KEUNIKAN BAHASA ARAB: STUDI IMPILKASI PERBEDAAN I’RAB
TERHADAP PERUBAHAN MAKNA
Oleh : Samsul Bahri M.A[1]
Abstrak
Kajian ini membahas aspek keunikan dalam
bahasa Arab. Keunikan tersebut terletk pada I’rab yang memiliki pengaruh
perubahan makna di dalam sebuah kalimat.
Kata kunci:
I’rab, Istifham, Mubtada’, Khabar
A. Pendahuluan
Setiap bahasa mempunyai kekhususan yang
membedakannya dengan bahasa lain.[2]
Karena bahasa adalah sistem lambang bunyi arbitrer yang digunakan para anggota
kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan
diri.[3]
Karena digunakan oleh suatu masyarakat, tentu bahasa dengan kearbitrerannya
menjadi produktif dan dinamis sehingga pada akhirnya pada setiap bahasa akan
terbentuk ciri khas yang tidak terdapat ataupun dimiliki bahasa lain.[4]
Bahasa Arab telah dipilih sebagai bahasa pengantara wahyu yang
ditujukan kepada seluruh penutur bahasa di dunia. Penelitian yang mendalam terhadap
bahasa ini memperlihatkan rahsia pemilihannya sebagai bahasa al-Quran. Kajian-kajian yang
dibuat oleh para sarjana bahasa dari berbagai aspek terutama ilmu linguistik
telah dapat membuktikan keunikan dan keistimewaan bahasa ini yang tidak
terdapat pada bahasa-bahasa lain.[5]
Mungkin hal inilah yang menyebabakan Allah memilih bahasa
Arab sebagai bahasa bahasa al-Qur’an agar umat manusia bisa memahaminya dengan
mudah. Hal ini Allah tegaskan dalam firman-Nya, “Sesungguhnya kami telah
menurunkan al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya”.
Tak
dapat dipungkiri bahwasanya bahasa Arab mempunyai banyak keunikan, kekhasan (al-Khashâ’ish),
dan keistimewaan dibandingkan dengan
bahasa-bahasa lain, kalau bukan karena itu niscaya Allah tidak memilihnya
sebagai bahasa bagi kitab-Nya yang mulia (al-Qur’an). Di antara keistimewaannya
yang menonjol adalah bahwa bahasa Arab mempunyai kemampuan yang luar biasa
dalam melahirkan makna-makna baru, tidak hanya dengan penambahan huruf pada asal kalimat saja, bahkan hanya dengan perubahan harakat.[6]
Kemudian juga perubahan semantik yang disebabkan oleh perubahan struktur kata.
Sebagai contoh: كتاب – كتابان – كتب – كتابة – مكتب – مكتبة , dari perubahan kata-kata
tersebut dapat dilihat perubahan maknanya. Bahasa Arab bahasa yang sangat luas
dan kaya, jumlah kosakatanya tidak dapat ditandingi oleh bahasa apa pun di
dunia ini, bahasa yang tinggi, yang mampu mengungkapkan makna dengan berbagai
macam gaya bahasa (uslûb).[7]
Menurut
Rusydi Ahmad Thu’aimah, mengetahui keistimewaan dan karakteristik (الخصائص) bahasa Arab yang membedakannya
dari bahasa-bahasa lain merupakan suatu keniscayaan bagi para pengajar bahasa
Arab. [8]Beliau
menyebutkan ada sekitar 10 karakteristik bahasa Arab di antaranya adalah
i’râb.[9]
I’râb
adalah merupakan salah satu dari sekian banyak keistimewaan dan karakteristik
yang dimiliki bahasa Arab.[10]
Fenomena i’râb ini –dibandingkan dengan karakteristik bahasa Arab yang
lainnya- merupakan karakteristik yang banyak dibicarakan oleh para linguis
Arab, baik linguis klasik maupun kontemporer. I’râb dipandang merupakan
salah satu fenomena yang sangat urgen dan mononjol dalam ilmu
nahwu (sintaksis) sebab dia memegang
posisi sentral bagi eksistensi nahwu dalam bahasa Arab, sampai-sampai di antara
para ahli bahasa Arab itu ada yang menjadikan ilmu nahwu itu semuanya adalah
i’râb sehingga mereka mendefinisikan ilmu nahwu itu sebagai ilmu i’râb.[11]
Kemudian Ahmad Abd al-Ghaffâr[12] juga
menegaskan bahwa i’râb dalam bahasa Arab merupakan masalah yang urgen
dan selalu di butuhkan, sebab menurut dia satu kata bisa mempunyai makna yang
berbeda-beda yaitu; mungkin sebagai subyek, objek, idhafah, ibtida, khabar,
dan lain-lain. Kalau bukan dengan i’râb, maka makna kalimat tersebut
tidak dapat dipahami dan diketahui dengan jelas. Atau dengan ungkapan lain, bahwa kebutuhan
akan i’râb akan terlihat untuk mengetahui posisi kata dalam suatu
kalimat (al-Jumlah). Sabagai contoh bisa dilihat kalimat-kalimat berikut
ini; 1. ما أحسن طالب 2. ما أحسن طالبا
3. ما
أحسن طالب . Kalimat nomor satu adalah
pertanyaan (Istifhȃm), hal tersebut dapat diketahui dari harakat
dhommah pada kata (أحسن) dan
harakat kasrah (jarr) pada kata (طالب).
Kalimat nomor dua adalah ungkapan keheranan (ta’ajjub), hal tersebut
dapat diketahui dari harakat fathah
(nashab) pada kata (أحسن) dan
kata (طالب).
Sedangkan kalimat yang nomor tiga adalah kalimat berita, itu dapat diketahui
dari harakat fathah pada kata (أحسن) dan
harakat dhommah (rafa’) pada kata (طالب).
Perbedaan
makna (dalâlah) di antara kalimat-kalimat di atas disebabkan adanya
perbedaan harakat i’râb pada akhir kata kalimat tersebut, kalau
seandainya tanpa i’râb niscaya akan terjadi keambiguan (al-Labs)
dalam memahaminya. Sebab disusunnya i’râb menurut Ibn al-Sarrrâj (w. 550
H) untuk membedakan makna suata kalimat, dan kalau i’râb tersebut
dihilangkan, maka makna-makna kalimat tersebut tidak dapat dibedakan sehingga
orang akan mendapatkan kesulitan memahami maksudnya dengan baik dan benar.[13]
B.
Pembahasan
I’râb merupakan salah satu dari karakteristik (al-Khashâ’ish)
dan keunikan yang dimiliki oleh bahasa Arab. Ia menempati posisi penting dalam
bahasa Arab dibandingkan dengan karakter-karakter lainnya
yang dimiliki oleh bahsa Arab, sebab ia merupakan bagian yang diilfiltrasi oleh
al-Lahn yang membuat para linguis Arab tergugah untuk merumuskan
dan mengkodifikasikan ilmu nahwu yang dapat menjauhkan lahn tersebut
sehingga dengan demikian keorisinilan bahasa Arab akan dapat terjaga dan
terpelihara.
A. Pengertian I’râb
Kata i’râb merupakan bentuk mashdar
(infinitive) dari “أعرب يعرب إعرابا“.
Kemudian kalau dilihat di kamus-kamus bahasa Arab dan pendapat-pendapat para
linguis Arab tentang makna I’râb tersebut, maka kata i’râb
tersebut mempunyai makna-makna yang banyak, di antaranya i’râb berarti menjelaskan (أبان),
menyingkap (كشف), dan menampakkan (أظهر
) sebagaimana dikatakan: ” أعرب الرجل عن حاجته”
(seseorang menjelaskan keinginannya), i’râb juga berarti
membaguskan atau memperindah (al-Tahsîn), seperti dikatakan: “أعرب الشيئ”
(membaguskan dan memperindah sesuatu), dan i’râb juga berarti
berubah (al-Taghyîr), seperti dikatakan: “عربت معدة البعير”
(perut onta betina berubah),[14]
kemudian i’râb juga bisa berarti menghilangkan kerusakan (Izâlah
al-Fasâd), seperti dikatakan: “أعربت الشيئ”
yang berarti: “أزلت عربه”
(saya menghilangkan kerusakannya).[15]
Sedangkan menurut Ibnu Jinnî (321-392 H)[16] ,
kata i’râb berakar dari kata: أعرب عن الشيئ yang berarti (mengungkapkan
sesuatu),[17]
sebagaimana dikatakan: “وأعرب الرجل عما في نفسه” (seseorang mengungkapkan/menjelaskan apa
yang ada pada dirinya).[18]
Hal senada juga dinyatakan oleh al-Zajjâjî (w. 329 H)[19]
yang mengatakan bahwa i’râb maknanya adalah penjelasan (al-Bayân)
karena harakat i’râb tersebut berfungsi untuk menjelaskan makna yang
dimaksud dalam suatu kalimat. Kemudian Ibnu al-Anbâri (513-577 H)[20] menyatakan ada tiga alasan mengapa i’râb
itu dinamakan i’râb: 1. karena ia berfungsi untuk menjelaskan makna, 2.
karena ia merubah harakat akhir kata pada suatu kalimat 3. karena orang yang
meng-i’râb-kan perkataannya membuat pendengar suka kepadanya.[21] Jadi ketika orang Arab menamakan harakat
akhir pada suatu kalimat dengan harakat i’râb (al-Harakât
al-I’râbiyyah) maksud mereka adalah bahwa harakat tersebutlah yang
mengungkapkan makna, dan mendekatkan makna tersebut kepada pamahaman,
seakan-akan suatu makna terkunci/tertutup dan harakat i’râb-lah yang
berfungsi untuk membuka dan menghilang penutup makna tersebut sehingga ia
menjadi jelas.
Sedangkan
pengertian i’râb secara terminologi,
para ahli nahwu (al-Nuhât) - baik yang klasik maupun
kontemporer- mereka memberikan beberapa
definisi:
1)
Ibn al-Anbâri (513-577 H) dalam kitab (Asrâr
al-Arabiyyah),[22]
mengatakan: اختلاف أواخر
الكلم باختلاف العوامل لفظا أو تقديرا
( Perubahan akhir kata yang disebabkan perubahan ‘âmil,[23]
secara lafazh (eksplisit) atau taqdîr (implisit).
2)
Ibn Hisyâm (708–761 H)[24]
dalam kitab (Syarah Syudzûr al-Dzahab),[25]
mengatakan: الإعراب أثر ظاهر أو مقدر يجلبه العامل في
اخر الاسم المتمكن والفعل المضارع
(I’râb adalah pengaruh yang tampak atau tersembunyi pada akhir al-Isim
al-Mutamkkin dan Fi’il Mudhâri yang ditimbulkan oleh ‘Âmil).
3)
Syekh Mushthafâ al-Ghalâyainî (1885-1944 M) dalam
kitab (Jami’ al-Durûs al-Arabiyyah),[26]
mendefinisikan: أثر يحدثه العامل في اخر الكلمة فيكون اخرها مرفوعا أو منصوبا أو مجرورا أو
مجزوما حسب ما يقتضيه ذلك العامل
(Pengaruh yang ditimbulkan oleh ‘âmil pada akhir sebuah kata, sehingga ia
berubah menjadi marfû’, manshûb, majrûr, atau majzûm sesuai apa yang dituntut
oleh ‘âmil tersebut).
4)
Sedangkan ‘Abbâs Hasan (1900-1978 M) dalam buku (al-Nahwu
al-Wâfî),[27]
menyebutkan: تغير العلامة التي في اخر اللفظ بسبب تغير العوامل الداخلة عليه وما يقتضيه
كل عامل (Perubahan tanda pada akhir kata karena
adanya perubahan ‘âmil-‘âmil yang memasukinya dan apa yang dituntut dari setiap
‘âmil tersebut).
Dari definisi-definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa i’râb adalah perubahan baris
(harakat)[28]
secara jelas atau tersembunyi yang terjadi pada setiap akhir kata dalam suatu
kalimat yang disebabkan oleh perbedaan ‘âmil yang masuk pada
kalimat tersebut. Agar lebih jelas tentang definisi i’râb ini mari kita
lihat kata (علي)
pada kalimat-kalimat berikut ini: 1.عليٌ ذهب 2. علياً رأيت 3. ذهبت مع عليٍ , dari harakat akhir
kata (علي)
pada kalimat-kalimat tersebut berubah dari dhommah ke fathah
kemudian ke kasrah.
Perubahan harakat (baris) tersebut disebabkan perbedaan faktor-faktor (al-‘Awâmil)
yang masuk pada kata tersebut, yaitu: ذهب , رأيت dan مع . Sedangkan perubahan harakat
huruf akhir pada kalimat (علي)
tersebut dinamakan i’râb.
B. Bukti-Bukti Adanya Hubungan I’râb
dengan Perubahan Makna
Setiap
bahasa di dunia ini mempunayai kaidah-kaidah (al-Dhawâbith) yang
mengaturnya, dan kaidah-kaidah tersebut harus dipatuhi oleh penutur bahasa
tersebut sehingga tidak terjadi kesalahan dalam penggunaan bahasa tersebut yang
pada akhirnya akan menimbulkan kesalah pahaman. Dalam hal ini, bahasa Arab
bukan lah satu-satunya bahasa yang mengharuskan para penuturnya untuk tidak
menyimpang dari kaidah-kaidah yang telah disepakati dalam bahasa tersebut.
Bahasa Arab mempunyai kaidah-kaidah dan struktur-struktur yang cermat dan
teliti, yang mana setiap kata dan huruf dalam bahasa Arab ini memiliki kaidah
tersendiri. Ini bukan bermaksud untuk membanggakan dan melebih-lebihkannya dari
bahasa lain, tapi ini adalah murni pandangan obyektif dari penulis yang ingin menjelaskan hal tersebut.
Untuk
menjelaskan hal tersebut di atas bisa diambil satu contoh yaitu huruf fâ
(الفاء),
yang mana huruf ini mempunyai kaida-kaidah (al-Dhawâbith) tersendiri.
Huruf fâ ini bisa berfungsi sebagai huruf ‘athaf, seperti: نزل المطر
فابتلت الأرض (Hujan turun, maka kemudian basahlah
tanah), dan contoh lain: مات صاحبنا فقبر (sahabat kami meninggal, kemudian dikuburkan), ‘athaf
disini berfungsi sebagai ..(al-Ta’qîb al-Mubâsyir). Kemudian fâ
ini juga bisa untuk menyatakan sebab, misalnya: لا تكثر من
لوم صديقك فتندم (Jangan banyak mencela teman kamu
sehingga kamu akan menyesal). Kemudian huruf fâ ini juga menunjukan isti’nâf
(memulai pembicaraan yang baru), contohnya: فمن تمتع
بالعمرة إلى الحج فما استيسر من الهدي فمن لم يجد فصيام ثلاثة أيام (maka barangsiapa yang melaksanakan umrah
sebelum berhaji, dia wajib menyembelih hadyu yang mudah didapat. Tetapi jika
dia tidak mendapatkannya, maka dia wajib berpuasa tiga hari dalam musim haji
…). Dan kemudian juga huruf fâ ini bisa
berfungsi sebagai jawab syarat, contohnya: وإذا حييتم
بتحية فحيوا بأحسن منها أو ردوها (dan apabila kalian diberi salam, maka
jawablah salam tersebut dengan yang lebih baik atau yang sama dengannya).
Adapun
menganai harakat i’râb (al-Harakah al-I’râbiyyah), maka ia
merupakan bagian dari struktur-struktur dan kaidah-kaidah bahasa Arab yang
indah ini. Ilmu nahwu yang diwariskan oleh ulama-ulama terdahulu dan diterima
oleh ulama-ulama berikutnya melalui kajian-kajian dan studi-studi sehingga
menjadi sebuah ilmu yang kuat dan kokoh, di dalamnya didapati setiap kondisi
dari harakat-harakat kata dalam suatu struktur kalimat ada kaida-kaidah yang
mengaturnya, dan pengabaian terhadap kaidah tersebut akan menimbulkan kesalahan
dalam pemahaman.
Hal tersebut karena di antara
karakteristik yang dimiliki oleh bahasa Arab adalah bahwa ia dalam
mengungkapkan makna-makna dari dua sisi: 1. Susunan kata atau struktur (النظم), yaitu metode yang digunakan dalam penyusunan kalimat dan
bagian-bagiannya. 2. I’râb, yang merupakan aspek pengungkap makna yang
lebih kuat dan lebih jelas, ia merupakan penunjuk untuk menantukan
posisi-posisi kata (mawâqi’ al-Kalimât) dalam struktur kalimat.[29]
Tanda-tanda i’râb (al-‘Alâmah
al-I’râbiyyah) merupakan penunjuk untuk mengetahui dan membedakan makna-makna yang kemungkinan sama dalam satu
kalimat pada bahasa Arab, sebagaimana dinyatakan oleh al-Suyûthî (849-911. H)
dalam al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir: العلامة
الإعرابية علم لمعان معتورة يتميز بعضها عن بعض فالإخلال بها يفضي إلى التباس
المعاني وفوات ما هو الغرض الأصلي من وضع الألفاظ وهيئاتها أعني الإبانة عما في
الضمير (Tanda
i’râb merupakan tanda bagi makna-makna yang banyak yang berfungsi untuk
membedakan antara makna yang satu dengan lainnya, pelanggaran terhadap
tanda-tanda i’râb tersebut akan mengakibatkan kerancuan (keambiguan) dan
menghilangkan tujuan utama dari pembuat (penyusunan) lafazd-lafazd dan bentuknya,
maksud saya: menjelaskan apa yang ada di dalam hati…).[30] Karena tanda i’râb
ini merupakan salah satu bagian untuk menantukan fungsi sintaksis atau makna
nahwu yang mana dengan perubahan i’râb tersebut akan berimpliksi pada
perubahan makna, maka ajakan untuk mengabaikan atau menghilangkan i’râb
tersebut menurut Hammâsah ‘Abd al-Lathîf (1941- sekarang) terlalu
berlebih-lebihan.[31]
Di antara
bukti-bukti adanya hubungan dan keterkaitan antara i’râb dan perubahan makna
dapat dilihat dari literatur-literatur bahasa Arab, Hadist, al-Qur’an al-Karim,
dan kesaksian dari para linguis Arab.
1. Bukti dari Literatur-Literatur Bahasa Arab
Dalam literatur-literatur Arab
khususnya buku-buku nahwu baik yang klasik maupun kontemporer banyak didapati
bukti-bukti yang menunjukan pentingnya alamat
i’râb untuk membantu dalam memahami makna kalimat. Berikut
ini akan dikemukakan beberapa contoh yang menguatkan peran yang dimainkan i’râb
dan urgensinya dalam menjelaskan dan menentukan makna:
a. ما أحسنُ
محمد .١ ما أحسنَ
محمد .۲ ما أحسنَ
محمد .۳
Ketiga
kalimat-kalimat tersebut dari segi kontruksinya mempunyai susunan dan jumlah
kata yang sama, yang membedakan kalimat-kalimat tersebut satu sama lain adalah
terletak pada harakat-harakatnya. Kalimat yang pertama merupakan pertanyaan (al-Istifhâm)
yang menanyakan apakah yang terbaik pada diri Muhammad, itu dapat diketahui
dari harakat dhommah pada kata (أحسن) dan harakat kasrah pada kata (محمد). Sedangkan kalimat kedua merupakan ungkapan
kekaguman (al-Ta’ajjub) yang menyatakan kekaguman pembicara atas
kebaikan Muhammad, hal tersebut dapat diketahui dari harakat fathah pada
kata (أحسن)
dan (محمد). Kemudian pada kalimat
yang terakhir dapat diketahui maksud dari pembicara adalah memberitakan (al-Ikhbâr)
bahwa Muhammad tidak melakukan kebaikan, hal tersebut dapat diketahui dari
harakat fathah pada kata (أحسن) dan harakat dhommah pada kata (محمد). Di sini terlihat jelas yang membedakan makna antra ketiga
kalimat tersebut adalah harakat i’râb, tanpa adanya harakat tersebut
maka makna-makna ketiga kalimat tesbut tidak dapat dibedakan.
b. ١. لا تأكل السمك وتشربَ
اللبن ۲. لا تأكل
السمك وتشربْ اللبن ۳. لا تأكل السمك
وتشربُ اللبن
Ketiga kalimat-kalimat tersebut di atas
mempunyai kontruksi atau susunan kata yang sama, untuk dapat membedakan
makna-makna yang terkandung di dalamnya, kalimat-kalimat tersebut harus dapat
diberi harakat terlebih dahulu sehingga maknanya dapat diketahui dengan jelas.
Yang membedakan makna kalimat-kalimat tersebut adalah harakat yang terdapat
pada kata kerja (تشرب).
Kalimat yang pertama mengandung larangan untuk
memakan ikan bersamaan dengan meminum
susu, itu dapat diketahui dari harakat fathah pada kata (تشرب) dan pertikel waw yang berada sebelumnya yang dinamakan
dengan waw al-Ma’iyyah. Sedangkan kalimat yang kedua mengandung larangan
untuk melakukan keduanya (larangan untuk makan ikan dan juga larangan untuk
minum susu walupun dikerjakan secara tidak bersamaan) itu karena harakat sukun
(al-Jazam) pada kata (تشرب), dan fertikel waw sebelum kata (تشرب) tersebut adalah waw al-‘Athaf. Kemudian kalimat yang
ketiga maksudnya sebagai larangan untuk memakan ikan dan memperbolehkan untuk
meminum susu, itu karena harakat dhommah (rafa’) pada kata (تشرب), dan pertikel waw sebelum kata (تشرب) tersebut adalah waw al-Ibtidâ’.[32] Misalnya juga: (لا تظلم
الناسَ وتنصحَهم بأن يصبروا), dengan menashabkan fi’il
mudhâri’ (تنصح) maksudnya melarang untuk menggabungkan antara berbuat zhalim
dengan nasehat untuk bersabar, dengan menjazamkannya berarti melarang
untuk melakukan kedua perbuatan tersebut walaupun tidak dilakukan secara
bersamaan, sedangkan dengan merafa’kannya berarti hanya melarang untuk
berbuat zhalim dan membolehkan untuk memberikan nasehat untuk bersabar.
Contoh lain, kalau dikatakan: (اعطني فأمدحك), kalau kata (أمدح) pada kalimat tersebut dikasih harakat fathah, maka
maksudnya adalah bahwa pujian (al-Madh) belum terjadi, ia terjadi
setelah adanya pemberian (al-‘Athâ) karena pujian disebab oleh
pemberian. Sedangkan kalau dikatakan: (اعطني فأمدحك) dengan harakat dhommah, maka maksudnya adalah bahwa
pujian sudah terjadi sebelum adanya pemberian, yang berarti berilah saya karena
saya termasuk orang yang memuji kamu.
c. Contohnya juga, kalau dikatakan: فلان متهم
بقتل السائق وابنه .
Kata (ابنه) pada kalimat tersebut di atas posisinya adalah sebagai ‘athaf,
hal tersebut dapat diketahui karena sebelumnya ada pertikel waw, namun
kata tersebut tidak diketahui dengan
jelas di’athafkan kemana karena tidak ada harakatnya, ke term (فلان) atau term (السائق), kalau dikasih harakat dhommah
maka berarti ia di‘athafkan ke term (فلان) sehingga posisinya sebagai pembunuh (al-Qâtil),
sehingga makna kalimat tersebut adalah: (si pulan dan anaknya didakwa
sebagai pembunuh sopir), sedangkan kalau dikasih harakat kasrah maka
berarti ia di‘athafkan ke term (السائق) sehingga posisinya sebagai yang terbunuh (al-Maqtûl),
sehingga makna kalimat tersebut adalah: (si pulan didakwa membunuh sopir dan
anaknya). Di sini terlihat bahwa harakat sebuah kata sangat mempengaruhi terhadap
makna sruktur kalimat.
d. Apabila seseorang mengakatan: (أنا قاتلُ
غلامِك), kemudian seorang lagi mengatakan: (أنا قاتلٌ
غلامَك),
Yang bisa
dijatuhi hukuman adalah yang mengatakan: أنا قاتلُ
غلامِك (dengan idhâfah), sebab kalimat
tersebut menunjukan fi’il mâdhî yang berarti ia telah melakukannya.
Sedangkan yang mengatakan: أنا قاتلٌ غلامَك (dengan harakat nashab), ia tidak dapat dijatuhi hukuman
sebab kalimat tersebut menunjukan pada masa yang akan datang yang berarti dia
belum melakukannya. Misalnya juga: 1. أنا مكرمُ
أخيك 2. أنا مكرمٌ أخاك , kata (مكرم) pada kedua kalimat tersebut dalam segi kontruksinya tidak ada
perbedaan, yang membedakan keduanya hanya pada harakat, yang satu dhommah
sedangkan satu lagi adanya tanwîn pada harakat dhommah, namun
dari segi makna terdapat perbedaan, yang pertama menunjukkan masa yang telah
lalu (saya telah memuliakan saudara kamu), sedangkan yang kedua
menunjukkan masa yang akan datang (saya akan memuliakan saudara kamu). [33] Sebagaimana firman Allah
swt: ولا تقولن لشيئ إني فاعل ذلك غدا إلا أن يشاء الله , kata (فاعل) yang berbentuk nakirah pada ayat tersebut menunjukkan
bahwa perbuatan itu belum dilaksanakan, buktinya adalah adanya kata (غدا) yang berarti dia akan melaksakannya pada besok hari.
e. Contoh lain: (ما صنعت
وأباك ؟ لو ترك الناقة وفصيلها لرضعها).
Term (أباك) dan (فصيلها) pada kalimat tersebut keduanya manshûb (berharakat fathah)
karena posisinya sebagai maf’ûl ma’ah,[34] yang mana arti kalimat
tersebut adalah: (Apa yang telah kamu lakukan bersama ayahmu? Seadainya
onta betina itu ditinggalkan bersama anaknya, niscaya ia akan menyusuinya).
Sedangkan kalau dikatakan: (ما صنعت وأبوك؟ لو ترك
الناقة وفصيلها لرضعها) dengan mambaca rafa’, maka ia
(kedua kata tersebut) menjadi ‘athaf, dan artinya akan berubah menjadi: (Apa
yang telah kamu lakukan? Dan apa yang telah dilakukan ayah kamu? Seandainya
onta betina tersebut ditinggalkan, dan anaknya juga ditingglkan, niscaya ia
akan menyusuinya).
Disini
terlihat jelas perubahan makna yang ditimbulkan akibat perubahan i’râb
pada kedua kata tersebut di atas.
f.
Misalnya
lagi kalau dikatakan: (هذا الضارب الظالم)
Tanpa
harakat i’râb, kata (الظالم) pada kalimat tersebut tidak dapat ditentukan posisinya, apakah
ia sebagai sifat (na’at) dari kata (الضارب) atau sebagai objek dari kata tersebut. Tapi, dengan menashabkan
term (الظالم)
memberikan pengertian bahwa pukulan jatuh padanya yang berarti ia jadi objek (al-Maf’ûl),
sedangkan kata (الضارب) sebagai subjek (al-Fâ’il), dan artinya adalah; (ini pemukul orang yang zhalim). Sedangkan
kalau kata (الظالم)
tersebut dirafa’kan, maka berarti ia menjadi sifat dari kata (الضارب) sehingga artinya akan berubah menjadi: (ini adalah seorang
pemukul yang zhalim).
g. Misalnya dalam uslûb al-Istitsnâ, (ينجح
المستذكرون غيرُ المرهقين)
Dengan merafa’kan
kata (غير) menunjukkan makna bahwa orang-orang yang
mengulangi pelajarannya yang bukan orang-orang bodoh, mereka lulus dalam ujian,
berarti kata (غير) disini posisinya sebagai na’at dari kata (المستذكرون) Sedangkan kalau dinashabkan menjadikan maknanya bahwa
orang-orang yang menulangi pelajarannya akan lulus dalam ujian, berarti kata (غير) disini posisinya sebagai pertikel pengacualian (adâh
al-Istitsnâ).[35]
h. Misalnya juga dalam ‘athaf kepada dhâmir
rafa’ muttashil: (أكرمتُك وأحمد),
Term (أحمد) pada kalimat tersebut di atas mengandung kemungkinan rafa’ dan nashab,
hal tersebut karena adanya huruf ‘athaf (waw) sebelum kata (أحمد) tersebut sehingga ia
bisa di’athafkan kepada dhamîr[36] al-Mutakallim
yaitu ta yang posisinya sebagai subjek (al-Fâ’il) dan bisa juga
di’athafkan kepada dhamîr mukhâthab yang posisinya sebagai subjek
(al-Maf’ûl). Kalau kata (أحمد) dibaca rafa’,
maka berarti ia di’athafkan kepada dhamîr al-Mutakallim sehingga
posisinya menjadi subjek (al-Fâ’il) dan artinya adalah: (Saya dan
Ahmad memuliakan kamu), sedangkan kalau dibaca nashab, maka berarti
ia di’athafkan kepada dhamîr al-Mukhâthab sehingga posisinya
menjadi objek (maf’ûl) dan artinya adalah: (Saya memuliakan kamu dan
Ahmad).
i.
(أكلت السمكة
حتى رأسها)
Kata (رأسها) pada kalimat tersebut di atas mempunyai tiga kemungkinan
harakat i’râb, mungkin dibaca rafa’, nashab, dan jarr. Hal
ini karena pertikal (حتى) yang berada sebelum kata tersebut yang mempunyai beberapa
fungsi, yaitu: sebagai huruf isti’nâf, huruf ‘athaf, atau huruf jarr.[37]
Kalau
dikatakan: (أكلت السمكة حتى رأسُها),
dengan rafa’, pertikel (حتى) pada kalimat ini fungsinya sebagai isti’nâf, dan kata (رأسُها) posisinya sebagai subjek (mubtadâ)
dan maksudnya: saya makan ikan, dan kepalanya aku makan. Sedangkan kalau
dikatakan: (أكلت السمكة حتى رأسَها)
dengan nashab, maka pertikel (حتى) disini fungsinya sebagai huruf ‘athaf, dan kata (رأسها) posisinya sebagai ‘athaf sehingga makna kalimat
tersebut adalah: (aku memakan ikan dan kepalanya), jadi kepalanya ikut
dimakan. Kemudian kalau dikatakan: (أكلت السمكة
حتى رأسِها) dengan jarr, maka pertikel (حتى) disini fungsinya sebagai huruf jarr yang maknanya
sampai batas (intihâ al-Ghayah), dan kata (رأسها) tersebut posisinya sebagai isim majrûr sehingga makna kalimat
tersebut adalah: (saya makan ikan sampai pada kepalanya), kepala tidak
ikut dimakan. Misalnya juga: نمت من الظهر إلى العصرِ (saya tidur mulai dari zhuhur sampai ashar), tidurnya
berhenti ketika waktu ashar telah tiba.
j.
Misalnya
kalau dikatakan: "مررتً بزيدٍ الكريم".
Kata "الكريم" pada kalimat tersebut mempunyai tiga kemungkinan bacaan i’râb.
Kata tersebut mungkin dibaca jarr, nashab, atau rafa’.
Kalau dibaca jarr, maka berarti posisinya adalah sebagai sifat (na’at)
dari kata "زيد",
kalau dibaca nashab berarti posisinya adalah sebagai subyek (maf’ûl),
dan kalau dibaca rafa’, bararti posisisnya sebagai khabar mubtadâ.
Contoh-contoh tersebut di atas
menurut penulis cukup untuk memberikan bukti akan pentingnya i’râb untuk
membantu dalam memahami makna kalimat degan baik dan benar. I’râb
memiliki peran yang cukup besar dalam menjelaskan dan menantukan makna dalam
kalimat. Pengabaian i’râb akan mengakibatkan kerancuan, keambiguan, dan
hilangnya makna. Padahal keambiguan (al-Ilbâs) bertentangan dengan
tujuan utama dari eksistensi dan penggunaan bahasa.
C.
Penutup
Para
linguis Arab menjadikan penyimpangan (al-‘Udûl) dari asal/dasar
penyusunan kalimat (Tarkîb al-Jumlah)[38]dengan cara membuang (al-hadzf),
menyembunyikan (al-Idhmâr), pemisahan (al-Fashl), pengacauan
susunan (tasywîsy al-Rutbah) dengan cara mendahulukan (taqdîm)
dan mengakhirkan (ta’khîr) atau perluasan (al-Tawssu’) dalam i’râb,
sebagai bagian dari keringan dan kemudahan (al-Tarakhkhush) ketika hal
tersebut dipandang aman dari kerancuan dan keambiguan (tidak menimbulkan
keambiguan). Namun Menurut Tammâm Hassan, yang harus diperhatikan bahwa
keringanan ini harus tetap tunduk pada ikatan-ikatan, yang paling utama adalah
tercapainya suatu manfaan atau aman dan terhindar dari keambiguan ketika
terjadinya penyimpangan tersebut. [39].
Salah satu
dasar bahasa Arab adalah penentuan dan penunjukan makna dengan menggunakan
harakat. Apabila dasar ini sudah didapati, maka harakat i’râb ini harus
dilihat sebagai isyarat atau penunjuk makna-makna yang dimaksud. Namun kata
Ahmad ‘Arfah, orang Arab tidak selalu mengharuskan dan memaksakan diri untuk
berpegang pada pada i’râb tersebut, sebab ia hanyalah merupakan media
untuk menjaga keamanan dari terjadinya keambiguan pada struktur (al-Nizhâm)
dan konteks (al-Siyâq).[40]
Hal
senada juga dinyatakan oleh al-Suyûthî (w. 911 H) sebagaimana yang ia katakan
bahwa i’râb di tempatkan pada isim-isim (al-Asmâ) dengan maksud
dan tujuan untuk menghilangkan keambiguan yang terjadi padanya, melihat adanya
makna-makna kemungkinan makna yang berbeda padanya. Oleh karena itu lah kata
dia, fi’il, huruf, isim-isim yang mudhmar, isim maushûl,
dan isyârat tidak membutuhkan i’râb ini karena kesemuanya itu
menunjukan pada maknanya dengan bentuknya masing-masing. Sedangkan fi’il
mudhâri’ karena ia kadang-kadang dimasuki makna-makna yang berbeda seperti
isim maka ia juga dimasuki oleh i’râb untuk menghilangkan keambiguan.
Misalnya fâ’il dirafa’kan sedangkan maf’ûl dinashabkan
untuk menghilangkan keambiguan, karena kalau harakatnya sama tidak bisa
dibedakan antara keduanya.[41]
Orang
Arab sepakat bahwa fâ’il itu dirafa’kan dan maf’ûl dinashabkan
apabila fâ’il disebutkan, tapi bisa fâ’il bisa dinashabkan
dan maf’ûl dirafa’kan apabila dianggap tidak mengakibatkan
keambiguan (al-Lubs), sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Mâlik
(601-672. H)[42]: ورفعُ مفعولٍ
به لا يلتبس # مع نصب فاعلٍ روَوا فلا تقس
(marafa’kan maf’ûl bih yang tidak mengakibatkan keambiguan dengan
menashabkan fâ’il mereka meriwayatkan maka jangan diqiyaskan).[43] Hal ini menurut ibn
al-Tharâwah (438-528. H)[44] dapat diqiyaskan,
sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surah al-Baqarah (36) yaitu: (فتلقى آدمُ
من ربه كلماتٍ) , Ibnu Katsîr (701-774 H) salah seorang
dari ahli qira’at sab’ah membacanya dengan menashabkan kata (ادم) dan merafa’kan kata (كلمات).[45] Alasan dari menashabkan (آدمُ) dan merafa’kan (كلمات) adalah karena hal tersebut tidak akan menimbulkan kesalah
pahaman dan keambiguan sebab maknanya sudah diketahui.
Ibn
al-Tharâwah (438-528 H) mengatakan: إذا فهم
المعنى فارفع ما شئت وانصب ما شئت وإنما يحافظ على رفع الفاعل ونصب المفعول إذا
احتمل كل واحد منهما أن يكون فاعلا وذلك نحو: ضرب زيد عمرا , لو لم ترفع
"زيدا" وتنصب "عمرا" لم يعلم الفاعل من المفعول (apabila makna telah dipahami maka rafa’kan yang kamu
inginkan dan nashabkan yang kamu inngikan, sesungguhnya dipeliharanya rafa’nya
fâ’il dan nashabnya apabila apabila terjadi kemungikinan tiap-tiap kedua bisa
menjadi fâ’il, seperti: ضرب زيد عمرا , apabila kata "زيدا" tidak dirafa’kan dan kata "عمرا" tidak
dinashabkan, maka tidak bisa dibedakan antara fâ’il dengan maf’ûl). Senada
dengan al-Tharâwah (438-528 H), al-Zajjâjî juga menyatakan keringanan atau
kemudahan (al-Tarakhkhush) dalam i’râb ada didapati dalam
syair-syair Arab. Sedangkan Ibn Hisyâm (708-761 H) dia melihat bahwa keringanan
dalam hal tersebut merupakan pemanis kalimat orang Arab,[46] sebagaimana yang ia
katakana: "من ملح كلامهم تقارض اللفظين في
الأحكام" (bagian dari pemanis kalimat mereka
adalah saling meminjam antara dua lafazh dalam ketetapan hukum).
Seperti memberikan i’râb maf’ûl kepada fâ’il atau sebaliknya,
contohnya: "خرق الثوبُ المسمارَ" dan "كسر الزجاجُ الحجرَ" . Kata (الثوبُ) dan (الزجاجُ) pada
kedua kalimat tersebut posisinya sebagai obyek (maf’ûl bih) yang seharus
berharakat fathah, tapi disini ia dikasih harakat dhommah. Hal
tersebut bisa dilakukan karena maknanya sudah pasti dan orang tidak akan salah
memahi bahwa yang merobek baju adalah paku, bukan bukan sebaliknya, begitu juga
pada kalimat yang kedua, yang memecah kaca adalah batu.[47]
Berdasarkan
dari pembahasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa i’râb
berhubungan erat dengan keambiguan atau ketaksaan makna. I’râb hanya
dapat berimplikasi pada perubahan makna suatu kalimat yang apabila kalimat
tersebut tidak di’i’râbkan maka
akan menimbulkan kerancuan dan keambiguan dalam memahaminya. Sedangkan kalau
makna suatu kalimat sudah jelas, maka i’râb tersebut tidak memberikan
implikasi terhadap makna kalimat tersebut. Hal ini sesuai dengan tujuan adanya i’râb
yaitu untuk memperjelas makna sehingga tidak terjadi kesalahan dalam memahami
suatu kalimat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Gaffar, Ahmad.Dirâsât Fî al-Nahwy al-Araby, Kairo: al-Islam lil Thiba’ah, 1993
Ahmad
Thu’aimah, Rusydi, Ta’lîm al-Lughah al-‘Arabiyyah li ghair al-Nâthiqîn bihâ,
Mesir: ISISCO, 1989
Al-Fantûkh,
Abd al-‘Azîz ibn Muhammad dkk, Tahdzîb Syarh Ibn ‘Aqîl li Alfiyah Ibn Mâlik,
Riyadh: Jâmi’ah al-Imâm Muhammad ibn Sa’ûd al-Islâmiyyah, 1420
Al-As’ad,
Abd al-Karîm Muhammad, al-Wasîth fî Târîkh al-Nahwi al-‘Arabî, Riyadh:
Dâr al-Syawâf, 1992
Al-Farrâ,
Abû Zakariyyâ Yahyâ ibn Ziyâd, Ma’ânî al-Qur’ân, Bairut: ‘Âlam al-Kutub, 1983
Al-Ghalâyainî,
Mushthafâ, Jâmi’ al Durûs al-‘Arabiyyah, Bairut: Maktabah al-‘Ashriyyah,
2003
Al-Khathîb,
‘Abd al-Lathîf Muhammad, Kuwait: al-Turâts al-‘Arabî, t.th
Al-Suyûthî,
Jalâl al-Dîn, al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir fî al-Nahwî, Bairut: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, t.th
Chaer,
Abdul, Linguistk Umum, Jakarta: Rineka Cipta, Cet, II, 2003
Ibn
Mâlik, Jamâl al-Dîn Abû ‘Abd Allah Muhammad ibn ‘Abd Allah, Syarh
ak-Kâfiyyah al-Syâfiyah, Tahqîq ‘Abd al-Mun’in Ahmad Harîrî, Makkah: Dâr
al-Ma’mûn li al-Turâts, t.th, jil. 1
Kridalaksan,
Harimurti, Kamus Linguistik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993
Mahmûd
Ma’rûf, Nâyif, Khashâ’ish al-‘Arabîyah wa Tharâ’iq Tadrîsuhâ,
Beirut: Dâr al- Nafâis, Cet. 5, 1998
Saussure, Ferdinand de, Course in General Linguistics, New York: Mc
Graw-Hill Book Company, 1966,
Shâlih
al-Sâmirâ’i’, Fâdhil, Ma’ânî al-NahwiKairo: Syarikah al-‘Âtik, t.th,
jilid. 1
Qâsim,
Riyadh Zaki, Tiqaniyyât al-Ta’bîr al-‘Arabi, Bairut,: Dâr al-Ma’rifah,
2000, cet. 1
Abû
al-Barakât Abd al-Rahmân Ibn Muhammad al-Anbârî, Asrâr al-Arabiyyah, Tahqîq
Muhammad Bahjat al-Baithâr, (Damaskus: al-Majma’ al-Ilmi al-Arabi, t.th),
[2]Lihat, Nâyif Mahmûd Ma’rûf, Khashâ’ish
al-‘Arabîyah wa Tharâ’iq Tadrîsuhâ, Beirut: Dâr al- Nafâis, Cet. 5, 1998, h.
40.
[3]Lihat Harimurti Kridalaksan, Kamus Linguistik, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1993, h. 21, dan Ferdinand de Saussure, Course in General
Linguistics, New York: Mc Graw-Hill Book Company, 1966, h. 16.
[4]Abdul Chaer, Linguistk Umum, Jakarta: Rineka Cipta, Cet, II,
2003, h. 51.
[6]Nâyif Mahmûd Ma’rûf, Khashâ’ish al-‘Arabîyah wa Tharâ’iq
Tadrîsuhâ , h. 41.
[7]Padanannya dalam bahasa Inggris adalah style, yaitu cara
pengungkapan dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan
sesuatu yang hendak ia kemukakan. Sedangkan Leech dan Short mendefinisikannya
sebagai cara penggunaan bahasa dalam konteks tertentu oleh pengarang tertentu
untuk tujuan tertentu, dan seterusnya. Lihat M.H. Abrams, A Glossary of
Literary Terms, New York: Holt, Rinehart and Winston, 1981, hlm. 190. Lihat juga,
Geoffry N. leech dan Michael H Short, Style in Fiction: A Linguistic
Introduction to English Fictional Prose, (London: Longman, t. th), h. 10.
[8]Lihat Rusydi Ahmad Thu’aimah, Ta’lîm
al-Lughah al-‘Arabiyyah li ghair al-Nâthiqîn
bihâ, Mesir: ISISCO, 1989. h. 35. Menurut beliau
mengetahui karekteristik bahasa Arab akan dapat membantu pengajar bahasa Arab
dalam: 1. Penyajian materi (bahan) pengajaran, 2. Mengetahui kesulitan dan
kemudahan yang didapati ketika mengajar bahasa tersebut, 3. Melakakukan
analisis konrtrastif antara bahasa Arab dengan babasa-bahasa lain, 4.
Menjeleskan sistem bahasa Arab kepada siswa-siswa tingkat lanjutan pada program
pengajaran bahasa Arab untuk non Arab.
[9]I’râb menurut Ahmad Abdul Gaffar
adalalah: أثر ظاهر أو مقدر يحدثه العامل في اخر
الاسم المتمكن والفعل المضارع فيكون اخر الاسم مرفوعا أو منصوبا أو مجرورا, واخر
المضارع مرفوعا أو منصوبا أو مجزوما, وهذا الأثرالذي يحدثه العامل إما أن يكون
حركة أو حرفا أو سكونا أو حذفا. Lihat Ahmad Abdul Gaffar, Dirâsât Fî al-Nahwy al-Araby,
Kairo: al-Islam lil Thiba’ah, 1993, h. 86.
[10]‘Abd al-Qâdir ibn ‘Abd al-Rahmân al-Sa’di, Ahdâf
al-I’râb wa Shilatuh bi al-‘Ulûm al-Syar’iyyah wa al-Arabiyyah, Majalah
Jâmi’ah Ummu al-Qurâ li ‘Ulûm al-Syari’ah wa al-Lughah al-Arabiyyah wa Adâbiha,
jilid. 15, edisi 27, 1424 H, h. 562.
[11]Lihat ‘Abd Allah Jâd al- Karîm, al-Daras al-Nahwi Fî al-Qaran
al-‘Isyrîn, (Kairo: Maktabah
al-Adab, 2004), Cet. 1, h. 86 .
[12]Ahmad Abd al-Ghaffâr, Dirâsât Fî al-Nahwi al-Arabi, h. 90.
[13]Lihat, Muhammad ibn Abdul Malik al-Sarrâj al-Syantarînî, Tanbîh
al-Albâb ‘Ala Fadhâ’il al-I’râb, (Yordania: Dâr ‘Ammâr, 1995), cet. 1, h.
22.
[14]Lihat, Ibn ‘Ushfûr al-Isybilî, Syarh Jumal al-Zujâjî, tahqîq
Shâhib Abû Janâh, t. th, jilid. 1, h. 102.
[15]Lihat, Ahmad ‘Abd al-Ghaffâr, Dirâsât fî al-Nahwi al-‘Arabî,
(Kairo: al-Islâm li al-Thibâ’ah, 1993), jil.1, h. 86.
[16]Abû al-Fath Utsmân ibn Jinnî lahir di Mosul tahun 321 H. Asal
keturunan Ibn Jinnî tidak diketehui dengan jelas. Ayahnya keturunan Roma dan
Yunani, budak Sulaiman ibn Ahmad al-Azdî. Oleh karena itu Ibn Jinnî sering
menggunakan nama majikannya di belakang namanya, yaitu Abû al-Fath ibn Ahmad al-Azdî. Ibn Jinnî termasuk penulis yang
produktif, dia banyak mengarang kitab yaitun hampir mencapai 50 judul. Di antara karyanya adalah al-Khashâ’ish, Sirru al-Shinâ’ah,
al-Muhtasab, al-Luma’fî
al-‘Arabiyyah, al-Muntashif, Kitâb al-Mudzakkar wa al-Mu’annats, al-Wuqûf wa
al-Ibdâl, al-Mahâsin fî al-‘Arabiyyah al-Muqtadhab,dan lain-lain. Lihat, Syeikh Muhammad Thanthâwi, Nasy’at
al-Nahwi wa Târîkh Asyhar al-Nuhât hlm. 202. Syauqî Dhif, al-Madâris al-Nahwiyyah, (Kairo: Dâr
al-Ma’ârif: 1976), cet. 3, h. 265-276.
[17]Ibn Jinniy, al-Khashâ’ish, (Tahqîq Muhammad Ali al-Najjâr),
Bairut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabi, 1952, jilid 2, h.35.
[18]Lihat Abu Muhammad al-Qâsim ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Harîry, Syarah
Mulhatu al-I’râb, Tahqîq Kâmil Mushthafa al-Handâwi, Bairut: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 2005, cet. 2, h. 22.
[19]Lihat Mâzin al-Mubârak, al-Zujâjî Hayâtuhu wa Âtsâruhu wa
Mazhabuhu al-Nzhwî, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1984, cet. 2, h. 66.
[20]Nama lengkapnya adalah Abu al-Barakât ‘Abd al-Rahman ibn Abî
al-Wafâ’ Muhammad ibn ‘Ubaid Allah ibn Abî Sa’îd al-Anbari yang diberi gelar
Kamâl al-Dîn, lahir di distrik Anbar yaitu sebuah kota di tepi sebelah timur
sungai Ifrat, dekat Baghdâd Ibu kota Irak. Ia pernah belajar pada Madrasah
al-Nizhâmiyyah di Baghdâd. Belajar fiqh dari al-Imâm Abî Manshûr Sa’îd Muhammad
yang dikenal dengan ibn al-Razzâz yaitu seorang guru fiqh mazhab Syafi’i di
madrasah al-Nizhâmiyyah. Sedangkan ilmu bahasa dan sastra dia belajar dari
al-Imâm Abî Manshûr al-Jawâlîq Mauhûb ibn Ahmad. Kemudian ilmu nahwu ia
pelajari dari al-Imâm Abî al-Sa’âdât Hibat Allah ibn al-Syajarîk (w. 542 H) dan
al-Jawâlîqî (466-540 H). Di antara karyanya adalah al-Inshâf fî Masâil
al-Khilâf baina al-Bashriyyîn wa al-Kufiyyîn, Asrâr al-‘Arabiyyah, dan Nuzhat
al-Alibbâ’ fî Thabaqât al-Udabâ’, dan lain-lain. Lihat, Lihat ‘Abd
al-Rahmân Uthbah, Ma’a al-Maktabah al-‘Arabiyyah: Dirâsah fi Ummahât
al-Mashâdir wa al-Marâji’ al-Muttashilah
bi al-Turâts, (Bairut: Dâr al-Awzâ’î, 1986), cet. III, h. 292.
[21]Lihat, Abû al-Barakât Abd al-Rahmân Ibn Muhammad al-Anbârî, Asrâr
al-Arabiyyah, Tahqîq Muhammad Bahjat al-Baithâr, (Damaskus: al-Majma’
al-Ilmi al-Arabi, t.th), h. 18-19.
[22]Lihat, Abû al-Barakât Abd al-Rahmân Ibn Muhammad al-Anbârî, Asrâr
al-Arabiyyah, Tahqîq Muhammad Bahjat al-Baithâr, h. 19.
[23]‘Âmil adalah faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan harakat
pada akhir kata dalam suatu kalimat, sehingga akhir kata tersebut berubah
menjadi rafa’, nashab, jar, atau jazam. Menurut riwayat Muhammad
ibn Salâm al-Jumhî, ‘Abd Allah ibn Abî Ishâq al-Hadhramî (w. 117 H) adalah
orang pertama yang menciptakan teori ‘âmil ini pada ilmu nahwu, kemudian
diikuti oleh ‘Îsâ ibn ‘Umar (w. 149 H), dan berkembang melalui Khalîl ibn Ahmad
al-Farâhîdî (w. 179 H). Lihat ‘Abbâs
Hasan, al-Nahwu al-Wafî, Kairo: Dâr al-Ma’ârif, t.th, cet. 3, h. 75. Lihat juga,’Abd Allah Ahmad Jâd al-Karîm, al-Ma’na
wa al-Nahwu, (Maktabah al-Âdâb, 2002), cet. 1, h. 43. Lihat juga Thalâl ‘Alâmah, Tathawwur al-Nahwi al-‘Arabi,
Bairut: Dâr al-Fikr al-Lubnâni, 1993, cet. 1, h. 37. Lihat juga, ‘Abd al-Qâhir
al-Jujânî, al-‘Awâmil al-Mi’ah fi Ushûl ‘Ilm al-‘Arabiyyah, Tahqîq
Zahrân al-Badrâwî, (Kairo: Dâr al-Ma’arif, 1988), cet. 2, h. 73.
[24]Nama lengkapnya adalah Jamâl al-Dîn Abû Muhammad ‘Abd Allah ibn
Yûsuf ibn Ahmad ibn ‘Abd Allah ibn Hisyâm al-Anshârî. Dia merupakan ahli nahwu
yang termasyhur pada masa al-Mamâlîk, lahir di Kairo pada tahun 708 H. Ia
pernah mendengarkan Dîwân Zuhair ibn Abî Sulmâ dari Abû Hayyân, ia pernah juga
belajar dengan Tâj al-Dîn al-Tabrîzî. Ia pernah belajar fiqh dengan Imâm
al-Syâfi’i, kemudian pindah menjadi panganut mazhab Hanbali. Di antara karyanya
adalah Qathr al-Nadâ wa Ballu al-Shadâ, Syudzûr al-Dzahab fi Ma’rifah Kalâm
al-‘Arab, Audhahu al-Masâlik ilâ alfiyah ibn Mâlik, Syarah al-Tashîl ibn Mâlik,
al-Jâmi’ al-Shaghîr, al-Jâmi’ al-Kabîr, al-I’râb ‘an Qawâ’id al-I’râb, ‘Umdah
al-Thalib fi al-Tahqîq Tashrîf ibn al-Hâjib. Lihat ‘Abd al-Karîm Muhammad
al-As’ad, al-Wasîth fî Târîkh al-Nahwi al-‘Arabî, Riyadh: Dâr al-Syawâf,
1992, cet. 1, h. 210. Lihat juga, Syauqî Dhif, al-Madâris al-Nahwiyyah,
(Kairo: Dâr al-Ma’ârif: 1976), cet. 3, h. 346- 348.
[25]Ibn Hisyâm, Syarah Syudzûr al-Dzahab Fî Ma’rifah Kalâm al-‘Arab,
Kairo: Maktabah al-Kulliyyât al-Azhariyyah, t.t, h. 42.
[26]Mushtafa al-Ghalâyîni, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, Bairut:
al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1984, cet. 17, jilid. 1, h. 16.
[27]‘Abbâs Hasan, al-Nahwu al-Wafî, Kairo: Dâr al-Ma’ârif, t.th,
cet. 3, h. 74.
[28]Harakat merupakan bagian dari fonem, studi tentang harakat ini
dipandang penting sebab ia beruba-ubah, ia juga menentukan bentuk (shîghah)
suatu kata dan memperjelas makna. Dalam bahasa Arab harakat ada tiga, yaitu: fathah,
dhommah, dan kasrah, tetapi tingkatan harakat ini dari segi panjang
dan pendeknya terbagi kepada enam bagian, yaitu: fathah dan fathah
thawîlah, dhommah dan dhommah thawîlah, kasrah dan kasrah
thawîlah. Lihat Riyadh Zaki Qâsim, Tiqaniyyât al-Ta’bîr al-‘Arabi, (Bairut,:
Dâr al-Ma’rifah, 2000), cet. 1, h. 91.
[29]Lihat, Ahmad ‘Abd al-Sattâr al-Jawârî, Nahwu al-Ma’ânî,
(Mathba’ah al-Majma’ al-‘Ilmi al-Irâqî, 1987), h. 34.
[30]Lihat, Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir,
jilid. 1, h. 201.
[31]Lihat, Hammâsah ‘Abd al-Lathîf, al-‘Alâmah al-I’râbiyyah,
(Kairo: Dâr al-Fikr, t.th), h. 277.
[32]Lihat, Fâdhil Shâlih al-Sâmirâ’i’, Ma’ânî al-Nahwi, (Kairo:
Syarikah al-‘Âtik, t.th), jilid. 1, h. 33.
[33]Lihat, Majallah al-Turâts al-‘Arabî, (Damaskus: edisi. 108,
tahun ke 27, Desember 2008).
[34]Yang dimaksud dengan maf’ûl ma’ah (المفعول معه)
adalah isim yang mansûb yang posisinya berada setelah huruf waw yang
mempunyai makna “bersama” (مع). Sedang menurut
Musthafâal-Ghalâyainî adalah: isim pelengkap (isim fadhlah) yang
terletak setelah huruf wâw yang bermakna “bersama” (ma’a) yang
didehului oleh kalimat untuk menunjukan terjadinya sesuatu bersamaan dengannya.
Untuk memperdalam tentang maf’ûl ma’ah ini silahkan lihat, Mushthafâ
al-Ghalâyainî, Jâmi’ al Durûs al-‘Arabiyyah, (Bairut: Maktabah
al-‘Ashriyyah, 2003), cet. 1, jilid. 2, h. 456-459. Lihat juga, ‘Abd al-‘Azîz
ibn Muhammad al-Fantûkh dkk, Tahdzîb Syarh Ibn ‘Aqîl li Alfiyah Ibn Mâlik,
(Riyadh: Jâmi’ah al-Imâm Muhammad ibn Sa’ûd al-Islâmiyyah, 1420), h. 78.
[35]Menurut Mushthafâ al-Ghalâyainî, istitsnâ adalah: إخراج ما بعد "إلا" أو إحدى أخواتها من أدوات
الاستثناء من حكم ما قبله (mengeluarkan kata yang berada setelah "إلا" atau salah satu dari kawan-kawannya yaitu: غير – سوى – خلا – عدا – حاشا dari hukum yang dimiliki oleh kalimat yang
sebelumnya. Untuk mengetahui lebih dalam tentang istitsnâ ini silahkan baca,
Mushthafâ al-Ghalâyainî, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, h. 493.
[36]Dhamîr adalah isim yang menunjukkan atas orang pertama (al-Mutakallim),
orang kedua (al-Mukhâthab), atau orang ketiga (al-Ghâ’ib). Dhamîr
ini terbagi kepada dua bagian, yaitu tersembunyi (mustatar) dan tampak (bâriz),
dan yang
tampak (al-Bâriz) ini terbagi dua, yaitu:1.al-Muttashil , yaitu
yang tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan dengan fi’il atau isim, seperti tâ
al-Fâ’il dari (قرأتً), alif al-Itsnain dari (كتبَا), dan wâw al-Jamâ’ah dari (ذهبوا) 2. al-Munfashil,
yaitu yang berdiri sendiri seperti: أنا – أنت –
نحن – أنتما – أنتم – أنتن – هو – هي – هما – هم – هن . Untuk lebih memperdalam masalah dhamîr ini
silahkan baca, Muhammad ‘Ali Abû al-‘Abbâs, al-I’râb al-Muyassar, (Kairo: Dâr
al-Thalâ’i, t.th), h. 14-17.
[37]Lihat, Majallah al-Turâts al-‘Arabî, (Damaskus: edisi. 104,
tahun ke 21, 2006).
[38]Dasar
dan asal dari dibuatnya kalimat baik dalam bentuk ujaran maupun tulisan adalah
untuk memberikan pemahaman (al-Ifhâm) kepada penerima kalimat tersebut. Sebab
seseorang berbicara atau menulis
tujuannya adalah menyempaikan pemikiran dan ide kepada pendengar atau pembaca.
Jadi, kaidah bahasa (al-Nizhâm al-Lughawî) dibuat untuk memberikan
pengertian yaitu untuk menyempaikan maksud dan tujuan pembicara kepada
pendengar.
[42]Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn ‘Abd Allah ibn’Abd Allah ibn
Mâlik Jamâl al-Dîn Abû ‘Abd Allah al-Jayyânî lahir di Jayyân pada tahun 601 H.
Dia pernah belajar dengan ibn Hâjib di Mesir pada tahun 630, belajar dengan
al-Sakhâwî di Damaskus, dan belajar dengan ibn Ya’îsy al-Halabî di Halab.
[44]Nama
lengkapnya Abû al-Husain ibn al-Tharâwah. Dia merupakan salah satu ahli nahwu
yang paling menonjol pada masa keemasan Andalus. Dia belajar “kitab Sibawaihi “
dari al-A’lam Yûsuf ibn Sulaimân (w. 476 H), kemudian di antara guru-gurunya
yang lain adalah: Abû Marwân ‘Abd al-Malik ibn Sarrâj (w. 489 H) dan Abû
al-Walîd ibn Khalaf al-Bâjî (w. 474 H). Dia banyak berbeda pendapat dengan
mayoritas (jumhûr) al-Nuhât secara umum, dan dengan Sibawaihi secara
khusus. Di antara karya-karyanya adalah: al-Muqaddimât ilâ ‘Ilm al-Kitâb,
Syarh al-Musykilât ‘alâ Tawâlî al-Abwâb, Tarsyîkh al-Muqtadâ, Maqâlah fî
al-Isim wa al-Musammâ al-Ifshâh bi Ba’dhi mâ Jâ’a min al-Khatha’ fî al-Îdhâh. Lihat,
Mazîd Ismâ’îl Na’îm dan Rûfâ’îl Marjân, Abû al-Husain ibn al-Tharâwah wa
Ârâ’uhu fî al-Nahwi wa al-Sharf, Majallah Jâmi’ah Tisyrîn li al-Dirâsah wa
al-Buhûts al-‘Ilmiyyah: Silsilah al-Âdâb wa al-‘Ulûm al-Insâniyyah, jil. 27,
edisi.2, 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar