Syahrudi Ramli[1]
Abstrak
Mukaddimah, salah satu karya Ibnu Khaldun
telah memberikan gambaran yang tepat kepada seluruh pembaca modern tentang
tingkatan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam abad pertengahan. Salah satu
sumbangan dari karyanya tersebut kepada ilmu politik adalah filsafat ashabiyah
tentang pembentukan negara, kejayaan dan keruntuhannya, serta hubungannya
dengan agama.
Kata Kunci : Ibnu Khaldun; Filsafat Ashabiyah
A. Pendahuluan
Profesor Arnold Toynbee di dalam bukunya A Study
of History mengomentari Prolegomena (AL-Mukaddimah) karya Ibnu Khaldun yang
terkenal : “It is the greatest work of its kind that has been created by any
mind in any time or place”. Beliau menganggapnya suatu karya yang terbesar
dalam sejarah yang pernah ada. Karena kebesaran Ibnu Khaldun itulah, Dr. Shawky
Sukkary menyandangkan sebutan kepada Ibnu Khaldun sebagai seorang filosof, ahli
sejarah, ahli pendidik, penulis ulung, diplomat kawakan, politisi dengan
segudang pengalaman yang patut mendapat kehormatan dan pujian. Bahkan dalam
ukuran modern sekalipun.[2]
Ironisnya penghargaan terhadap Ibnu Khaldun
dipelopori oleh sarjana-sarjana Barat, di dunia Arab karya sejarahnya baru
diterbitkan pada tahun 1867, sedangkan otobiografinya pada tahun 1951.[3]
Kehidupan Ibnu Khaldun penuh dinamika politik, gonta-ganti raja, pindah daerah
dan tempat, tugas berat yang disandangnya penuh resiko dan intrik, adalah
gambaran kemunduran kerajaan Islam yang terpecah-pecah menjadi
kerajaan-kerajaan kecil, saling menyerang dan menguasi, sehingga karya-karyanya
yang cemerlang ibarat lemparan bola atau uluran tangga berupa dasar-dasar
pengetahuan modern tidak ada sarjana muslim yang menyambutnya. Tepat apa yang
digambarkan George Sarton dalam bukunya Introduction to The History of
Science bahwa Ibnu Khaldun laksana sebuah bangunan raksasa yang menjulang
tinggi sebagai ahli sejarah di tengah suku-suku kecil, bahkan seorang ahli
filsafat sejarah pertama, pembuka jalan bagi Machiavelle, Bordin, Comte, dan
Curnat.[4]
Lebih dari itu, kaya-karya Ibnu Khaldun, seperti Mukaddimah,
telah memberikan kepada pembaca modern yang bukan spesialis suatu gambaran yang
tepat dan terang tentang tingkatan-tingkatan ilmu pengetahuan yang ada dalam
dunia Islam abad pertengahan. Ahli-ahli pikir muslim lainnya, terutama Ibnu
Sina, Ibnu Rusyd, dan Al-Ghazali, memang mempunyai pandangan yang lebih dalam
masalah metafisika dan agama, dan pengaruh mereka di Eropa besar. Tetapi, Ibnu
Khaldun selain mengambil manfaat dari teori spekulasi filsafat mereka, jauh
melebihi mereka dalam pengertian dan penguasaan masalah-masalah masyarakat yang
empiris.[5]
Salah satu sumbangan yang asli dari Ibnu Khaldun
yang dapat digali dari karyanya yang terkenal Al-Mukaddimah kepada ilmu politik
adalah filsafat ashabiyah tentang pembentukan negara, kejayaan dan
keruntuhannya, serta hubungannya dengan agama. Pada paparan berikutnya akan
diidentifikasi filsafat ashabiyah tersebut, kemudian dalam pembahasannya lebih
lanjut akan melihat bukti dan implikasinya dalam perjalanan sejarah yang lalu
hingga yang sedang aktual.
B. Riwayat
Hidup Ibnu Khaldun
Nama lengkapnya adalah Waliyuddin
Abdurrahman Ibnu Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Abi Bakar Muhammad Ibnu Hasan Ibnu
Khaldun. Dilahirkan di Tunisia pada awal bulan Ramadhan 732 H (27 Mei 1333 M)
dan wafat di Kairo pada tanggal 25 Ramadhan 808 H bertepatan dengan 19 Maret
1406 M (Badri Yatim, 1997:139).
Ia belajar membaca Al-Qur’an hingga
hapal, beserta sepuluh macam qira’at, bahasa Arab dan sastra dari ayahnya
sendiri. Di samping itu, ia belajar hadis, ilmu fiqh, ushuluddin, filologi,
logika dan filsafat dari guru-guru dan ulama-ulama kenamaan lainnya. Ada di
antara mereka yang oleh Ibnu Khaldun dianggap menonjol, seperti Muhammad
As-Sati’, Abdul Muhaimin Al-Hadrami, Muhammad Ibrahim Al-Abili.[6]
Ia melawat ke Barat pada tahun 1352,
terdesak oleh pertengkaran politik pada saat itu dan wabah pes pada tahun
1348-1349, yang merenggut nyawa orang tuanya dan sebagian besar guru-gurunya.
Setelah tinggal sebentar di Bougie ia menetap di Fez, di istana Sultan Abu
Inan, yang sedang merekrut para sarjana untuk dewan ilmiahnya yang baru. Dari
Fez, dimana dalam satu kesempatan ia memperoleh kedudukan administratif yang
tinggi di bawah Abu Salim, penerus Abu Inan, kemudian ia pindah ke Granada
tahun 1362. Kemudian ia tertarik kembali ke Fez dan Bougie, dimana ia juga
menduduki jabatan penting di istana. Namun, di sepanjang tahun-tahun yang penuh
kesukaran dan sekalipun banyak panggilan untuk mengisi jabatan publik yang
sering ia gumuli, Ibnu Khaldun merindukan suatu kehidupan yang sepi untuk studi
dan meditasi. Selama selang waktu yang singkat selama penyepiannya itu pada
tahun 1377 ia telah menyelesaikan karyanya yang paling penting, Al-Mukaddimah,
yang merupakan sebuah pengantar bagi sejarah dunianya, kitab Al-‘Ibar. Jemu
dengan kehidupan publik dan pengabdian penuh resiko kepada penguasa yang terus
berganti-ganti di Afrika Utara, ia bertolak ke Iskandariah pada tahun 1382. Di
Kairo Sultan Mamluk Al-Malik Al-Dhahir Barquq, mengakui prestasinya yang besar
sebagai sarjana dan ahli hukum. Pada tahun 1384 ia ditetapkan sebagai profesor
hukum Malik dan kemudian sebagai Hakim Agung Maliki Mesir. Ia tinggal di Mesir
hingga akhir hidupnya.[7]
Secara umum dapat dibagi menjadi empat
fase, yaitu :
Pertama,
fase kelahiran, perkembangan, dan studi. Fase ini berlangsung sejak kelahiran
sampai 20 tahun, dari tahun 732 H/1332 M hingga 751 H/1350 M. Fase ini
dilaluinya di Tunisia.
Kedua, fase bertugas
di pemerintahan dan terjun di dunia politik di Maghribi dan Andalusia, yaitu
tahun 751 H/1350 M sampai tahun 776 H/1374 M.
Ketiga, fase
kepengarangan, ketika ia berpikir dan berkontemplasi di benteng Ibnu Salamah
milik Banu Arif, yaitu sejak tahun 776 H/1374 M sampai 784 H/1382 M.
Keempat,
fase mengajar dan bertugas sebagai Hakim Negeri di Mesir, yaitu dari tahun 784
H/1382 M sampai wafatnya tahun 808 H/1406 M (Badri Yatim, 1997 : 40).
Dalam keempat fase tersebut banyak
pengalaman pahit yang dialaminya, seperti kematian orang tua dan gurunya yang
terserang penyakit pes menular, beberapa kali di penjara, pernah diusir,
tenggelam istri dan anak-anaknya serta harta benda ketika menuju Iskandariah,
dan sebagainya. Pengalamannya yang menarik antara lain menjadi utusan raja
Muhammad V, raja Granda Andalusia berunding dalam rangka perdamaian dengan raja
Kristen Pedro El Cruel di istananya di Castilla Serville. Raja Pedro El Cruel
sangat terkean dengan kinerja diplomatik Ibnu Khaldun hingga sampai dibujuk
untuk berpihak kepadanya dengan janji akan menyerahkan kembali kepadanya harta
nenek moyangnya di Serville, Ibnu Khaldun menolak bujukan itu.[8]
Pengalamannya yang paling menarik dan
bersejarah ialah pertemuannya dengan Timur Lank si penakluk dunia, di dalam tenda
Timur Lank selama 35 hari.[9] Dalam melaksanakan tugas yang sangat
berbahaya tersebut turun dari menara kota yang tertutup, meluncur dengan
tambang dan dengan segala keberaniannya terus ke kemah Timur Lank, padahal umurnya
sudah mencapai 70 tahun.[10]
(Ali Audah, tt :19).
C. Filsafat
Ashabiyah, Hubungannya dengan Agama dan Negara
Pengistilahan Ashabiyah diambil dari
Al-Qur’an Surah Yusuf ayat 14 : “Jika dia dimakan serigala, padahal kami
segolongan, sungguh kami orang-orang yang merugi”. Ayat di atas mengungkapkan
perkataan saudara-saudara Yusuf A.S. kepada ayah mereka, Nabi Ya’qub. Dari kata
“nahnu ushbatun” mengandung arti rasa satu golongan, rasa satu darah,
dan sebagainya. Rasa satu darah itulah yang merupakan suatu kekuatan yang
mengikat pada umumnya manusia, merasa ikut menderita apabila keluarganya atau
golongannya tertimpa penderitaan.
Ashabiyah adalah perasaan satu kelompok,
atau kekuatan kelompok, atau solidaritas sosial, yang timbul secara alamiyah
dalam kehidupan manusia karena adanya pertalian darah atau pertalian perkauman.
Perasaan cinta kasih tersebut menimbulkan perasaan senasib, sepenanggungan,
kesatuan harga diri, rasa saling setia, rasa saling membutuhkan, terlebih pada
saat menghadapi musibah atau ancaman musuh, atau untuk mencapai tujuan
tertentu. Rasa persatuan itu bisa saja muncul antara mawali dan tuannya karena
hubungan yang akrab bagaikan hubungan nasab. Oleh karena itu, hubungan itu bisa
bersifat khusus karena hubungan nasab tapi bisa juga menjadi umum di luar nasab
karena ada pemicu dan unsur perekat kohesi sosial untuk bersatu.[11]
Jadi tumbuhnya Ashabiyah karena
keturunan, hubungan dekat, hubungan bertetangga yang harmonis, persekutuan dan
hubungan antar pelindung dan dilindungi, yang melahirkan cinta kasih, senasib
sepenanggungan dan kerja sama dalam menghadapi suka duka.
Ashabiyat yang berdasarkan keturunan,
menurut Ibnu Khaldun adalah Ashabiyat yang jelas dan nyata. Tetapi kondisinya
menjadi berubah dengan perubahan zaman. Di kota-kota besar hubungan darah
menjadi longgar, tetapi hubungan profesi nampak lebih kental, karena adanya
kesaman tujuan, malah telah terjadi pembauran yang terdiri dari aneka keturunan
dan etnis. Pembauran semacam itu menurut Ibnu Khaldun adalah wajar dan alamiyah
sesuai dengan alam watak manusia yang cenderung bermasyarakat untuk memperoleh
keuntungan dan kepuasan lahir dan batin.[12]
Ashabiyah berupa rasa ketergantungan dan
kebersamaan antar dan inter masyarakat menghajatkan pemimpin yang menjadi
komando gerakan untuk kepentingan bersama dan menjadi pencegah perselisihan,
pelanggaran dan kejahatan masyarakat. Pemimpin tersebut harus punya kekuatan
dan kedaulatan, jika tidak ia tidak dapat menjalanan kekuasaannya yang efektif,
dari sini timbullah negara, dan pemimpin negara.
Pemegang kedaulatan akan lebih kuat,
jika dilegitimasi dengan agama yang memiliki kekuatan moral, karena kohisi
sosialnya akan lebih kental. Tetapi agama juga dalam penyebarannya dan
pelaksanaannya sangat menghajatkan kepada Ashabiyah dan tanpa Ashabiyah
tidak sempurna, oleh karena itu, Allah selalu mengutus nabi dari kaumnya
sendiri.[13]
Berbicara tentang Ashabiyah Ibnu
Khaldun, Munawir Sjadzali menyimpulkan empat point :
Pertama, solidaritas kelompok itu
terdapat dalam watak manusia, dasarnya bermacam-macam; ikatan darah atau
persamaan keturunan, bertempat tinggal berdekatan atau bertetangga, persekutuan
atau aliansi. Pembangkit rasa persatuan itu bisa satu atau lebih dari
ikatan-ikatan tersebut.
Kedua, adanya solidaritas kelompok yang
kuat merupakan suatu keharusan bagi bangunannya suatu dinasti atau negara
besar. Oleh karena itu jarang terjadi suatu dinasti dapat berdiri di suatu
kawasan di mana terdapat beraneka ragam suku. Sebab dalam keadaan demikian
masing-masing suku mempunyai kepentingan dari aspirasi yang berbeda satu sama
lainnya, dan tiap kepentingan dan aspirasi suku-suku tersebut didukung oleh
Ashabiyah suku, atau dengan perkataan lain dinasti yang besar dan kuat hanya
dapat berdiri apabila terdapat homogenitas, sehingga menimbulkan solidaritas
kelompok yang kuat.
Ketiga, seorang kepala negara atau raja
agar mampu secara efektif mengendalikan ketertiban negara dan melindunginya,
baik terhadap ancaman dari luar, harus memiliki wibawa yang besar dan kekuatan
fisik yang memadai. Untuk itu dia memerlukan solidaritas kelompok yang besar
dan kuat berupa loyalitas dari kelompoknya dalam menghadapi tantangan, baik
dari dalam maupun dari luar negeri terhadap otoritas dan kekuasaannya. Oleh
karena itu, dari berbagai Ashabiyah atau solidaritas kelompok yang terdapat di
negara itu, kepala negara atau raja harus berasal dari solidaritas kelompok
yang paling dominan.
Keempat, banyak dinasti atau negara yang
bangun dari atau karena agama, oleh karena kekuasaan yang dimiliki oleh
penguasa atau raja itu berkat adanya superioritas atau keunggulan. Keunggulan
tercapai karena adanya solidaritas kelompok yang kuat, dan hanya dengan
pertolongan tuhan dalam menegakkan agama maka manusia sepakat untuk tidak
memaksakan kemauan atau ambisinya masing-masing, dan sebaliknya bersatu hati
untuk mengusahakan tujuan-tujuan yang lebih mulia. Khususnya bagi bangsa Arab,
menurut Ibnu Khaldun, mereka hanya akan berhasil mendirikan dinasti atau negara
kalau dibantu oleh agama, hal itu disebabkan oleh karena bangsa Arab merupakan
suatu bangsa “yang paling tidak mau tunduk satu sama lain, kasar, angkuh,
ambisius, dan masing-masing ingin menjadi pemimpin.[14]
Ungkapan Ibnu Khaldun bahwa bangsa Arab
hanya akan berhasil mendirikan dinasti atau negara kalau dibantu oleh agama
dapat kita buktikan pada keberhasilan Nabi Muhammad SAW. mempersatukan Arab dan
menjadikannya menjadi satu kekuatan dinasti yang tidak terjalahkan. Ashabiyah
Arab menyatu dalam Ashabiyah Islam, mungkin inilah rahasia dari firman Allah
SWT dalam Yunus ayat 2 : “Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Al-Qur’an
dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya (berpikir)”.
Selain itu, dalam banyak ayat Allah juga
menyebutkan bahwa Allah memilih bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an, sehingga
bahasa Islam adalah bahasa Arab. Nabi Muhammad SAW menyebarkan dakwah Islam
kepada masyarakat Arab dengan menggunakan bahasa Arab dengan alasan utama
karena penduduk di jazirah tersebut berkomunikasi dengan menggunakan bahasa
tersebut. Bahkan, ketika nabi mengirimkan surat kepada para raja dan pemimpin
di Asia dan Afrika selalu menggunakan bahasa Arab dalam surat-surat beliau.[15]
Dengan Islam lah Rasulullah SAW
mempersaudarakan dan mempersatkan orang Arab, bukan hanya antara penduduk
Madinah, tapi antara penduduk Makkah dan Madinah. Contoh yang paling
mengesankan ketika muslim Makkah berhijrah ke Madinah, Rasulullah mengajarkan
persaudaraan antara kaum muslimin. Paman Nabi, Hamzah ra, dipersaudarakan
dengan maulanya, Zaid. Abu Bakar menjadi saudara Kharijah bin Zaid. Demikian
pula, kaum Anshar dan Muhajirin juga membentuk tali persaudaraan Umar bin
Khattab dan Utbah bin Malik Al-Zajraji bersaudara sebagaimana Thalhah bin
Ubaidillah bersaudara dengan Abu Ayyub Al-Anshari, serta Abdurrahman bin Auf
bersaudara dengan Saad bin Al-Rabi’. Persaudaraan ini memberi pengaruh yang
nyata di kalangan kaum muslimin, khususnya kaum Muhajirin. Kaum Anshar memberi
mereka uang dan barang milik mereka. Mereka membantu kaum Muhajirin dengan
perdagangan dan pertanian.[16]
Penyatuan keashabiyahan Arab kepada
Islam menjadi tulang punggung keberhasilan perluasan Islam. Dalam menerangkan
hal tersebut Ibnu Khaldun mengutip ayat Al-Qur’an surah Al-Anfal Ayat 63;
“Walau kamu membelanjakan semua kekayaan yang berada di bumi, niscaya kamu
tidak mempersatukan hati mereka”.[17]
Karena Ashabiyah Islam inilah, Ashabiyah
kesukuan Arab menjadi luntur dan terkesampingkan. Dengki antara suku, saling
mau menang sendiri, teredam di dalam keikhlasan memperjuangkan dan
mempertahankan Islam. Inilah yang menjadi rahasia kemenangan Islam ketika
penaklukan oleh Islam pertama, Tentara Islam dalam perang Yarmuk dan Qadisiah
berjumlah kurang dari 30.000 orang, padahal Persia di Qadisiah berjumlah
120.000 orang, sedangkan tentara Heraklius menurut Al-Waqidi, terdiri dari
400.000 orang. Sungguh pun demikian, kedua lawan tersebut tidak sanggup
berhadapan dengan tentara Arab, dan keduanya dikalahkan.[18]
Inilah pula mungkin menjadi rahasia perkataan Khalid bin Walid, yang dijuluki
Saifullah (pedang Allah), berkata : “Orang-orang yang bersamaku ini lebih
mencintai kematian sebagaimana kalian mencintai kehidupan”. Kata-kata ini
membuat musuh ketakutan. Selain itu, keberanian para mujahidin yang tidak
pernah tertandingi oleh orang non muslim. Ada suatu riwayat pada perang
Khandaq, seorang muslim kehilangan kakinya. Menyadari ia tidak lagi mempunyai
pedang di tangan, mujahid ini memungut kakinya yang telah putus memukul orang
kafir, dan akhirnya membunuh orang kafir tersebut.[19]
Filsafat Ashabiyah adalah berdasar hasil
pengamatan Ibnu Khaldun terhadap fenomena sosial di lingkungan hidupnya dan
perjalanan sejarah yang diamatinya, sesuai dengan penjelasannya bahwa fenomena
sosial itu tidak berjalan secara tiba-tiba, atau sesuai dengan kehendak
individu, tetapi berjalan tumbuh, dan berkembang sesuai dengan hukum-hukum yang
tetap. Seperti, hukum yang berlaku bagi perjalanan bulan, yang membesar dan
mengecil, hukum pergantian siang dan malam, dan hukum pergantian musim.
Berdasarkan pengamatan terhadap
pertumbuhan, perkembangan, kemudian keruntuhan suatu dinasti, Ibnu Khaldun
menganggap proses perkembangan tersebut sebagaimana perkembangan alami seorang
individu, menurutnya umur generasi itu biasanya hanya tiga generasi, satu
generasi sama dengan empat puluh tahun. Dengan demikian, umur satu negara
adalah seratus dua puluh tahun.
Ibnu Khaldun mengukur satu generasi
empat puluh tahun berdaasr sebuah hadis bahwa seorang muslim itu berumur antara
enam puluh tahun dan tujuh puluh tahun, itu tidak akan lebih dari 120 tahun,
sebagaimana umur Nabi Nuh as. Dan beberapa orang dari kaum Ad’ dan Tsamud.
Beliau juga mengutip sebuah firman Allah dalam Al-Qur’an surah Al-Ahqaf ayat 5
: “...Sehingga apabila telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun..”.
memperkuat kesimpulannya ini adalah berdiamnya anak cucu Israil di padah Tiih,
di semenanjung Sinai selama empat puluh tahun. Bilangan empat puluh tahun itu
dimaksud menyatakan dan membuat lenyapnya generasi senior, serta tumbuh
berkembang generasi baru yang tidak pernah mengalami dan tidak pernah tahu penghinaan
kolonialisasi di Mesir.[20]
Sebelumnya orang-orang Israel dihinakan
oleh bangsa lain sehingga hilang rasa bangga mereka dan rasa Ashabiyah mereka.
Ketika mereka diajak Nabi Musa as. Datang ke Syiria untuk menjadi raja-raja di
sana, sebagaimana ditentukan Allah kepada mereka, mereka merasa lemah dan
berkata : “Sesungguhnya di negeri itu ada orang-orang perkasa, sesungguhnya
kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar dari padanya “
(Al-Maidah, ayat 22). Ketika Musa as. Bersikeras untuk berperang, mereka
menjawab, “Pergilah engkau sendiri beserta Tuhanmu dan berperanglah”
(Al-Maidah, ayat 24). Demikian kata mereka kepada Musa as. Ini gambaran akan
hilangnya rasa kebanggaan diri dan rasa Ashabiyah di hati mereka, oleh karena
itu untuk menumbuhkan rasa Ashabiyah tersebut bagi generasi baru perlu waktu
empat puluh tahun. Maka Allah memerintahkan mereka sebagai siksaan untuk
menetap di padang Tiih yang terletak antara Mesir dan Syiria selama empat puluh
tahun, supaya timbul rasa Ashabiyah yang telah hilang akibat kekejaman
orang-orang Amerika di Syiria dan orang-orang Qibti di Mesir terhadap mereka.[21]
Menurut Ibnu Khaldun umur 120 tahun
untuk tiga generasi ini dibagi menjadi empat tahapan, yang harus dilalui
masyarakat tersebut.
Pertama, tahap primitif (al-Badawah).
Perhatian individu pada tahap ini hanyalah tertuju kepada penghidupannya. Dia
memiliki sifat yang keras untuk menghidupi dirinya, bahkan siap mencaplok orang
lain dengan kejam. Tanda yang lainnya, yaitu fanatisme terhadap garis
keturunannya.
Kedua, tahap pemilikan (al-Mulk).
Pada tahap ini kekuatan masyarakat terpusat pada tangan seseorang, keluarga,
dan atau suatu golongan. Fanatisme pada tahap ini dilakukan secara
terang-terangan. Bahkan, melekat pada setiap jiwa manusia. Masyarakat pada
tahap ini beralih dari penghematan kepada pemborosan, dari masyarakat yang
primitif kepada masyarakat yang beradab.
Ketiga, tahap beradab dan kemakmuran.
Pada tahap ini individu masyarakat telah melupakan makna kekerasannya. Mereka
telah meninggalkan masa produktifnya dan suka bersenang-senang, sehingga
memberatkan uang negara. Kemampuan para penguasa menurun, tetapi keterlibatan
mereka dalam bersenang-senang meningkat.
Keempat, adalah tahap kelemahan,
kerusakan akhlak, dan kemunduran. Pada tahap ini, negara menjadi mangsa yang
empuk untuk serangan musuh dari luar. Keruntuhan tidak bisa lagi ditahan,
karena ibarat usia sudah sampai pada ajal, Allah berfirman dalam surah An-Nahl
ayat 61 “Kalau ajal mereka telah tiba, mereka tidak kuasa menunda atau
mempercepat kematiannya, walaupun sesaat”.[22]
Pada bagian lain dari bukunya
Al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun mengungkapkan teori perkembangan sebuah negara
melalui lima tahapan (fase) :
Fase pertama, saat mengalahkan musuh dan
lawannya. Pada fase ini penguasa dijadikan model oleh pengikutnya dalam hal
memungut pajak, mempertahankan dan melindungi wilayah kekuasaan. Pada fase ini
penguasa tidak menjauh dari pengikutnya.
Fase kedua, penguasa memerintah secara
otokratik dan memulai menyisihkan saingannya, atau menjauhkan diri dari
pengikutnya. Diciptakan vazal-vazal dan pengikut baru demi melemahkan posisi
pemegang Ashabiyah dan keluarga dekat yang mengklaim sebagai sejajar dengannya
dalam memerintah negara. Pada fase ini penguasa didukung oleh sejumlah kecil
individu yang “asing”, tidak mempunyai hubungan darah atau hubungan suku
dengannya.
Fase ketiga, adalah fase
bersenang-senang dan fase ketenangan. Fase ini juga ditandai oleh kecendrungan
untuk hidup mewah dan kesukaan membangun menumen-monumen. Penguasa menggunakan
seluruh kekuatannya untuk menarik pajak, mengatur pendapatan dan pengeluaran,
dan mempertimbangkan biaya untuk bangunan mewah. Penguasa juga bersifat
dermawan kepada semua pengikutnya sesuai dengan posisi masing-masing. Penguasa
melakukan inspeksi terhadap pasukannya dan memberikan limpahan materi kepada
mereka. Dengan cara ini diharapkan negara-negara lain akan takut berhadapan
dengannya. Fase ini adalah fase terakhir di mana penguasa memerintah secara
otokratik dan membuat keputusan secara sendiri.
Fase keempat, adalah fase bahagia dan
damai, bahkan dengan pihak musuh. Penguasa sudah merasa puas dengan apa-apa
yang telah dilaksanakan oleh para pendahulunya yang senantiasa dijadikan
contoh. Ini adalah fase klimaks dari sebuah perjalanan kekuasaan.
Fase kelima, adalah fase pemborosan dan
kemewahan. Pada fase ini penguasa menghancurkan apa yang telah dibangun oleh
para pendahulunya demi mengikuti nafsu, kesenangan dan sifat pemurah terhadap
lingkaran intinya. Pada fase ini ia dikelilingi oleh para teman-teman palsu dan
orang-orang jahat yang dipercayainya untuk menangani tugas-tugas negara sedang
mereka tidak becus untuk itu. Orang-orang yang jujur dan ternama telah menjauh
darinya. Kesetiaan tentara makin merosot. Dengan cara inilah penguasa
menghancurkan apa yang telah dibangun oleh pendahulunya. Akibatnya negara
berantakan. Untuk ini, kata Ibnu Khaldun hampir tidak ada obatnya.[23]
Berdasar filsafat Ashabiyah ini juga,
Ibnu Khaldun menganggap bahwa pemimpin umat Islam itu terletak pada suku
Quraisy, anggapan ini bukan hanya berdasar hadis nabi yang banyak disitir
orang, tetapi berdasar rasionalisasi dari kedudukan, peranan, dan kewibawaan
suku Quraisy pada waktu itu. Orang-orang Quraisy adalah pemimpin-pemimpin yang
terkemuka, original, dan tampil dari Bani Mudhar. Dengan jumlahnya yang banyak,
solidaritas kelompoknya yang kuat, dan keanggunannya, suku Quraisy mempunyai
wibawa yang kuat atas cabang-cabang dan ranting lain dari Bani Mudhar. Seluruh
bangsa Arab mengakui kenyataan itu dan hormat kepada keunggulan suku Quraisy.
Maka kepemimpinan dunia Islam dipercayakan kepada suku lain, bisa mengakibatkan
timbul tantangan dan pembangkangan yang akan membawa kepada kehancuran. Atau
dengan kata lain, kalau Nabi menyatakan hendaknya kepemimpinan umat Islam
dipercayakan kepada suku Quraisy, menurut Ibnu Khaldun jangan lah diartikan
bahwa kepemimpinan umat Muhammad itu monopoli suku Quraisy, dan agar syarat
keturunan Quraisy didahulukan dari pada syarat kemampuan. Petunjuk Nabi
tersebut diberikan berdasarkan kenyataan bahwa suku Quraisy (paling kurang pada
waktu itu) merupakan suku Arab yang terkemuka, dengan solidaritas kelompok yang
dominan, karenanya paling berwibawa. Pemimpin negara yang berasal dari yang
demikian yang akan mampu secara efektif menjamin ketertiban negara dan
keserasian hubungan antara komponen – komponen negara itu. Kalau kita ikuti
alur argumentasi ini, maka jika suku Quraisy dalam keadaan tidak lagi merupakan
suku yang paling berwibawa, dan solidaritas kelompoknya tidak lagi dominan,
yang berarti bahwa kepemimpinan yang berasal dari suku Quraisy tidak lagi
diharapkan mampu secara efektif mewujudkan ketertiban negara dan kerukunan
antar warga negara, maka kepemimpinan dapat saja berpindah ke suku atau
kelompok yang lebih dominan dalam wibawa dan solidaritas.[24]
Ibnu Khaldun membenarkan bahwa
Rasulullah SAW mengecam Ashabiyah dan mendesak umatnya meninggalkan dan
membuangnya. Sabdanya : “ Allah telah melenyapkan dari kamu keangkuhan masa
Jahiliyah dan kebanggaan terhadap nenek moyang, kalian adalah keturunan Adam
As, dan Adam berasal dari tanah”. Allah berfirman dalam surah Al-Hujurat ayat
13 : “ Sungguh, yang paling mulia di antara kamu bagi Allah ialah yang paling
taqwa di antara kamu”.
Muhammad SAW. membenci kepemimpinan raja
dan aparatnya, karena mereka bergelimang dengan kesenangan dan kemewahan, dan
pemborosan yang sia-sia serta menyimpang dari jalan Allah. Tetapi kalau semua
harta dan fasilitas itu digunakan untuk jalan Allah, dan untuk Akhirat, malah
dianjurkan. Itu tergantung niatnya, sebagaimana Rasulullah SAW katakan : “
Barang siapa yang hijrahnya menuju Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya akan
sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa hijrahnya diniatkan kepada
dunia, diapun akan memperolehnya, atau hijrahnya karena wanita diapun akan
mengawininya”. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW. menganggap dunia ini
seluruhnya adalah merupakan sarana dan kendaraan menuju akhirat, tanpa sarana
dan kendaraan kita akan tidak dapat pergi kemanapun. Kalau Nabi Muhammad SAW
melarang atau mencela tingkah laku tertentu, atau menyuruh meninggalkannya,
tidak berarti bahwa beliau menyuruh menghilangkan keseluruhannya. Beliau pun
tidak bermaksud mencabut sampai ke akarnya, atau membuang semua kekuatan yang
menyebabkan semuanya tidak bermanfaat dan tidak terpakai. Akan tetapi
dimaksudkan kiranya semua kekuatan itu berguna sebisa mungkin untuk tujuan kebenaran.
Rasulullah SAW mencela marah yang menuruti hawa nafsu setan dan demi
maksud-maksud tercela. Tapi sebaliknya, marah demi Allah adalah terpuji. Marah
yang demikian itu termasuk salah satu di antara sifat Rasulullah SAW. beliau
juga mencela nafsu syahwat, tapi bukan untuk melenyapkannya sama sekali. Sebab
orang yang tidak punya nafsu syahwat sama sekali berarti cacat. Tapi maksud
beliau adalah menggunakannya untuk maksud-maksud yang dibolehkan dan demi
kemaslahatan umum, sehingga manusia menjadi hamba Allah yang aktif, dan taat
menjalankan perintah Allah.[25]
D. Ashabiyah,
Aplikasi dan Implikasinya dalam Pemikiran dan Sejarah
Ashabiyah diaplikasikan oleh Stalin dalam
menghancurkan Islam. Stalin menghadapi masalah dengan muslin Asia Tengah.
Stalin memahami bahwa inti masyarakat muslim Asia Tengah adalah agama dan
kesukuan yang merekatkan Ashabiyah. Mesjid merupakan yang sentral. Bangunan ini
bukan saja memberikan fungsi religius bagi Muslim tapi juga sosial. Kitab suci
Al-Qur’an adalah sesuatu yang lain. Lalu adab dan kebudayaan muslim berupa
busana, makanan, bahasa, kebiasaan dan arsitektur, semua ini memberi kohisi
dalam masyarakat.
Dictator
Sovyet yang bersiap dengan palu arit berusaha menghancurkan Islam melalui
penghancuran dan pengikisan Ashabiyah Islam. Simbol-simbol apapun yang bias
menarik dan menimbulakan Ashabiyah Islam, dari besar hingga sekecil-kecilnya
dihancurkan dari masyarakat muslim. Masjid-masjid ditutup dan dijadikan
penjara, orang-orang tua ditembak dan dideportasi, Al-Qur’an atau segala yang bertuliskan
Arab dibakar, bahasa dan busaan local dilarang secara kejam. Dan arsitek dating
dari Moskow kelabu, tidak menarik, bangunan-bangunan tanpa nama menonjol di
kota-kota Asia Tengah (Akbar, 1993:259). Hal yang serupa dapat kita saksikan pula pada pola
penghancuran Islam di Cina sejak abad ke-19, berlanjut pada Revolusi Kebudayaan
1966, menyebabkan Islam hamper punah, dan jumlah muslim menurun drastic.[26]
Ashabiyah
dalam sejarah tidak saja dapat digunakan untuk memporak-porandakan suatu agama
atau etnis, tapi juga dapat digunakan sebagai alat pemersatu. Sultan Iskandar
Muda terdorong dan terbantu dalam mempersatukan kerajaan Aceh Darussalam karena
adanya ancaman dri Portugis yang sudah menduduki Malaka.[27] Banyak
contoh lain seperti kemerdekaan Amerika karena tekanan kerajaan Inggris berupa
pajak dan lainnya mengakibatkan timbulnya rasa nasionalisme Amerika sehingga
bangsa Amerika membebaskan diri dan memerdekakan negaranya dari kerajaan
Inggris.
M.C.
Ricklefs dalam bukunya Sejarah Indonesia Baru menerangkan bahwa rasa
nasonalisme Indonesia timbul setelah menguraikan kondisi pergerakan bangsa
Indonesia 1900-1927, para pejuang menyadari akan harus adanya alat pemersatu
bangsa dan perjuangan, minimal untuk sementara. Penumpasan hamper segala bentuk
pergerakan bangsa yang pada umumnya masih bersifat local, etnis, suku,
golongan, dan jaringan internasional tersebut namak pada gerakan Pan Islamisme
dan Markasisme Internasional.[28]
Dalam masa
proses Orde Baru di Indonesia dapat kita identifikasi adanya persesuaian teori
Ibnu Khaldun tentang Ashabiyah terhadap perjalanan kekuatan eksekutif yang
menjadi rezim kekuasaan. Rezim Orde Baru memang hanya berlangsung kurang lebih
tiga puluh dua tahun, tidak seperti yang digambarkan dalam teori kelangsungan
suatu dinasti selama tiga generasi yaitu seratus dua puluh tahun, ini
disebabkan oleh situasi dan ondisi yang sangat jauh berbeda. Teori 120 tahun
adalah untuk kondisi dahulu yang masih bersifat kerajaan yang turun menurun,
berbeda dengan sebuah republic seperti : Indonesia yang presiden dipilih untuk
lima tahun sekali.. namun kalau dilihat proses timbul dan runtuhnya rezim Soeharto yang dikenal dengan Orde Baru, banyak persamaannya
dengan apa-apa yang digambarkan oleh Ibnu Khaldun. Rezim ketika mulai berkuasa
dibantu banyak pihak dengan Ashabiyah anti komunis. Tetapi ketika mulai
berkuasa partai-partai Islam dan beberapa personil TNI disisihkan. Personil TNI
itu antara lain Sarwo Eddy dan Ibrahim Aji yang besar jasanya dalam menumpas
PKI. Disisihkan menjadi duta besar, kemudian membuat strategi semua pengghalang
kekuasaan menjadi mandul, hal ini dimungkinkan karena menurut Afan Gaffar
adanya kekuasaan yang sangat dominan ditangan Presiden menurut konstitusi. Dan
karena sumber kekuasaan Presiden yang sangat luas, Presiden dapat mengontrol
rekruitmen lembaga tinggi Negara, ekskutif, rekruitmen organisasi politik dan
social, sumber keungan, dan Presiden adalah panglima ABRI tertinggi.[29] Setelah masa penyisihan elemen-elemen penghalang
kekuasaan, datanglah masa ketenangan dan keemasan. Krooni Soeharto dan
anak-anaknya menguasai hampir semua sektor kehidupan bangsa, baik ekonomi,
politik, dan social. Setelah itu datanglah masa suram, karena kondisi dunia
yang berubah dan korupsi, kolusi, nepotisme merasuki segala sector kehidupan,
maka datanglah ajal yang berupa kemerosotan dan kehancuran.
Pemikiran
tentang pemanfaatan dan pencarian ikatan Ashabiyah yang dominan untuk persatuan
dan kemajuan suatu golongan atau bangsa dapat kita lihat pada silang sengketa
pemikiran antara Islam dan nation state pada dunia Arab dan Turki setelah
runtuhnya Dinasti Turki Utsmani. Menurut Ibnu Khaldun ikatan Ashabiyah yang
dominan akan melebur dan menyisihkan ikatan Ashabiyah lainnya dalam
mempersatukan langkah Ashabiyah menuju persatuan dan perjuangan yang akan
menuju kemenangan dan keberhasilan satu dinasti atau generasi.
Tanzimat
tidak diragukan lagi merupakan penyebab pertumbuhan nasionalisme Turki.
Pengembangan ilmu-ilmu tentang Turki (Turcology), ekpansi lteratur tentang
Turki pra Islam, dan penetapan bahasa Turki sebagai bahasa resmi pemerintahan
Utsmani tahun 1876, mendorong lebih cepat kematangan Nasionalisme Turki. Hamper
tidak diragukan lagi, kebangkitan nasionalisme inilah yang mendorong munculnya
nasionalisme Arab. Peniruan konsep dan system politik Eropa oleh Dinasti
Utsmani menyebabkan kejengkelan pemikir terkemuka Arab. Seraya mengecam Turki,
mereka sebaliknya menonjolkan keistimewaan bangsa Arab. Inilah yang menjadi
pangkal munculnya Ashabiyah Arab, yang menjadi rukun nasionalisme Arab. Rasyid
Ridha misalnya, menuduh Turki merusak umat dan Islam dengan westernisasinya.
Dalam sebuah artikel yang diterbitkan majalah Al-Manar, Ridha mengklaim
bahwa Turki dan daerah-daerah yang ditaklukkannya hanya menjadi beban bagi
Islam dan kaum Muslimin lain. Ia tidak mendukung separatism wilayah-wilayah
Arab dari kekhalifahan Turki Utsmani, hanya setelah Turki Muda mengguingan
Sultan Abdul Hamid, ia mendukung sepenuhnya cita-cita nasionalisme Arab untuk
membentuk suatu nation state bangsa Arab.[30] Dengan demikian dalam pertarungan mencari Ashabiyah dominan, nasionalisme lebih dominan dari
Ashabiyah agama, karena kondisi dunia yang berubah dan tidak ada lagi Negara
atau bangsa yang dapat diharapkan menjadi komando kekhalifahan Islam.
Pertarungan
pemikiran mencari Ashabiyah yang dminan sebagai dasar Negara nampak juga pada bangsa Indonesia yang sejak zaman
pergerakan hingga kini masih dalam pencarian dan pertarungan. Namun sejak
dikembalikannya dasar negara ke UUD 45 secara murni dan konsekwen, serta dijadikannya
Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara, maka pihak nasional lah yang
Nampak dominan. Selanjutnya dengan persetujuan fraksi PPP dalam sidang-sidang
DPR tahun 1985 mendukung dan berpartisipasi dalam mengesahkan baik usulan
Pancasila sebagai asas tunggal bagi semua organisasi kemasyarakatan. Adapun
Nahdhatul ‘Ulama, Muhammadiyah dan MUI lebih dulu menyetujuinya, meskipn ada
yang tidak setuju namun bisa dikategorikan minoritas,[31] maka pihak nasionalis lah yang
dominan. Pada zaman reformasi saat ini yang mendominasi pemikiran pimpinan umat
Islam terdepan, seperti Abdurrahman Wahid, Akbar Tanjung, Amin Rais, dan
Nurchalis Madjid, cenderung berpikir nasionalis meskipun mereka itu punya
pondamen Islam yang kental. Kecenderungan mereka untuk menggelindingka Islam
dalam wawasan berbangsa secara substantive dan kultural, bukan bersifat formal
dan structural.
Pertarungan pemikiran di atas dan
kecenderungannya karena kondisi dunia yang didominasi oleh Barat, yang untuk
selanjutnya tentu masih menjadi pertanyaan, sebab kecenderungan kepada agama,
seperi Islam bisa saja menjadi dominan di kemudian hari, hal ini dapat kita
lihat kepada politik Islam tahun 1973 Anwar Sadat dari Mesir menyerukan “perang
suci melawan Israel” berbeda dengan perang Arab-Israel pada tahun 1967
sebelumnya yang dilakukan oleh Gamal Abdul Nasir atas nama sosialisme Arab. Begitu juga hal yang sama terjadi pada Revolusi Iran
tahun 1978, gerakkan tersebut melegitimasikan dirinya sebagai gerakan Islam,
dan ini menarik simpati rakyat Iran.
E. Simpulan
Ashabiyah adalah perasaan satu kelompok,
atau rasa solidaritas sosial, timbul secara alamiyah dalam kehidupan manusia.
Perasaan kasih sayang dan simpati itu mula pertama dari rasa sedarah, kemudian
bisa saja berpindah kepada rasa satu kelompok, seprofesi dan lainnya, hal ini
timbul lebih lanjut karena merasa senasib, sepenanggungan, karena satu tujuan
tertentu, atau sependeritaan. Ashabiyah inilah yang membuat berdirinya satu
dinasti atau negara, atau berkembangnya suatu agama, hilangnya Ashabiyah
membuat negara runtuh dan agama tidak berkembang.
Oleh karena itu, Ashabiyah adalah suatu
gejala umum atau fenomena yang ada pada masyarakat manusia, keberadaannya atau
penghilangan eksistensinya sangat bergantung kepada tujuan, bisa negatif, bisa
pula positif. Yang menarik dari teori yang dikembangkan oleh Ibnu Khaldun ini
ialah ia selalu mengaitkan dengan Al-Qur’an, sehingga Muhammad Iqbal
berkomentar bahwa jiwa Al-Muqaddimah Ibnu Khaldun menyinarkan dan
menyimpan siratan Al-Qur’an.[32]
Ibnu Khaldun adalah figur yang cukup
unik, berwawasan modern tapi berpendirian teguh tradisional. Ia menolak
kausalitas sekunder dan mengakui ketergantungan proses sejarah kepada kehendak
Allah yang Maha Kuasa, sehingga pembimbingnya dianggap oleh Majid Fakhry
cenderung Al-Ghazali, bukan Ibnu Rusyd.[33] Hal
ini mungkin karena sama-sama menyerang filsafat metafisika yang bersifat
spikulatif yang Ibnu Rusyd ikut berkecimpung di dalamnya, meskipun Ibnu
mangakui keterbatasan filsafat.[34] Tapi
di segi lain, Ibnu Khaldun adalah seorang ilmiyah, empiris dan berpikir ala
positivisme, sehingga ia mengecam beberapa golongan tasawuf yang mengajarkan
hidup berleka-leka, penuh misteri. Sehingga, pengaruh Al-Ghazali terhadap
dirinya ada yang meragukan dan tidak dapat menerima, Said Syekh, seorang ahli
filsafat, direktur Institute of Islam Culture di Lahore, menganggap Ibnu
Khaldun lebih cenderung berpihak kepada Ibnu Rusyd, dan keduanya sama-sama
menentang Al-Ghazali.[35] Tidak
heran Muhammad Iqbal menganggap Ibnu Khaldun satu-satunya ilmuwan Islam yang
sudah memasuki persoalan mistik dengan sepenuhnya berjiwa ilmiyah.[36]
Nampaknya, Ibnu Khaldun adalah orang yang mempercayai adanya hukum kausalitas
yang kembar, bersifat simbiotik natural dan supernatural, material dan
spiritual sekaligus.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul
Hakim, Atang. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
1999
Afan
Gaffar. Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 1999
Ahmed,
Akbar S. Living Islam, Tamasya Budaya Menyusuri Samarkand hingga Stornway.
terj. Pangstuningsih., Bandung: Mizan. 1997
Audah,
Ali. Ibnu Khaldun, Sebuah Pengantar. Jakarta: Pustaka Firdaus. Tt
Azra,
Azyumardi. Pergolokan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme, hingga
Post Modernisme. Jakarta: Paramadina. 1996
______________. Eksperimen dalam
Masa Modern (Tinjauan Sosio Historis) dalam Politik demi Tuhan Nasionalisme
Religius di Indonesia. Editor Andito., Jakarta: Pustaka Hidayah. 1999
De Boer, TJ. Tarikh Al-Falsafh
fi Al-Islam. Mesir: Lajnah Tarikh wan Nusyur. Tt
Esposito, Jhon L. Ancaman Islam,
Mitos atau Realitas ?. terj. Alwiyah Abdurrahman dkk., Bandung: Mizan. 1998
Faisal, Ismail. Ideologi
Hegemoni dan Otoritas Agama (Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila).
Yogyakarta: Tiara Wacana. 1999
Fakhri, Ali. Realitas Manusia,
Pandangan Sosiologis Ibnu Khaldun dalam Insan Kamil, Konsepsi Manusia Menurut
Islam. Penyunting. M. Dawam Rahardjo. Jakarta: Grafiti Press. 1985
Fakhry, Majid. Sejarah Filsafat
Islam. terj. Drs. R. Mulyadhi Kartanegara. Jakarta: Pustaka Jaya. 1987
Ibnu Khaldun. Mukaddimah.
terj. Ahmadi Toha. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1986
Issawi, Charles. Filsafat Islam
tentang Sejarah. Jakarta: Tintamas. 1976
Muhammad Iqbal. Membangun
Kembali Pikiran Agama dalam Islam. Jakarta: Tintamas. 1966
Munawir Sadzali. Islam dan Tata
Negara, Ajaran Sejarah dan Pemikiran. Edisi kelima., Jakarta: UI Press.
1993
Recklefs, M.C. Sejarah Indonesia
Modern. Cetakan ke- V., Yogyakarta:
Gajah Mada University Press. 1998
Sayuthi Pulungan, J. Fiqih
Siyasah, Ajaran Ssejarah dan Pemikiran. Jakarta: Lembaga Studi Islam dan
Kemasyarakatan (LSIK). 1994
Syafii Ma’arif, Ahmad. Al-Qur’an,
Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah Refleksi). ITB Bandung:
Perpustakaan Salman. 1985
____________. Ibnu Khaldun,
Sebuah Pengantar. Jakarta: Pustaka Firdaus. Tt
Tawansy, Abdul Fatouh Muhammad. Ibn
Khaldoun, Ministry of Waqf’s Supreme Council for Islamic Affairs. Cairo. 1962
Yahya Harun. Kerajaan Islam di Nusantara
Abad XVI-XVII. Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera. 1995
[1] Penulis adalah
Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Antasari Banjarmasin
[2] Tawansi, Abdul
Fatouh Muhammad, Ibn Khaldun, Ministry of Waqf’s Supreme Council for Islamic
Affairs, Cairo : 1962, h. 5
[3] Syafi’i Ma’arif,
Ahmad, Al-Qur’an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah Refleksi),
ITB Bandung : Perpstakaan Salman, 1985, h. 112
[4] Fakhri, Ali, Realitas
Manusia, Pandangan Sosiologis Ibnu Khaldun dalam Insan Kamil, Konsepsi Manusia menurut
Islam, yang disunting oleh M. Dawam Rahardjo, Jakarta : Grafiti Press, 1985,
h. 50
[5] Issawi,
Charles, Filsafat Islam tentang Sejarah, Jakarta : Tintamas, 1976, h. 2
[6] Audah, Ali, Ibnu
Khaldun, Sebuah Pengantar, Jakarta : Pustaka Firdaus, tt, h. 17
[7] Fakhry, Majid,
Sejarah Filsafat Islam, terj. Drs. R. Mulyadhi Kartanegara, Jakarta :
Pustaka Jaya, 1987, h. 442 - 443
[8] Syafi’i Ma’arif,
Ahmad, Al-Qur’an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah Refleksi),
....., h. 14
[9] Ibid, h.
19
[10] Audah, Ali, Ibnu
Khaldun, Sebuah Pengantar, ....., h. 19
[11] Ibnu Khaldun, Mukaddimah,
terj. Ahmadi Toha, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1986, h. 151
[12] Sayuthi
Pulungan, J, Fiqih Siyahah, Ajaran Sejarah dan Pemikiran, Jakarta :
Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan (LSIK), 1994, h. 276 - 277
[13] De Boer, TJ, Tarikh
Al-Falsafh fi Al-Islam, Mesir : Lajnah Tarikh wan Nusyur, tt, h. 279 - 281
[14] Munawir Sadzali,
Islam dan Tata Negara, Ajaran Sejarah dan Pemikiran, edisi kelima.,
Jakarta : UI Press, 1993, h. 106
[15] Ahmed Akbar S,
Living Islam, Tamasya Budaya Menyusuri Samarkand hingga Stornway, terj.
Pangstuningsih, Bandung : Mizan, 1997, h. 19
[16] Ibid, h.
18
[17] Ibnu Khaldun, Mukaddimah,
..... h. 192
[18] Ibid, h.
193
[19]
Ahmed Akbar S, Living
Islam, Tamasya Budaya Menyusuri Samarkand hingga Stornway,.....h. 27 - 28
[20] Ibnu Khaldun, Mukadddimah,
..... h. 208
[21] Ibid, h.
169 - 170
[22] Ibnu Khaldun, Mukaddimah,
.....h. 208 - 210
[23] Ibnu Khaldun, Mukaddimah,
..... h. 214 - 216
[24] Munawir
Sadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran Sejarah dan Pemikiran, ..... h.
106 - 107
[25] Ibnu Khaldun, Mukaddimah,
..... h. 248 - 249
[26] Abdul Hakim,
Atang, Metodologi Studi Islam, Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 1999, h.
181
[27] Yahya Harun, Kerajaan
Islam di Nusantara Abad XVI – XVII, Yogyakarta : Kurnia Kalam Sejahtera, 1995,
h. 13
[28] Recklefs, M.C,
Sejarah ndonesia Modern, Cetakan ke- V, Yogyakarta : Gajah Mada
University Press, 1998, h. 225 - 247
[29] Afan Gaffar, Politik
Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999, h.
67 - 86
[30] Azra,
Azyumardi, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme, hingga
Post Modernisme, Jakarta : Paramadina, 1996, h. 13 - 14
[31] Faisal,
Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama (Wacana Ketegangan Kreatif
Islam dan Pancasila), Yogyakarta : Tiara Wacana, 1999, h. 300
[32] Muhammad
Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam, Jakarta : Tintamas,
1966, h. 136
[33] Fakhry, Majid,
Sejarah Filsafat Islam, ..... h. 444 - 449
[34] Audah, Ali, Ibnu
Khaldun, Sebuah Pengantar, ..... h. 67
[36] Muhammad
Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam,.....h. 126
Tidak ada komentar:
Posting Komentar