ini bersifat komplementer, yakni saling melengkapi. Pemisahan keduanya
berakibat munculnya dualisme keilmuan, sebagaimana ditunjukkan oleh sejarah,
dan berbahaya bagi masa depan peradaban manusia.
Islam menekankan bahwa ilmu senantiasa
menyeru kepada amal perbuatan. Keduanya tidak ubahnya sebagai dua benda yang
senantiasa bersama dan tidak terpisah satu sama lain. Jika amal memenuhi seruan
ilmu maka umat menjadi baik dan berkembang. Ilmu dalam Islam baru bisa disebut
sebagai ilmu jika diamalkan,karena tidak ada ilmu yang berguna tanpa amal, dan
tidak ada amal yang bermanfaat tanpa ilmu. Maka, tujuan pemanfaatan ilmu
pengetahuan adalah untuk kesejahteraan, ketenangan, dan ketenteraman umat
manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Âbâdiy, Abu al-Thayyib
Muhammad Syams al-Haqq al-‘Azhîm.‘Aun al-Ma’bûd: Syarh Suanan Abi Daud, Juz X, ta’lîq
al-Hâfizh Ibn Qayyim al-Jauziyyah. Madinah: al-Maktabah
al-Salafiyyah, 1968.
Abdullah,Burhanuddin.Pendidikan
Islam Sebagai Sebuah Disiplin Ilmu.Yogyakarta: Pustaka Prisma, 2010.
al-Abrâsyiy,Muhammad Athiyyah.al-Tarbiyah al-Islâmiyyah wa Falasifatuha.Beirut: Dâr
al-Fikr, 1969.
Ali,Muhammad Daud.Pendidikan
Agama Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010.
al-Andalûsiy, al-Imâm
al-Hâfiz Abu Umar Yusuf bin Abdullah Ibn Muhammad bin Abd
al-Barr al-Namiriy.al-Istidzkâr, Juz XXVI. Beirut: Dâr Qutaibah li al-Thaba’ wa al-Nasyr, 1993.
al-‘Asqalâniy, al-Hâfizh
Ahmad bin Ali bin Hajar.Fath al-Bâriy bi Syarh Shahîhal-Bukhâriy, jilid I, tahqîq
Abu Qutaibah Nazhar Muhmmad al-Faryâbiy. t.t.: Dâr Thaibah, t.t.
al-Atsîn,Musa Syâhîn.Fath al-Mun’im: Syarh Shahîh Muslim, juz
IX. Kairo: Dâr al-Syurûq,
2002.
al-Azadiy, al-Imâm al-Hâfizh Abu Daud
Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sijastâniy.Sunan
Abu Daud, Juz IV,I’dâd wa Ta’lîq ‘Izzat ‘Ubaid al-Da’âs dan Adil al-Sayyid. Beirut: Dâr
Ibn Hazam, 1997.
Azra,Azyumardi.Pendidikan
Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru.Jakarta: Logos wacana
Ilmu, 2002.
al-Baghdâdiy,
al-‘Allâmah Abi Fadl Syihâb al-Dîn al-Sayyid Mahmûd al-Alûsiy.Rûh al-Ma’ânî
fi al-Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa al-Sab’i al-Matsâni, juz XXI.Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabiy,
t.t.
al-Bâjiy,al-Qâdhiy
Abu al-Walîd Sulaiman bin Khalaf bin Sa’ad bin Ayyub.al-Muntaqâ Syarh Muwathha’ Mâlik, juz
VIII, tahqîq Muhammad Abd al-Qâdir
Ahmad Atha’. Beirut: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1999.
al-Balansiy, al-Syaikh
al-‘Allâmah al-Faqîh
Abu al-Hasan Ali bin Khlaf bin Abdul Malik bin Baththâl al-Bakriy al-Qurthubiy.Syarh Shahîh al-Bukhâriy , juz I, tahqîq Abu Tamim Yasir bin Ibrahim. Riyadh: Maktabah
al-Rusyd, t.t.
al-Bukhâriy, al-Imâm
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. al-Jâmi’ al-Shahîh: al-Musnad min Hadîts Rasûillah Shallallâh ‘Alaih wa Sallam, juz I. Kairo: al-Mathba’ah al-Salafiyyah wa Maktabatuha, 1400 H.
al-Dârimiy,al-Imâm al-Hâfizh
Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman bin al-Fadhl bin Bahram.Sunan al-Dârimiy, juz I, tahqîq Husein Salim Asad al-Dârâniy. Riyadh: Dâr al-Mughniy li al-Nasyr
wa al-Tauzî’, 2000.
Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam.Ensiklopedi Islam, Jilid II. Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1997.
al-Fârisiy, ‘Alâ’
al-Dîn Ali bin Balbân.ShahîhIbn Hibbân bi Tartîb Ibn Balbân, Juz I,
tahqîq Syu’aib al-Arnaûth.Beirut:
Muassah al-Risâlah li al-Thaba’ wa al-nasyr, 1993.
al-Hasani,Muhammad
al-Maliki.Kemuliaan dan Kesempurnaan Pribadi Muhammad SAW, terj.
Muhammad Al Mighwar. Bandung: Pustaka Pelajar, 2006.
Ibn
Zakariya, Abu al-Husain Ibn Fâris.Mu’jam Maqâyîs al-Lughah, Juz II.Beirut:
Dâr al-Fikr, 1979.
al-Isfahaniy,
al-Raghib.Mu’jam Mufradat al-Fazh al-Qur’an.Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.
al-Jauziyyah, al-‘Allâmah al-Imâm Syaikh al-Islâm Syams
al-Dîn Abu Abdullah Muhammad bin Abu Bakar Ibn Qayyim.al-‘Ilm Fadhluhu wa
Syarafuhu. Riyadh: Majmû’ah al-Tuhaf al-Nafâis al-Dauliyyah, 1996.
al-Jazairiy, Abu Bakar bin Jabir.Aisar at-Tafâsîr li al-Kalâm al-`Aliy
al-Kabîr, jilid IV. Madinah Al Munawwarah: Maktabah al ‘Ulum al Hikam, 2003.
al-Khandalawi,Maulana
Muhammad Zakariyya.Himpunan Fadhilah Amal, terj. A. Abdurrahman Ahmad.
Yogyakarta: Ash-Shaff, 2003.
al-Khathîb,
Muhammad ‘Ajjâj.Ushûl al-Hadîts Ulûmuhu wa Mushthalahuhu.Beirût: Dâr
al-Fikr,1989.
al-Kirmaniy, al-Imâm al-‘Allâmah
Syamsuddin Muhammad bin Yusuf bin Ali.al-Kawâkib al-Durariy fi Syar al-Bukhâriy, juz II.
Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabiy,
1981.
Langulung, Hasan.Asas-asas
Pendidikan Islam.Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2003.
Ma’lûf, Lois.al-Munjid fi al-Lughah wa al-‘Alam.Beirut:
Dâr al-Masyrûq,
1997.
Makbuloh,Deden.Pendidikan
Islam:Arah Baru Pengembangan Ilmu dan Kepribadian di Perguruan Tinggi.Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2011.
Malik bin Anas, al-Imâm.al-Muwaththa’, jilid II, biriwayah Yahya bin
Yahya al-Laitsiy al-Andalûsiy. Beirut: Dâr al-Gharb al-Islâmiy,
1997.
al-Maliky,Muhammad Abd al-Baqi ibn Yusuf al-Zarqani
al-Mishry al-Azhariy.Syarh al-Zarqâniy ‘ala al-Muwaththa’ al- Imam Malik, juz IV. t.t.: al-Mathba’ah al-Khairiyyah, t.t.
al-Maqdisiy,al-Hâfizh Dhiyâ’
al-Dîn Muhammad bin Abd al-Wâhid.Fadhâil al-‘A’mâl, Juz IV,
tahqîq Ghassân
Isa Muhammad Hermâs. Beirut: Muassasah
al-Risâlah, 1987.
Munawwir,Ahmad Warson.Munawwir:
Kamus Arab-Indonesia.Surabaya: Pustaka Progressif, 2002.
al-Naisâbûriy, al-Imâm al-Hâfizh Abu Abdillah
al-Hâkim.al-Mustadrak ‘alâ al-Shahîhaini, juz I. Kairo: Dâr al-Haramain li al-Thaba’ wa al-Nasyr wa al-Tauzî’, 1997.
al-Naisâbûriy, al-Imâm al-Hâfizh Abu al-Husain
Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairiy.Shahîh Muslim, jilid I. Beirut: Dâr al-Fikr, 1992.
_______.Shahîh Muslim, jilid II. Beirut: Dâr al-Fikr, 1992.
al-Nawawiy,al-Imâm Muhyiddin Abu Zakaria Ibn Syaraf.Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawawiy, juz VII. Kairo: al-Mathba’ah al-Mishriyyah bi al-Azhâr, 1929.
_______.Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawawiy, Juz XV. Kairo: al-Mathba’ah al-Mishriyyah bi al-Azhâr, 1929.
al-Nuhâs,
al-Imâm Abu Ja’far.Ma’âni al-Qur’ân, juz V, tahqîq ‘Ali al-Shâbûniy.
Makkah: al-Jâmi’ah Umm al-Qurâ,1988.
al-Qardhâwiy,Yusuf.al-Rasûl wa al-‘Ilm.Kairo:
Dâr al-Shahwah, 2001.
al-Qazwîniy, al-Imâm
al-Hâfizh Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Ibn Mâjah.Sunan Ibn Mâjah, juz II,
tahqîq Muhammad Fuad Abdul Baqiy. Beirut: Dâr Ihyâ al-Kutub
al-‘Arabiyyah, t.t.
Qomar,Mujamil.Epistemologi
Pendidikan Islam Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik.Jakarta:
Erlangga, 2005.
Sa’diy,Abdurrahman bin Nashir bin Abdullah bin Nashir bin Muhammad Alu.Bahjah
Qulûb al-Abrâr wa Qurratu ‘Uyûn al-Akhyâr fî Syarhi Jawâmi’ al-Akhyâr.
Saudi Arabia: Maktabah al-Rusyd, 2002.
al-Sahhâranfûriy, al-Syekh Khalil
Ahmad.Badzl al-Majhûd fi Halli Abi
Daud, juz XV. Beirut: Dâr al-Fikr,
t.t.
Shihab, M. Quraish.Wawasan
al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat.Jakarta: Mizan,
1998.
Supadie,Didiek Ahmad. ed. Pengantar
Studi Islam.Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011.
al-Syâfi’iy,
Sulaiman Ibn Umar al-Ajiliy.al-Futûhât al-Ilâhiyyah, Juz II.Beirut: Dâr
al-Fikr, t.t.
al-Syibâniy, al-Imâm
al-Hâfizh Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Asad.Musnad
al-Imâm Ahmad bin Hambal, juz VII, tahqîq Syu’aib al-Arnaûth. Beirut: Muassah al-Risâlah li al-Thaba’ wa al-nasyr, 1999.
_______.Musnad al-Imâm Ahmad bin Hambal, juz XXIX, tahqîq Syu’aib al-Arnaûth. Beirut: Muassah al-Risâlah li al-Thaba’ wa al-nasyr, 1999.
al-Thabariy,
Abu Ja’far Muhammad bin Jarîr.Tafsîr al-Thabariy Jâmi’ al-Bayân an Ta’wîl Ây
al-Qur’ân, jilid XVII, tahqîq Abdullah bin Abdu al-Muhsîn al-Tirkiy. Kairo:
Markaz al Buhûts wa al-Dirâsât al-‘Arabiyyah wa al-Islâmiyyah bi Dâr Hijr
al-Duktûr Abd al-Sindi Hasan Yamâmah, 2001.
Tim Penyusun.Majma` al Lughah
al-Arabiyyah, al Mu`jam al-Wasith, jilid II. Kairo: 1980.
al-Tirmidziy, al-Imâm al-Hâfizh Abu Isa Muhammad
bin Isa bin Saurah.al-Jâmi’ al-Shahîh wa Huwa
Sunan al-Tirmidziy, juz V, tahqîq Ibrahim ‘Uthwah ‘Iwadh. Mesir: Syirkah Maktabah wa
Mathba’ah Musthafâ al-Bâbiy al-Halabiy wa Awlâduh, 1975.
_______. Sunan
al-Tirmidziy, biahkâm al-‘Allâmah al-Muhaddits Muhammad Nâshir al-Dîn
al-Albâniy. Riyadh: Maktabah al-Ma’ârif li al-Nasyr wa al-Tauzi’, t.t.
_______.al-Jâmi’ al-Shahîh wa Huwa Sunan al-Tirmidziy, juz
IV, tahqîq Ibrahim ‘Uthwah ‘Iwadh. Mesir: Syirkah Maktabah wa
Mathba’ah Musthafâ al-Bâbiy al-Halabiy wa Awlâduh, 1975.
al-Yahshabiy,al-Imâm al-Hâfizh Abu al-Fadhl ‘Iyâdh bin Musa bin‘Iyâdh.Ikmâl al-Mu’lim bi Fawâid Muslim, juz
VII, tahqîq Yahya Ismail. al-Manshurah: Dâr al-Wafâ
li al-Thaba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî’,
1998.
al-Zamakhsyariy,
Abu al-Qâsim bin Mahmûd bin Umar.al-Kasysyâf ‘an Haqâiq Ghawâmidh al-Tanzîl
wa ‘Uyûn al-’Aqâwîl fi Wujûh al-Ta’wîl, juz V. Riyadh: Maktabah
al-‘Ubaikan, 1998.
[1] Penulis adalah Dosen
Jurusan Pendidikan Bahasa Arab STIT Darul Hijrah Martapura
[3]Muhammad Athiyyah al-Abrâsyiy, al-Tarbiyah
al-Islâmiyyah
wa Falasifatuha (Beirut: Dâr
al-Fikr, 1969), h. 35.
[4]al-Imâm Abu Abdullah Muhammad
bin Ismail al-Bukhâriy
(selanjutnya disebut Imam al-Bukhari), al-Jâmi’ al-Shahîh: al-Musnad min Hadîts Rasûillah
Shallallâh
‘Alaih wa Sallam, juz I (Kairo: al-Mathba’ah al-Salafiyyah wa Maktabatuha,
1400 H), h. 86.
[5]al-Hâfizh Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqalâniy (selanjutnya
disebutIbn Hajar al-‘Asqalâniy),
Fath al-Bâriy
bi Syarh Shahîhal-Bukhâriy, jilid I, ditahqîq oleh Abu
Qutaibah Nazhar Muhmmad al-Faryâbiy (t.t.: Dâr Thaibah, t.t.), h. 316.
[7]Lois Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah
wa al-‘Alam, (Beirut: Dar al-Masyruq, 1997), h. 527. Lihat Ahmad Warson
Munawwir, Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif,
2002), cet., ke-20, h. 966.
[8]Dewan Redaksi Ensiklopedi
Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), cet.
Ke-4, h. 201.
[9]Hasan Langulung,Asas-asas
Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2003), h. 336.
[10]Tim penyusun, Majma` al Lughah al-Arabiyah, al
Mu`jam al-Wasith, jilid II (Kairo: 1980), h. 624.
[11]Kata “ilmu” dan “pengetahuan” atau “ilmu pengetahuan”
dalam bahasa Indonesia terkadang dipergunakan sebagai arti dari kata ‘ilm dalam
bahasa Arab. Sedangkan untuk kata ma’rifah dari bahasa Arab seringkali
hanya diterjemahkan sebagai “pengetahuan”. Dalam terjemahan yang menyangkut
definisi, kata ‘ilm diterjemahkan sebagai “ilmu” atau “ilmu pengetahuan”
(science) sedangkan kata ma’rifah sebagai “pengetahuan biasa’ atau
singkatnya “pengetahuan” (knowledge). Mengenai kata fahm dan fiqh,
biasanya kedua kata tersebut diterjemahkan sebagai “pemahaman”. Untuk
membedakan keduanya, di sini kata fahm diterjemahkan sebagai “pemahaman”
sedangkan kata fiqh diterjemahkan sebagai “pengertian”, yang maksudnya
adalah “pemahaman yang lebih mendalam”.Lihat: Abu Bakar Jabir Al-Jazairy, Ilmu
dan ulama, (Jakarta: Pustaka Azam, 2001), h. 19.
[12]Imam al-Bukhari, al-Jâmi’ al-Shahîh, juz I, h. 42;
al-Imâm al-Hâfizh Abu al-Husain
Muslim bin al-Hajjâj
al-Qusyairiy al-Naisâbûriy (selanjutnya disebut
Imam Muslim), Shahîh
Muslim, jilid I
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1992), h. 360; al-Hâfizh Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Ibn Mâjah al-Qazwîniy (selanjutnya disebut
Ibn Majah), Sunan Ibn Mâjah,
juz II, tahqîq
Muhammad Fuad Abdul Baqiy (Beirut: Dâr
Ihyâ al-Kutub
al-‘Arabiyyah, t.t.), h. 1407; al-Imâm al-Hâfizh Abu Abdillah Ahmad
bin Hanbal bin Hilal bin Asad al-Syibaaniy, Musnad al-Imâm Ahmad bin Hambal, juz
VII, tahqîq Syu’aib
al-Arnaûth (Beirut:
Muassah al-Risâlah
li al-Thaba’ wa al-nasyr, 1999), h. 183; lihat ‘Alâ’ al-Dîn
Ali bin Balbân al-Fârisiy, ShahîhIbn Hibbân bi Tartîb Ibn Balbân, Juz I, tahqîq Syu’aib al-Arnaûth (Beirut: Muassah
al-Risâlah li
al-Thaba’ wa al-nasyr, 1993), h. 292.
[13]al-Syaikh al-‘Allâmah al-Faqîh Abu al-Hasan Ali bin
Khlaf bin Abdul Malik bin Baththâl
al-Bakriy al-Qurthubiy al-Balansiy (selanjutnya disebut Ibn Baththal), Syarh
Shahîh
al-Bukhâriy ,
juz I, tahqîq Abu
Tamim Yasir bin Ibrahim (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, t.t.), h. 158; lihat Ibn
Hajar al-‘Asqalâniy,
Fath al-Bâriy,
jilid I, h.
294.
[14]Para ulama membagi hasad menjadi dua macam, yaitu
hasad hakiki dan hasad majazi. Hasad hakiki adalah
seseorang berharap nikmat orang lain hilang. Hasad seperti ini diharamkan
berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama) dan adanya dalil tegas yang
menjelaskan hal ini. Sedangkan yang dimaksudkan dengan hasad majazi
adalah ghibthah,yaitu berangan-angan agar mendapatkan nikmat seperti
yang ada pada orang lain tanpa mengharapkan nikmat tersebut hilang. Lihat al-Imâm Muhyiddin Abu Zakaria
Ibn Syaraf al-Nawawiy (selanjutnya disebut al-Nawawiy),Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawiy,
juz VII (Kairo: al-Mathba’ah al-Mishriyyah bi al-Azhâr, 1929), h. 97.
[15]al-Imâm al-‘Allâmah Syamsuddin Muhammad
bin Yusuf bin Ali al-Kirmaniy (selanjutnya disebut al-Kirmaniy), al-Kawâkib al-Durariy fi Syar
al-Bukhâriy,
juz II (Beirut: Dâr
Ihyâ al-Turâts al-‘Arabiy, 1981), h.
41.
[16]Hikmah berasal dari bahasa
Arab, yaitu “al-hikmah” merupakan ism al-mashdar dari kata kerja
“hakama” yang berarti menahan atau melarang, yakni melarang dari
kezaliman. Kata al-hikmah juga berarti hidayah, sebab menahan kezaliman
itu merupakan hidayah dari Allah Swt. Lihat Abu al-Husain Ibn Fâris Ibn Zakariya, Mu’jam Maqâyîs
al-Lughah, Juz II(Beirut: Dâr al-Fikr, 1979), h. 91.Kata hakama
juga berarti melarang untuk suatu tujuan kebaikan, sehingga dikatakan Luqman
mendapat al-hikmah berarti dia memberi peringatan dan menyampaikan semua
hikmah dengan sifat bijak yang
dimilikinya. Lihat al-Raghib
al-Isfahaniy, Mu’jam Mufradat al-Fazh al-Qur’an, (Beirut: Dâr al-Fikr,
t.t.), h. 126. Jadi, hikmah secara harfiahberarti ucapan yang
sesuai dengan kebenaran, falsafat, perkara yang benar dan lurus, keadilan,
pengetahuan, dan lapang dada. Lihat Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid II (Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1997), h. 112.
[17]Abu Ja’far Muhammad bin Jarîr al-Thabariy (selanjutnya disebut
al-Thabariy),Tafsîr al-Thabariy Jâmi’ al-Bayân an Ta’wîl Ây al-Qur’ân,
jilid XVII,tahqîq olehAbdullah bin Abdu al-Muhsîn al-Tirkiy (Kairo: Markaz al
Buhûts wa al-Dirâsât al-‘Arabiyyah wa al-Islâmiyyah bi Dâr Hijr al-Duktûr Abd
al-Sindi Hasan Yamâmah, 2001), h. 546,
[18]al-‘Allâmah Abi Fadl Syihâb
al-Dîn al-Sayyid Mahmûd al-Alûsiy al-Baghdâdiy (selanjutnya disebut al-Alûsiy),
Rûh al-Ma’ânî fi al-Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa al-Sab’i al-Matsâni, juz XXI(Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts
al-‘Arabiy, t.t.), h. 83.
[19]al-Thabariy, Jâmi’ al-Bayân,
jilid XVII, h. 545.
[20]Imâm Abu Ja’far al-Nuhâs, Ma’âni
al-Qur’ân, juz V,tahqîq‘Ali al-Shâbûniy (Makkah: al-Jâmi’ah Umm
al-Qurâ,1988), h. 282.
[21]Abu al-Qâsim bin Mahmûd bin Umar
al-Zamakhsyariy (selanjutnya disebut al-Zamakhsyariy), al-Kasysyâf an Haqâiq
Ghawâmidh al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-’Aqâwîl fi Wujûh al-Ta’wîl, juz V (Riyadh:
Maktabah al-‘Ubaikan, 1998), h. 11.
[22]al-Alusiy, Rûh al-Ma’ânî,juz XXI, h. 83.
[23]Sulaiman Ibn Umar al-Ajiliy
al-Syâfi’iy, al-Futûhât al-Ilâhiyyah,Juz II(Beirut: Dâr al-Fikr, t.t),
h. 403.
[24]Lihat QS. al-Baqarah [2/87] ayat 269.
[25]Hasad terdiridari dua macam, yaituhasadmadzmûm
(tercela) dan hasadmamdûh (terpuji) dalam setiap keadaan. Hasad madzmûm
adalah mengharapkan hilangnya nikmat dari orang lain, baik dalam urusan-urusan
agama atau dalam urusan-urusan keduniawiaan, baik terbesit dalam hati atau
dalam bentuk usaha menghilangkan kenikmatan itu. Inilah hasad yang dilarang
karena ia merupakan sifat tercela. Sedangkan yang dimaksud dengan hasadmamdûh
adalah sebagaimana pengertian hasad dalam hadits tersebut di atas, dan hasad
jenis ini masuk dalam bab Tamannîal-Khair (mengharapkan kebaikan). Lihat
Abdurrahman bin Nashir bin Abdullah bin Nashir bin Muhammad Alu Sa’di, Bahjah
Qulûb al-Abrâr wa Qurratu ‘Uyûn al-Akhyâr fî Syarhi Jawâmi’ al-Akhyâr(Saudi
Arabia: Maktabah al-Rusyd, 2002), h. 203.
[26]Ilmu pengetahuan juga
diperoleh melalui hidayah Allah Subhânau wa Ta’ala, yaitu berupa firasat, intuisi,
dan sejenisnya dengan penyucian hati. M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an:
Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat(Jakarta: Mizan, 1998), hlm.
438.Berdasarkan proses, ilmu seperti ini disebut juga dengan ilmu laduni, yakni
ilmu yang diperoleh tanpa upaya seperti yang terjadi pada kasus Nabi Khaidir.
Lihat Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2010), h. 394.
[27]al-Hâfizh Abu al-Qâsim Sulaiman bin Ahmad
al-Thabrâniy, al-Mu’jam
al-Kabîr, juz
IX, tahqîq Hamdi
Abdul Majid al-Salafiy (Kairo: Maktabah Ibn Taimiyah t.t), h. 395.
[30]Abu Bakar bin Jabir al-Jazairi, Aisar at-Tafâsir li
al-Kalam al-`Aliy al-Kabîr, jilid IV (Madinah Al Munawwarah: Maktabah al
‘Ulum al Hikam, 2003), h. 354.
[31]Kajian terhadap sumber ilmu dalam Islam memadukan bahan-bahan empiris (kealaman) dan spiritual
(kewahyuan). Pemaduan kedua bahan inilah yang akan memunculkan konsep
epistemologi Islam yang berbeda dengan konsep epistemologi Barat. Menurut
Mujamil Qomar, kiblat epistemologi Barat yang mengistimewakan peranan manusia
dalam memecahkan “segala sesuatu”, dan dalam waktu bersamaan menentang dimensi
spritual yang kemudian menjadi sumber krisis epistemologi yang berimplikasi
pada krisis pengetahuan, maka ada upaya untuk mencari pemecahan dengan
mempertimbangkan epistemologi lain. Sedangkan epistemologi Islam yang
diformulasikan berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan respons kreatif
terhadap tantangan modern yang membahayakan kehidupan dan keharmonisan manusia
sebagai akibat epistemologi Barat. Lihat Mujamil Qomar, Epistemologi
Pendidikan Islam Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, (Jakarta:
Erlangga, 2005), h. 103.
[32]M. Quraish Shihab, h. 440.
[33]al-Imâm Malik bin Anas
(selanjutnya disebut Imam Malik), al-Muwaththa’, jilid II, biriwayah
Yahya bin Yahya al-Laitsiy al-Andalûsiy
(Beirut: Dâr
al-Gharb al-Islâmiy,
1997), h. 480. Lihat al-Imâm
al-Hâfizh Abu
Abdillah al-Hâkim
al-Naisâbûriy, al-Mustadrak ‘alâ al-Shahîhaini,Juz. I (Kairo:
Dâr al-Haramain li
al-Thaba’ wa al-Nasyr wa al-Tauzî’,
1997), h. 161.
[34]Imam Malik, al-Muwaththa’,
biriwayah Yahya bin Yahya al-Laitsiy al-Andalûsiy, jilid II, h. 480. Lihat juga jjuz Xxi, h. 631.
[35]Muhammad Ajjâj
al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts Ulûmuhu wa Mushthalahuhu (Beirût: Dâr
al-Fikr,1989), h. 19.
[36]Muhammad Abd al-Baqi ibn
Yusuf al-Zarqani al-Mishry al-Azhariy al-Maliky, Syarh
al-Zarqâniy
‘ala al-Muwaththa’ al- Imam Malik, juz IV (t.t.: al-Mathba’ah al-Khairiyyah,
t.t.), h. 86-87.
[37]al-Imâm al-Hâfiz Abu Umar Yusuf bin Abdullah
Ibn Muhammad bin Abd al-Barr al-Namiriy al-Andalûsiy (selanjutnya disebut Ibn Abd al-Barr), al-Istidzkâr, Juz XXVI (Beirut:
Dâr Qutaibah li
al-Thaba’ wa al-Nasyr, 1993), h. 98-99.
[38]al-Qâdhiy Abu al-Walîd Sulaiman bin Khalaf
bin Sa’ad bin Ayyub al-Bâjiy,
al-Muntaqâ
Syarh Muwathha’ Mâlik,
juz VIII, tahqîq
Muhammad Abd al-Qâdir
Ahmad Atha’(Beirut: Dâr
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), h. 270.
[39]Azyumardi Azra, Pendidikan
Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos wacana
Ilmu, 2002), cet. 4, h. 13. Lihat juga Deden Makbuloh, Pendidikan Islam:Arah
Baru Pengembangan Ilmu dan Kepribadian di Perguruan Tinggi, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2011), cet. 1, h. 171.
[40]Muhammad al-Maliki
al-Hasani, Kemuliaan dan Kesempurnaan Pribadi Muhammad SAW, terj.
Muhammad Al Mighwar, (Bandung: Pustaka Pelajar, 2006), h. 370.
[41]Maulana Muhammad Zakariyya
al-Khandalawi (selanjutnya disebutal-Khandalawi), Himpunan Fadhilah Amal,
terj. A. Abdurrahman Ahmad, (Yogyakarta: Ash-Shaff, 2003), h. 573.
[42]al-Imâm al-Hâfizh Abu Daud Sulaiman
bin al-Asy’ats al-Sijastâniy
al-Azadiy (selanjutnya disebut Imam Abu Daud), Sunan Abu Daud,Juz IV,I’dâd wa Ta’lîq ‘Izzat ‘Ubaid al-Da’âs dan Adil
al-Sayyid(Beirut: Dâr
Ibn Hazam, 1997), h. 39-40. Lihat al-Imâm al-Hâfizh Abu Isa Muhammad
bin Isa bin Saurah al-Tirmidziy (selanjutnya disebut Imam Tirmidzi), al-Jâmi’ al-Shahîh wa Huwa Sunan
al-Tirmidziy, juz V, tahqîq
Ibrahim ‘Uthwah ‘Iwadh(Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafâ al-Bâbiy al-Halabiy wa Awlâduh, 1975), h. 48.
[43]al-Hâfizh Dhiyâ’ al-Dîn Muhammad bin Abd al-Wâhid al-Maqdisiy, Fadhâil al-‘A’mâl, Juz IV, tahqîq Ghassân Isa Muhammad Hermâs(Beirut: Muassasah
al-Risâlah, 1987),
h. 557.
[44]Imam Tirmidzi, Sunan
al-Tirmidziy, biahkâm
al-‘Allâmah
al-Muhaddits Muhammad Nâshir
al-Dîn al-Albâniy (Riyadh: Maktabah
al-Ma’ârif li
al-Nasyr wa al-Tauzi’, t.t), h. 604.
[45]al-Khandalawi, h. 573.
[46]al-Syekh Khalil Ahmad
al-Sahhâranfûriy (selanjutnya disebut
al-Sahhâranfûriy), Badzl al-Majhûd fi Halli Abi Daud, juz
XV (Beirut: Dâr al-Fikr,
t.t.), h. 329.
[47]Abu al-Thayyib Muhammad Syams
al-Haqq al-‘Azhîm Âbâdiy (selanjutnya disebutÂbâdiy),
‘Aun al-Ma’bûd:
Syarh Suanan Abi Daud, Juz X, ta’lîq
al-Hâfizh Ibn
Qayyim al-Jauziyyah(Madinah: al-Maktabah al-salafiyyah, 1968), h. 73.
[48]al-‘Allâmah al-Imâm Syaikh al-Islâm
Syams al-Dîn Abu Abdullah Muhammad bin Abu Bakar Ibn Qayyim al-Jauziyyah
(selanjutnya disebut Ibn Qayyim), al-‘Ilm Fadhluhu wa Syarafuhu,
(Riyadh: Majmû’ah al-Tuhaf al-Nafâis al-Dauliyyah, 1996), h. 64-65.
[52]Imam Muslim, Shahîh Muslim, jilid II,
h. 426.
[53]Imam Muslim, Shahîh Muslim, jilid II,
h. 426.
[54]al-Nawawiy, Shahîh Muslimbi Syarh
al-Nawawiy, Juz XV, h. 116.
[55]al-Nawawiy, Shahîh Muslimbi Syarh
al-Nawawiy, h. 116. Lihat juga al-Imâm
al-Hâfizh Abu
al-Fadhl ‘Iyâdh bin
Musa bin‘Iyâdh
al-Yahshabiy, Ikmâl
al-Mu’lim bi Fawâid
Muslim, juz VII, tahqîq
Yahya Ismail (al-Manshurah: Dâr
al-Wafâ li
al-Thaba’ah wa al-Nasyr wa al-Taujî’,
1998), h. 334
[56]Musa Syâhîn al-Atsîn,
Fath al-Mun’im: SyarhShahîh
Muslim, juz IX (Kairo: Dâr
al-Syurûq, 2002),
h. 231.
[57]Azyumardi Azra,h. 9.
[58]Burhanuddin Abdullah, Pendidikan
Islam Sebagai Sebuah Disiplin Ilmu (Yogyakarta: Pustaka Prisma, 2010), h.
64.
[59]Didiek Ahmad Supadie, ed. Pengantar
Studi Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), h. 256.
[60]Imam al-Tirmidziy, al-Jâmi’ al-Shahîh wa Huwa Sunan
al-Tirmidziy, juz IV, h. 612. Lihat al-Imâm al-Hâfizh Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman bin
al-Fadhl bin Bahram al-Dârimiy,
Sunan al-Dârimiy, juz I, tahqîqHusein Salim Asad al-Dârâniy (Riyadh: Dâr al-Mughniy li al-Nasyr
wa al-Tauzî’, 2000), h. 543.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar