Senin, 10 Agustus 2015

FILSAFAT ASHABIYAH IBNU KHALDUN



Syahrudi Ramli[1]
        Abstrak
Mukaddimah, salah satu karya Ibnu Khaldun telah memberikan gambaran yang tepat kepada seluruh pembaca modern tentang tingkatan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam abad pertengahan. Salah satu sumbangan dari karyanya tersebut kepada ilmu politik adalah filsafat ashabiyah tentang pembentukan negara, kejayaan dan keruntuhannya, serta hubungannya dengan agama.
Kata Kunci : Ibnu Khaldun; Filsafat Ashabiyah
A.    Pendahuluan
Profesor Arnold Toynbee di dalam bukunya A Study of History mengomentari Prolegomena (AL-Mukaddimah) karya Ibnu Khaldun yang terkenal : “It is the greatest work of its kind that has been created by any mind in any time or place”. Beliau menganggapnya suatu karya yang terbesar dalam sejarah yang pernah ada. Karena kebesaran Ibnu Khaldun itulah, Dr. Shawky Sukkary menyandangkan sebutan kepada Ibnu Khaldun sebagai seorang filosof, ahli sejarah, ahli pendidik, penulis ulung, diplomat kawakan, politisi dengan segudang pengalaman yang patut mendapat kehormatan dan pujian. Bahkan dalam ukuran modern sekalipun.[2]
Ironisnya penghargaan terhadap Ibnu Khaldun dipelopori oleh sarjana-sarjana Barat, di dunia Arab karya sejarahnya baru diterbitkan pada tahun 1867, sedangkan otobiografinya pada tahun 1951.[3] Kehidupan Ibnu Khaldun penuh dinamika politik, gonta-ganti raja, pindah daerah dan tempat, tugas berat yang disandangnya penuh resiko dan intrik, adalah gambaran kemunduran kerajaan Islam yang terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil, saling menyerang dan menguasi, sehingga karya-karyanya yang cemerlang ibarat lemparan bola atau uluran tangga berupa dasar-dasar pengetahuan modern tidak ada sarjana muslim yang menyambutnya. Tepat apa yang digambarkan George Sarton dalam bukunya Introduction to The History of Science bahwa Ibnu Khaldun laksana sebuah bangunan raksasa yang menjulang tinggi sebagai ahli sejarah di tengah suku-suku kecil, bahkan seorang ahli filsafat sejarah pertama, pembuka jalan bagi Machiavelle, Bordin, Comte, dan Curnat.[4]
Lebih dari itu, kaya-karya Ibnu Khaldun, seperti Mukaddimah, telah memberikan kepada pembaca modern yang bukan spesialis suatu gambaran yang tepat dan terang tentang tingkatan-tingkatan ilmu pengetahuan yang ada dalam dunia Islam abad pertengahan. Ahli-ahli pikir muslim lainnya, terutama Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan Al-Ghazali, memang mempunyai pandangan yang lebih dalam masalah metafisika dan agama, dan pengaruh mereka di Eropa besar. Tetapi, Ibnu Khaldun selain mengambil manfaat dari teori spekulasi filsafat mereka, jauh melebihi mereka dalam pengertian dan penguasaan masalah-masalah masyarakat yang empiris.[5]
Salah satu sumbangan yang asli dari Ibnu Khaldun yang dapat digali dari karyanya yang terkenal Al-Mukaddimah kepada ilmu politik adalah filsafat ashabiyah tentang pembentukan negara, kejayaan dan keruntuhannya, serta hubungannya dengan agama. Pada paparan berikutnya akan diidentifikasi filsafat ashabiyah tersebut, kemudian dalam pembahasannya lebih lanjut akan melihat bukti dan implikasinya dalam perjalanan sejarah yang lalu hingga yang sedang aktual.

B.     Riwayat Hidup Ibnu Khaldun
Nama lengkapnya adalah Waliyuddin Abdurrahman Ibnu Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Abi Bakar Muhammad Ibnu Hasan Ibnu Khaldun. Dilahirkan di Tunisia pada awal bulan Ramadhan 732 H (27 Mei 1333 M) dan wafat di Kairo pada tanggal 25 Ramadhan 808 H bertepatan dengan 19 Maret 1406 M (Badri Yatim, 1997:139).
Ia belajar membaca Al-Qur’an hingga hapal, beserta sepuluh macam qira’at, bahasa Arab dan sastra dari ayahnya sendiri. Di samping itu, ia belajar hadis, ilmu fiqh, ushuluddin, filologi, logika dan filsafat dari guru-guru dan ulama-ulama kenamaan lainnya. Ada di antara mereka yang oleh Ibnu Khaldun dianggap menonjol, seperti Muhammad As-Sati’, Abdul Muhaimin Al-Hadrami, Muhammad Ibrahim Al-Abili.[6]
Ia melawat ke Barat pada tahun 1352, terdesak oleh pertengkaran politik pada saat itu dan wabah pes pada tahun 1348-1349, yang merenggut nyawa orang tuanya dan sebagian besar guru-gurunya. Setelah tinggal sebentar di Bougie ia menetap di Fez, di istana Sultan Abu Inan, yang sedang merekrut para sarjana untuk dewan ilmiahnya yang baru. Dari Fez, dimana dalam satu kesempatan ia memperoleh kedudukan administratif yang tinggi di bawah Abu Salim, penerus Abu Inan, kemudian ia pindah ke Granada tahun 1362. Kemudian ia tertarik kembali ke Fez dan Bougie, dimana ia juga menduduki jabatan penting di istana. Namun, di sepanjang tahun-tahun yang penuh kesukaran dan sekalipun banyak panggilan untuk mengisi jabatan publik yang sering ia gumuli, Ibnu Khaldun merindukan suatu kehidupan yang sepi untuk studi dan meditasi. Selama selang waktu yang singkat selama penyepiannya itu pada tahun 1377 ia telah menyelesaikan karyanya yang paling penting, Al-Mukaddimah, yang merupakan sebuah pengantar bagi sejarah dunianya, kitab Al-‘Ibar. Jemu dengan kehidupan publik dan pengabdian penuh resiko kepada penguasa yang terus berganti-ganti di Afrika Utara, ia bertolak ke Iskandariah pada tahun 1382. Di Kairo Sultan Mamluk Al-Malik Al-Dhahir Barquq, mengakui prestasinya yang besar sebagai sarjana dan ahli hukum. Pada tahun 1384 ia ditetapkan sebagai profesor hukum Malik dan kemudian sebagai Hakim Agung Maliki Mesir. Ia tinggal di Mesir hingga akhir hidupnya.[7]
Secara umum dapat dibagi menjadi empat fase, yaitu :
Pertama, fase kelahiran, perkembangan, dan studi. Fase ini berlangsung sejak kelahiran sampai 20 tahun, dari tahun 732 H/1332 M hingga 751 H/1350 M. Fase ini dilaluinya di Tunisia.
Kedua, fase bertugas di pemerintahan dan terjun di dunia politik di Maghribi dan Andalusia, yaitu tahun 751 H/1350 M sampai tahun 776 H/1374 M.
Ketiga, fase kepengarangan, ketika ia berpikir dan berkontemplasi di benteng Ibnu Salamah milik Banu Arif, yaitu sejak tahun 776 H/1374 M sampai 784 H/1382 M.
Keempat, fase mengajar dan bertugas sebagai Hakim Negeri di Mesir, yaitu dari tahun 784 H/1382 M sampai wafatnya tahun 808 H/1406 M (Badri Yatim, 1997 : 40).
Dalam keempat fase tersebut banyak pengalaman pahit yang dialaminya, seperti kematian orang tua dan gurunya yang terserang penyakit pes menular, beberapa kali di penjara, pernah diusir, tenggelam istri dan anak-anaknya serta harta benda ketika menuju Iskandariah, dan sebagainya. Pengalamannya yang menarik antara lain menjadi utusan raja Muhammad V, raja Granda Andalusia berunding dalam rangka perdamaian dengan raja Kristen Pedro El Cruel di istananya di Castilla Serville. Raja Pedro El Cruel sangat terkean dengan kinerja diplomatik Ibnu Khaldun hingga sampai dibujuk untuk berpihak kepadanya dengan janji akan menyerahkan kembali kepadanya harta nenek moyangnya di Serville, Ibnu Khaldun menolak bujukan itu.[8]
Pengalamannya yang paling menarik dan bersejarah ialah pertemuannya dengan Timur Lank si penakluk dunia, di dalam tenda Timur Lank selama 35 hari.[9]  Dalam melaksanakan tugas yang sangat berbahaya tersebut turun dari menara kota yang tertutup, meluncur dengan tambang dan dengan segala keberaniannya terus ke kemah Timur Lank, padahal umurnya sudah mencapai 70 tahun.[10] (Ali Audah, tt :19).
C.     Filsafat Ashabiyah, Hubungannya dengan Agama dan Negara
Pengistilahan Ashabiyah diambil dari Al-Qur’an Surah Yusuf ayat 14 : “Jika dia dimakan serigala, padahal kami segolongan, sungguh kami orang-orang yang merugi”. Ayat di atas mengungkapkan perkataan saudara-saudara Yusuf A.S. kepada ayah mereka, Nabi Ya’qub. Dari kata “nahnu ushbatun” mengandung arti rasa satu golongan, rasa satu darah, dan sebagainya. Rasa satu darah itulah yang merupakan suatu kekuatan yang mengikat pada umumnya manusia, merasa ikut menderita apabila keluarganya atau golongannya tertimpa penderitaan.
Ashabiyah adalah perasaan satu kelompok, atau kekuatan kelompok, atau solidaritas sosial, yang timbul secara alamiyah dalam kehidupan manusia karena adanya pertalian darah atau pertalian perkauman. Perasaan cinta kasih tersebut menimbulkan perasaan senasib, sepenanggungan, kesatuan harga diri, rasa saling setia, rasa saling membutuhkan, terlebih pada saat menghadapi musibah atau ancaman musuh, atau untuk mencapai tujuan tertentu. Rasa persatuan itu bisa saja muncul antara mawali dan tuannya karena hubungan yang akrab bagaikan hubungan nasab. Oleh karena itu, hubungan itu bisa bersifat khusus karena hubungan nasab tapi bisa juga menjadi umum di luar nasab karena ada pemicu dan unsur perekat kohesi sosial untuk bersatu.[11]
Jadi tumbuhnya Ashabiyah karena keturunan, hubungan dekat, hubungan bertetangga yang harmonis, persekutuan dan hubungan antar pelindung dan dilindungi, yang melahirkan cinta kasih, senasib sepenanggungan dan kerja sama dalam menghadapi suka duka.
Ashabiyat yang berdasarkan keturunan, menurut Ibnu Khaldun adalah Ashabiyat yang jelas dan nyata. Tetapi kondisinya menjadi berubah dengan perubahan zaman. Di kota-kota besar hubungan darah menjadi longgar, tetapi hubungan profesi nampak lebih kental, karena adanya kesaman tujuan, malah telah terjadi pembauran yang terdiri dari aneka keturunan dan etnis. Pembauran semacam itu menurut Ibnu Khaldun adalah wajar dan alamiyah sesuai dengan alam watak manusia yang cenderung bermasyarakat untuk memperoleh keuntungan dan kepuasan lahir dan batin.[12]
Ashabiyah berupa rasa ketergantungan dan kebersamaan antar dan inter masyarakat menghajatkan pemimpin yang menjadi komando gerakan untuk kepentingan bersama dan menjadi pencegah perselisihan, pelanggaran dan kejahatan masyarakat. Pemimpin tersebut harus punya kekuatan dan kedaulatan, jika tidak ia tidak dapat menjalanan kekuasaannya yang efektif, dari sini timbullah negara, dan pemimpin negara.
Pemegang kedaulatan akan lebih kuat, jika dilegitimasi dengan agama yang memiliki kekuatan moral, karena kohisi sosialnya akan lebih kental. Tetapi agama juga dalam penyebarannya dan pelaksanaannya sangat menghajatkan kepada Ashabiyah dan tanpa Ashabiyah tidak sempurna, oleh karena itu, Allah selalu mengutus nabi dari kaumnya sendiri.[13]
Berbicara tentang Ashabiyah Ibnu Khaldun, Munawir Sjadzali menyimpulkan empat point :
Pertama, solidaritas kelompok itu terdapat dalam watak manusia, dasarnya bermacam-macam; ikatan darah atau persamaan keturunan, bertempat tinggal berdekatan atau bertetangga, persekutuan atau aliansi. Pembangkit rasa persatuan itu bisa satu atau lebih dari ikatan-ikatan tersebut.
Kedua, adanya solidaritas kelompok yang kuat merupakan suatu keharusan bagi bangunannya suatu dinasti atau negara besar. Oleh karena itu jarang terjadi suatu dinasti dapat berdiri di suatu kawasan di mana terdapat beraneka ragam suku. Sebab dalam keadaan demikian masing-masing suku mempunyai kepentingan dari aspirasi yang berbeda satu sama lainnya, dan tiap kepentingan dan aspirasi suku-suku tersebut didukung oleh Ashabiyah suku, atau dengan perkataan lain dinasti yang besar dan kuat hanya dapat berdiri apabila terdapat homogenitas, sehingga menimbulkan solidaritas kelompok yang kuat.
Ketiga, seorang kepala negara atau raja agar mampu secara efektif mengendalikan ketertiban negara dan melindunginya, baik terhadap ancaman dari luar, harus memiliki wibawa yang besar dan kekuatan fisik yang memadai. Untuk itu dia memerlukan solidaritas kelompok yang besar dan kuat berupa loyalitas dari kelompoknya dalam menghadapi tantangan, baik dari dalam maupun dari luar negeri terhadap otoritas dan kekuasaannya. Oleh karena itu, dari berbagai Ashabiyah atau solidaritas kelompok yang terdapat di negara itu, kepala negara atau raja harus berasal dari solidaritas kelompok yang paling dominan.
Keempat, banyak dinasti atau negara yang bangun dari atau karena agama, oleh karena kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa atau raja itu berkat adanya superioritas atau keunggulan. Keunggulan tercapai karena adanya solidaritas kelompok yang kuat, dan hanya dengan pertolongan tuhan dalam menegakkan agama maka manusia sepakat untuk tidak memaksakan kemauan atau ambisinya masing-masing, dan sebaliknya bersatu hati untuk mengusahakan tujuan-tujuan yang lebih mulia. Khususnya bagi bangsa Arab, menurut Ibnu Khaldun, mereka hanya akan berhasil mendirikan dinasti atau negara kalau dibantu oleh agama, hal itu disebabkan oleh karena bangsa Arab merupakan suatu bangsa “yang paling tidak mau tunduk satu sama lain, kasar, angkuh, ambisius, dan masing-masing ingin menjadi pemimpin.[14]
Ungkapan Ibnu Khaldun bahwa bangsa Arab hanya akan berhasil mendirikan dinasti atau negara kalau dibantu oleh agama dapat kita buktikan pada keberhasilan Nabi Muhammad SAW. mempersatukan Arab dan menjadikannya menjadi satu kekuatan dinasti yang tidak terjalahkan. Ashabiyah Arab menyatu dalam Ashabiyah Islam, mungkin inilah rahasia dari firman Allah SWT dalam Yunus ayat 2 : “Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya (berpikir)”.
Selain itu, dalam banyak ayat Allah juga menyebutkan bahwa Allah memilih bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an, sehingga bahasa Islam adalah bahasa Arab. Nabi Muhammad SAW menyebarkan dakwah Islam kepada masyarakat Arab dengan menggunakan bahasa Arab dengan alasan utama karena penduduk di jazirah tersebut berkomunikasi dengan menggunakan bahasa tersebut. Bahkan, ketika nabi mengirimkan surat kepada para raja dan pemimpin di Asia dan Afrika selalu menggunakan bahasa Arab dalam surat-surat beliau.[15]
Dengan Islam lah Rasulullah SAW mempersaudarakan dan mempersatkan orang Arab, bukan hanya antara penduduk Madinah, tapi antara penduduk Makkah dan Madinah. Contoh yang paling mengesankan ketika muslim Makkah berhijrah ke Madinah, Rasulullah mengajarkan persaudaraan antara kaum muslimin. Paman Nabi, Hamzah ra, dipersaudarakan dengan maulanya, Zaid. Abu Bakar menjadi saudara Kharijah bin Zaid. Demikian pula, kaum Anshar dan Muhajirin juga membentuk tali persaudaraan Umar bin Khattab dan Utbah bin Malik Al-Zajraji bersaudara sebagaimana Thalhah bin Ubaidillah bersaudara dengan Abu Ayyub Al-Anshari, serta Abdurrahman bin Auf bersaudara dengan Saad bin Al-Rabi’. Persaudaraan ini memberi pengaruh yang nyata di kalangan kaum muslimin, khususnya kaum Muhajirin. Kaum Anshar memberi mereka uang dan barang milik mereka. Mereka membantu kaum Muhajirin dengan perdagangan dan pertanian.[16]
Penyatuan keashabiyahan Arab kepada Islam menjadi tulang punggung keberhasilan perluasan Islam. Dalam menerangkan hal tersebut Ibnu Khaldun mengutip ayat Al-Qur’an surah Al-Anfal Ayat 63; “Walau kamu membelanjakan semua kekayaan yang berada di bumi, niscaya kamu tidak mempersatukan hati mereka”.[17]
Karena Ashabiyah Islam inilah, Ashabiyah kesukuan Arab menjadi luntur dan terkesampingkan. Dengki antara suku, saling mau menang sendiri, teredam di dalam keikhlasan memperjuangkan dan mempertahankan Islam. Inilah yang menjadi rahasia kemenangan Islam ketika penaklukan oleh Islam pertama, Tentara Islam dalam perang Yarmuk dan Qadisiah berjumlah kurang dari 30.000 orang, padahal Persia di Qadisiah berjumlah 120.000 orang, sedangkan tentara Heraklius menurut Al-Waqidi, terdiri dari 400.000 orang. Sungguh pun demikian, kedua lawan tersebut tidak sanggup berhadapan dengan tentara Arab, dan keduanya dikalahkan.[18] Inilah pula mungkin menjadi rahasia perkataan Khalid bin Walid, yang dijuluki Saifullah (pedang Allah), berkata : “Orang-orang yang bersamaku ini lebih mencintai kematian sebagaimana kalian mencintai kehidupan”. Kata-kata ini membuat musuh ketakutan. Selain itu, keberanian para mujahidin yang tidak pernah tertandingi oleh orang non muslim. Ada suatu riwayat pada perang Khandaq, seorang muslim kehilangan kakinya. Menyadari ia tidak lagi mempunyai pedang di tangan, mujahid ini memungut kakinya yang telah putus memukul orang kafir, dan akhirnya membunuh orang kafir tersebut.[19]
Filsafat Ashabiyah adalah berdasar hasil pengamatan Ibnu Khaldun terhadap fenomena sosial di lingkungan hidupnya dan perjalanan sejarah yang diamatinya, sesuai dengan penjelasannya bahwa fenomena sosial itu tidak berjalan secara tiba-tiba, atau sesuai dengan kehendak individu, tetapi berjalan tumbuh, dan berkembang sesuai dengan hukum-hukum yang tetap. Seperti, hukum yang berlaku bagi perjalanan bulan, yang membesar dan mengecil, hukum pergantian siang dan malam, dan hukum pergantian musim.
Berdasarkan pengamatan terhadap pertumbuhan, perkembangan, kemudian keruntuhan suatu dinasti, Ibnu Khaldun menganggap proses perkembangan tersebut sebagaimana perkembangan alami seorang individu, menurutnya umur generasi itu biasanya hanya tiga generasi, satu generasi sama dengan empat puluh tahun. Dengan demikian, umur satu negara adalah seratus dua puluh tahun.
Ibnu Khaldun mengukur satu generasi empat puluh tahun berdaasr sebuah hadis bahwa seorang muslim itu berumur antara enam puluh tahun dan tujuh puluh tahun, itu tidak akan lebih dari 120 tahun, sebagaimana umur Nabi Nuh as. Dan beberapa orang dari kaum Ad’ dan Tsamud. Beliau juga mengutip sebuah firman Allah dalam Al-Qur’an surah Al-Ahqaf ayat 5 : “...Sehingga apabila telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun..”. memperkuat kesimpulannya ini adalah berdiamnya anak cucu Israil di padah Tiih, di semenanjung Sinai selama empat puluh tahun. Bilangan empat puluh tahun itu dimaksud menyatakan dan membuat lenyapnya generasi senior, serta tumbuh berkembang generasi baru yang tidak pernah mengalami dan tidak pernah tahu penghinaan kolonialisasi di Mesir.[20]
Sebelumnya orang-orang Israel dihinakan oleh bangsa lain sehingga hilang rasa bangga mereka dan rasa Ashabiyah mereka. Ketika mereka diajak Nabi Musa as. Datang ke Syiria untuk menjadi raja-raja di sana, sebagaimana ditentukan Allah kepada mereka, mereka merasa lemah dan berkata : “Sesungguhnya di negeri itu ada orang-orang perkasa, sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar dari padanya “ (Al-Maidah, ayat 22). Ketika Musa as. Bersikeras untuk berperang, mereka menjawab, “Pergilah engkau sendiri beserta Tuhanmu dan berperanglah” (Al-Maidah, ayat 24). Demikian kata mereka kepada Musa as. Ini gambaran akan hilangnya rasa kebanggaan diri dan rasa Ashabiyah di hati mereka, oleh karena itu untuk menumbuhkan rasa Ashabiyah tersebut bagi generasi baru perlu waktu empat puluh tahun. Maka Allah memerintahkan mereka sebagai siksaan untuk menetap di padang Tiih yang terletak antara Mesir dan Syiria selama empat puluh tahun, supaya timbul rasa Ashabiyah yang telah hilang akibat kekejaman orang-orang Amerika di Syiria dan orang-orang Qibti di Mesir terhadap mereka.[21]
Menurut Ibnu Khaldun umur 120 tahun untuk tiga generasi ini dibagi menjadi empat tahapan, yang harus dilalui masyarakat tersebut.
Pertama, tahap primitif (al-Badawah). Perhatian individu pada tahap ini hanyalah tertuju kepada penghidupannya. Dia memiliki sifat yang keras untuk menghidupi dirinya, bahkan siap mencaplok orang lain dengan kejam. Tanda yang lainnya, yaitu fanatisme terhadap garis keturunannya.
Kedua, tahap pemilikan (al-Mulk). Pada tahap ini kekuatan masyarakat terpusat pada tangan seseorang, keluarga, dan atau suatu golongan. Fanatisme pada tahap ini dilakukan secara terang-terangan. Bahkan, melekat pada setiap jiwa manusia. Masyarakat pada tahap ini beralih dari penghematan kepada pemborosan, dari masyarakat yang primitif kepada masyarakat yang beradab.
Ketiga, tahap beradab dan kemakmuran. Pada tahap ini individu masyarakat telah melupakan makna kekerasannya. Mereka telah meninggalkan masa produktifnya dan suka bersenang-senang, sehingga memberatkan uang negara. Kemampuan para penguasa menurun, tetapi keterlibatan mereka dalam bersenang-senang meningkat.
Keempat, adalah tahap kelemahan, kerusakan akhlak, dan kemunduran. Pada tahap ini, negara menjadi mangsa yang empuk untuk serangan musuh dari luar. Keruntuhan tidak bisa lagi ditahan, karena ibarat usia sudah sampai pada ajal, Allah berfirman dalam surah An-Nahl ayat 61 “Kalau ajal mereka telah tiba, mereka tidak kuasa menunda atau mempercepat kematiannya, walaupun sesaat”.[22]
Pada bagian lain dari bukunya Al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun mengungkapkan teori perkembangan sebuah negara melalui lima tahapan (fase) :
Fase pertama, saat mengalahkan musuh dan lawannya. Pada fase ini penguasa dijadikan model oleh pengikutnya dalam hal memungut pajak, mempertahankan dan melindungi wilayah kekuasaan. Pada fase ini penguasa tidak menjauh dari pengikutnya.
Fase kedua, penguasa memerintah secara otokratik dan memulai menyisihkan saingannya, atau menjauhkan diri dari pengikutnya. Diciptakan vazal-vazal dan pengikut baru demi melemahkan posisi pemegang Ashabiyah dan keluarga dekat yang mengklaim sebagai sejajar dengannya dalam memerintah negara. Pada fase ini penguasa didukung oleh sejumlah kecil individu yang “asing”, tidak mempunyai hubungan darah atau hubungan suku dengannya.
Fase ketiga, adalah fase bersenang-senang dan fase ketenangan. Fase ini juga ditandai oleh kecendrungan untuk hidup mewah dan kesukaan membangun menumen-monumen. Penguasa menggunakan seluruh kekuatannya untuk menarik pajak, mengatur pendapatan dan pengeluaran, dan mempertimbangkan biaya untuk bangunan mewah. Penguasa juga bersifat dermawan kepada semua pengikutnya sesuai dengan posisi masing-masing. Penguasa melakukan inspeksi terhadap pasukannya dan memberikan limpahan materi kepada mereka. Dengan cara ini diharapkan negara-negara lain akan takut berhadapan dengannya. Fase ini adalah fase terakhir di mana penguasa memerintah secara otokratik dan membuat keputusan secara sendiri.
Fase keempat, adalah fase bahagia dan damai, bahkan dengan pihak musuh. Penguasa sudah merasa puas dengan apa-apa yang telah dilaksanakan oleh para pendahulunya yang senantiasa dijadikan contoh. Ini adalah fase klimaks dari sebuah perjalanan kekuasaan.
Fase kelima, adalah fase pemborosan dan kemewahan. Pada fase ini penguasa menghancurkan apa yang telah dibangun oleh para pendahulunya demi mengikuti nafsu, kesenangan dan sifat pemurah terhadap lingkaran intinya. Pada fase ini ia dikelilingi oleh para teman-teman palsu dan orang-orang jahat yang dipercayainya untuk menangani tugas-tugas negara sedang mereka tidak becus untuk itu. Orang-orang yang jujur dan ternama telah menjauh darinya. Kesetiaan tentara makin merosot. Dengan cara inilah penguasa menghancurkan apa yang telah dibangun oleh pendahulunya. Akibatnya negara berantakan. Untuk ini, kata Ibnu Khaldun hampir tidak ada obatnya.[23]
Berdasar filsafat Ashabiyah ini juga, Ibnu Khaldun menganggap bahwa pemimpin umat Islam itu terletak pada suku Quraisy, anggapan ini bukan hanya berdasar hadis nabi yang banyak disitir orang, tetapi berdasar rasionalisasi dari kedudukan, peranan, dan kewibawaan suku Quraisy pada waktu itu. Orang-orang Quraisy adalah pemimpin-pemimpin yang terkemuka, original, dan tampil dari Bani Mudhar. Dengan jumlahnya yang banyak, solidaritas kelompoknya yang kuat, dan keanggunannya, suku Quraisy mempunyai wibawa yang kuat atas cabang-cabang dan ranting lain dari Bani Mudhar. Seluruh bangsa Arab mengakui kenyataan itu dan hormat kepada keunggulan suku Quraisy. Maka kepemimpinan dunia Islam dipercayakan kepada suku lain, bisa mengakibatkan timbul tantangan dan pembangkangan yang akan membawa kepada kehancuran. Atau dengan kata lain, kalau Nabi menyatakan hendaknya kepemimpinan umat Islam dipercayakan kepada suku Quraisy, menurut Ibnu Khaldun jangan lah diartikan bahwa kepemimpinan umat Muhammad itu monopoli suku Quraisy, dan agar syarat keturunan Quraisy didahulukan dari pada syarat kemampuan. Petunjuk Nabi tersebut diberikan berdasarkan kenyataan bahwa suku Quraisy (paling kurang pada waktu itu) merupakan suku Arab yang terkemuka, dengan solidaritas kelompok yang dominan, karenanya paling berwibawa. Pemimpin negara yang berasal dari yang demikian yang akan mampu secara efektif menjamin ketertiban negara dan keserasian hubungan antara komponen – komponen negara itu. Kalau kita ikuti alur argumentasi ini, maka jika suku Quraisy dalam keadaan tidak lagi merupakan suku yang paling berwibawa, dan solidaritas kelompoknya tidak lagi dominan, yang berarti bahwa kepemimpinan yang berasal dari suku Quraisy tidak lagi diharapkan mampu secara efektif mewujudkan ketertiban negara dan kerukunan antar warga negara, maka kepemimpinan dapat saja berpindah ke suku atau kelompok yang lebih dominan dalam wibawa dan solidaritas.[24]
Ibnu Khaldun membenarkan bahwa Rasulullah SAW mengecam Ashabiyah dan mendesak umatnya meninggalkan dan membuangnya. Sabdanya : “ Allah telah melenyapkan dari kamu keangkuhan masa Jahiliyah dan kebanggaan terhadap nenek moyang, kalian adalah keturunan Adam As, dan Adam berasal dari tanah”. Allah berfirman dalam surah Al-Hujurat ayat 13 : “ Sungguh, yang paling mulia di antara kamu bagi Allah ialah yang paling taqwa di antara kamu”.
Muhammad SAW. membenci kepemimpinan raja dan aparatnya, karena mereka bergelimang dengan kesenangan dan kemewahan, dan pemborosan yang sia-sia serta menyimpang dari jalan Allah. Tetapi kalau semua harta dan fasilitas itu digunakan untuk jalan Allah, dan untuk Akhirat, malah dianjurkan. Itu tergantung niatnya, sebagaimana Rasulullah SAW katakan : “ Barang siapa yang hijrahnya menuju Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa hijrahnya diniatkan kepada dunia, diapun akan memperolehnya, atau hijrahnya karena wanita diapun akan mengawininya”. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW. menganggap dunia ini seluruhnya adalah merupakan sarana dan kendaraan menuju akhirat, tanpa sarana dan kendaraan kita akan tidak dapat pergi kemanapun. Kalau Nabi Muhammad SAW melarang atau mencela tingkah laku tertentu, atau menyuruh meninggalkannya, tidak berarti bahwa beliau menyuruh menghilangkan keseluruhannya. Beliau pun tidak bermaksud mencabut sampai ke akarnya, atau membuang semua kekuatan yang menyebabkan semuanya tidak bermanfaat dan tidak terpakai. Akan tetapi dimaksudkan kiranya semua kekuatan itu berguna sebisa mungkin untuk tujuan kebenaran. Rasulullah SAW mencela marah yang menuruti hawa nafsu setan dan demi maksud-maksud tercela. Tapi sebaliknya, marah demi Allah adalah terpuji. Marah yang demikian itu termasuk salah satu di antara sifat Rasulullah SAW. beliau juga mencela nafsu syahwat, tapi bukan untuk melenyapkannya sama sekali. Sebab orang yang tidak punya nafsu syahwat sama sekali berarti cacat. Tapi maksud beliau adalah menggunakannya untuk maksud-maksud yang dibolehkan dan demi kemaslahatan umum, sehingga manusia menjadi hamba Allah yang aktif, dan taat menjalankan perintah Allah.[25]
D.    Ashabiyah, Aplikasi dan Implikasinya dalam Pemikiran dan Sejarah
Ashabiyah diaplikasikan oleh Stalin dalam menghancurkan Islam. Stalin menghadapi masalah dengan muslin Asia Tengah. Stalin memahami bahwa inti masyarakat muslim Asia Tengah adalah agama dan kesukuan yang merekatkan Ashabiyah. Mesjid merupakan yang sentral. Bangunan ini bukan saja memberikan fungsi religius bagi Muslim tapi juga sosial. Kitab suci Al-Qur’an adalah sesuatu yang lain. Lalu adab dan kebudayaan muslim berupa busana, makanan, bahasa, kebiasaan dan arsitektur, semua ini memberi kohisi dalam masyarakat.
Dictator Sovyet yang bersiap dengan palu arit berusaha menghancurkan Islam melalui penghancuran dan pengikisan Ashabiyah Islam. Simbol-simbol apapun yang bias menarik dan menimbulakan Ashabiyah Islam, dari besar hingga sekecil-kecilnya dihancurkan dari masyarakat muslim. Masjid-masjid ditutup dan dijadikan penjara, orang-orang tua ditembak dan dideportasi, Al-Qur’an atau segala yang bertuliskan Arab dibakar, bahasa dan busaan local dilarang secara kejam. Dan arsitek dating dari Moskow kelabu, tidak menarik, bangunan-bangunan tanpa nama menonjol di kota-kota Asia Tengah (Akbar, 1993:259). Hal yang serupa dapat kita saksikan pula pada pola penghancuran Islam di Cina sejak abad ke-19, berlanjut pada Revolusi Kebudayaan 1966, menyebabkan Islam hamper punah, dan jumlah muslim menurun drastic.[26]
Ashabiyah dalam sejarah tidak saja dapat digunakan untuk memporak-porandakan suatu agama atau etnis, tapi juga dapat digunakan sebagai alat pemersatu. Sultan Iskandar Muda terdorong dan terbantu dalam mempersatukan kerajaan Aceh Darussalam karena adanya ancaman dri Portugis yang sudah menduduki Malaka.[27] Banyak contoh lain seperti kemerdekaan Amerika karena tekanan kerajaan Inggris berupa pajak dan lainnya mengakibatkan timbulnya rasa nasionalisme Amerika sehingga bangsa Amerika membebaskan diri dan memerdekakan negaranya dari kerajaan Inggris.
M.C. Ricklefs dalam bukunya Sejarah Indonesia Baru menerangkan bahwa rasa nasonalisme Indonesia timbul setelah menguraikan kondisi pergerakan bangsa Indonesia 1900-1927, para pejuang menyadari akan harus adanya alat pemersatu bangsa dan perjuangan, minimal untuk sementara. Penumpasan hamper segala bentuk pergerakan bangsa yang pada umumnya masih bersifat local, etnis, suku, golongan, dan jaringan internasional tersebut namak pada gerakan Pan Islamisme dan Markasisme Internasional.[28]
Dalam masa proses Orde Baru di Indonesia dapat kita identifikasi adanya persesuaian teori Ibnu Khaldun tentang Ashabiyah terhadap perjalanan kekuatan eksekutif yang menjadi rezim kekuasaan. Rezim Orde Baru memang hanya berlangsung kurang lebih tiga puluh dua tahun, tidak seperti yang digambarkan dalam teori kelangsungan suatu dinasti selama tiga generasi yaitu seratus dua puluh tahun, ini disebabkan oleh situasi dan ondisi yang sangat jauh berbeda. Teori 120 tahun adalah untuk kondisi dahulu yang masih bersifat kerajaan yang turun menurun, berbeda dengan sebuah republic seperti : Indonesia yang presiden dipilih untuk lima tahun sekali.. namun kalau dilihat proses timbul dan runtuhnya rezim Soeharto yang dikenal dengan Orde Baru, banyak persamaannya dengan apa-apa yang digambarkan oleh Ibnu Khaldun. Rezim ketika mulai berkuasa dibantu banyak pihak dengan Ashabiyah anti komunis. Tetapi ketika mulai berkuasa partai-partai Islam dan beberapa personil TNI disisihkan. Personil TNI itu antara lain Sarwo Eddy dan Ibrahim Aji yang besar jasanya dalam menumpas PKI. Disisihkan menjadi duta besar, kemudian membuat strategi semua pengghalang kekuasaan menjadi mandul, hal ini dimungkinkan karena menurut Afan Gaffar adanya kekuasaan yang sangat dominan ditangan Presiden menurut konstitusi. Dan karena sumber kekuasaan Presiden yang sangat luas, Presiden dapat mengontrol rekruitmen lembaga tinggi Negara, ekskutif, rekruitmen organisasi politik dan social, sumber keungan, dan Presiden adalah panglima ABRI tertinggi.[29] Setelah masa penyisihan elemen-elemen penghalang kekuasaan, datanglah masa ketenangan dan keemasan. Krooni Soeharto dan anak-anaknya menguasai hampir semua sektor kehidupan bangsa, baik ekonomi, politik, dan social. Setelah itu datanglah masa suram, karena kondisi dunia yang berubah dan korupsi, kolusi, nepotisme merasuki segala sector kehidupan, maka datanglah ajal yang berupa kemerosotan dan kehancuran.
Pemikiran tentang pemanfaatan dan pencarian ikatan Ashabiyah yang dominan untuk persatuan dan kemajuan suatu golongan atau bangsa dapat kita lihat pada silang sengketa pemikiran antara Islam dan nation state pada dunia Arab dan Turki setelah runtuhnya Dinasti Turki Utsmani. Menurut Ibnu Khaldun ikatan Ashabiyah yang dominan akan melebur dan menyisihkan ikatan Ashabiyah lainnya dalam mempersatukan langkah Ashabiyah menuju persatuan dan perjuangan yang akan menuju kemenangan dan keberhasilan satu dinasti atau generasi.
Tanzimat tidak diragukan lagi merupakan penyebab pertumbuhan nasionalisme Turki. Pengembangan ilmu-ilmu tentang Turki (Turcology), ekpansi lteratur tentang Turki pra Islam, dan penetapan bahasa Turki sebagai bahasa resmi pemerintahan Utsmani tahun 1876, mendorong lebih cepat kematangan Nasionalisme Turki. Hamper tidak diragukan lagi, kebangkitan nasionalisme inilah yang mendorong munculnya nasionalisme Arab. Peniruan konsep dan system politik Eropa oleh Dinasti Utsmani menyebabkan kejengkelan pemikir terkemuka Arab. Seraya mengecam Turki, mereka sebaliknya menonjolkan keistimewaan bangsa Arab. Inilah yang menjadi pangkal munculnya Ashabiyah Arab, yang menjadi rukun nasionalisme Arab. Rasyid Ridha misalnya, menuduh Turki merusak umat dan Islam dengan westernisasinya. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan majalah Al-Manar, Ridha mengklaim bahwa Turki dan daerah-daerah yang ditaklukkannya hanya menjadi beban bagi Islam dan kaum Muslimin lain. Ia tidak mendukung separatism wilayah-wilayah Arab dari kekhalifahan Turki Utsmani, hanya setelah Turki Muda mengguingan Sultan Abdul Hamid, ia mendukung sepenuhnya cita-cita nasionalisme Arab untuk membentuk suatu nation state bangsa Arab.[30] Dengan demikian dalam pertarungan mencari Ashabiyah dominan, nasionalisme lebih dominan dari Ashabiyah agama, karena kondisi dunia yang berubah dan tidak ada lagi Negara atau bangsa yang dapat diharapkan menjadi komando kekhalifahan Islam.
Pertarungan pemikiran mencari Ashabiyah yang dminan sebagai dasar Negara nampak juga pada bangsa Indonesia yang sejak zaman pergerakan hingga kini masih dalam pencarian dan pertarungan. Namun sejak dikembalikannya dasar negara ke UUD 45 secara murni dan konsekwen, serta dijadikannya Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara, maka pihak nasional lah yang Nampak dominan. Selanjutnya dengan persetujuan fraksi PPP dalam sidang-sidang DPR tahun 1985 mendukung dan berpartisipasi dalam mengesahkan baik usulan Pancasila sebagai asas tunggal bagi semua organisasi kemasyarakatan. Adapun Nahdhatul ‘Ulama, Muhammadiyah dan MUI lebih dulu menyetujuinya, meskipn ada yang tidak setuju namun bisa dikategorikan minoritas,[31] maka pihak nasionalis lah yang dominan. Pada zaman reformasi saat ini yang mendominasi pemikiran pimpinan umat Islam terdepan, seperti Abdurrahman Wahid, Akbar Tanjung, Amin Rais, dan Nurchalis Madjid, cenderung berpikir nasionalis meskipun mereka itu punya pondamen Islam yang kental. Kecenderungan mereka untuk menggelindingka Islam dalam wawasan berbangsa secara substantive dan kultural, bukan bersifat formal dan structural.
Pertarungan pemikiran di atas dan kecenderungannya karena kondisi dunia yang didominasi oleh Barat, yang untuk selanjutnya tentu masih menjadi pertanyaan, sebab kecenderungan kepada agama, seperi Islam bisa saja menjadi dominan di kemudian hari, hal ini dapat kita lihat kepada politik Islam tahun 1973 Anwar Sadat dari Mesir menyerukan “perang suci melawan Israel” berbeda dengan perang Arab-Israel pada tahun 1967 sebelumnya yang dilakukan oleh Gamal Abdul Nasir atas nama sosialisme Arab. Begitu juga hal yang sama terjadi pada Revolusi Iran tahun 1978, gerakkan tersebut melegitimasikan dirinya sebagai gerakan Islam, dan ini menarik simpati rakyat Iran.
E.     Simpulan
Ashabiyah adalah perasaan satu kelompok, atau rasa solidaritas sosial, timbul secara alamiyah dalam kehidupan manusia. Perasaan kasih sayang dan simpati itu mula pertama dari rasa sedarah, kemudian bisa saja berpindah kepada rasa satu kelompok, seprofesi dan lainnya, hal ini timbul lebih lanjut karena merasa senasib, sepenanggungan, karena satu tujuan tertentu, atau sependeritaan. Ashabiyah inilah yang membuat berdirinya satu dinasti atau negara, atau berkembangnya suatu agama, hilangnya Ashabiyah membuat negara runtuh dan agama tidak berkembang.
Oleh karena itu, Ashabiyah adalah suatu gejala umum atau fenomena yang ada pada masyarakat manusia, keberadaannya atau penghilangan eksistensinya sangat bergantung kepada tujuan, bisa negatif, bisa pula positif. Yang menarik dari teori yang dikembangkan oleh Ibnu Khaldun ini ialah ia selalu mengaitkan dengan Al-Qur’an, sehingga Muhammad Iqbal berkomentar bahwa jiwa Al-Muqaddimah Ibnu Khaldun menyinarkan dan menyimpan siratan Al-Qur’an.[32]
Ibnu Khaldun adalah figur yang cukup unik, berwawasan modern tapi berpendirian teguh tradisional. Ia menolak kausalitas sekunder dan mengakui ketergantungan proses sejarah kepada kehendak Allah yang Maha Kuasa, sehingga pembimbingnya dianggap oleh Majid Fakhry cenderung Al-Ghazali, bukan Ibnu Rusyd.[33] Hal ini mungkin karena sama-sama menyerang filsafat metafisika yang bersifat spikulatif yang Ibnu Rusyd ikut berkecimpung di dalamnya, meskipun Ibnu mangakui keterbatasan filsafat.[34] Tapi di segi lain, Ibnu Khaldun adalah seorang ilmiyah, empiris dan berpikir ala positivisme, sehingga ia mengecam beberapa golongan tasawuf yang mengajarkan hidup berleka-leka, penuh misteri. Sehingga, pengaruh Al-Ghazali terhadap dirinya ada yang meragukan dan tidak dapat menerima, Said Syekh, seorang ahli filsafat, direktur Institute of Islam Culture di Lahore, menganggap Ibnu Khaldun lebih cenderung berpihak kepada Ibnu Rusyd, dan keduanya sama-sama menentang Al-Ghazali.[35] Tidak heran Muhammad Iqbal menganggap Ibnu Khaldun satu-satunya ilmuwan Islam yang sudah memasuki persoalan mistik dengan sepenuhnya berjiwa ilmiyah.[36] Nampaknya, Ibnu Khaldun adalah orang yang mempercayai adanya hukum kausalitas yang kembar, bersifat simbiotik natural dan supernatural, material dan spiritual sekaligus.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hakim, Atang. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. 1999
Afan Gaffar. Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999
Ahmed, Akbar S. Living Islam, Tamasya Budaya Menyusuri Samarkand hingga Stornway. terj. Pangstuningsih., Bandung: Mizan. 1997
Audah, Ali. Ibnu Khaldun, Sebuah Pengantar. Jakarta: Pustaka Firdaus. Tt
Azra, Azyumardi. Pergolokan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme, hingga Post Modernisme. Jakarta: Paramadina. 1996
______________. Eksperimen dalam Masa Modern (Tinjauan Sosio Historis) dalam Politik demi Tuhan Nasionalisme Religius di Indonesia. Editor Andito., Jakarta: Pustaka Hidayah. 1999
De Boer, TJ. Tarikh Al-Falsafh fi Al-Islam. Mesir: Lajnah Tarikh wan Nusyur. Tt
Esposito, Jhon L. Ancaman Islam, Mitos atau Realitas ?. terj. Alwiyah Abdurrahman dkk., Bandung: Mizan. 1998
Faisal, Ismail. Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama (Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila). Yogyakarta: Tiara Wacana. 1999
Fakhri, Ali. Realitas Manusia, Pandangan Sosiologis Ibnu Khaldun dalam Insan Kamil, Konsepsi Manusia Menurut Islam. Penyunting. M. Dawam Rahardjo. Jakarta: Grafiti Press. 1985
Fakhry, Majid. Sejarah Filsafat Islam. terj. Drs. R. Mulyadhi Kartanegara. Jakarta: Pustaka Jaya. 1987
Ibnu Khaldun. Mukaddimah. terj. Ahmadi Toha. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1986
Issawi, Charles. Filsafat Islam tentang Sejarah. Jakarta: Tintamas. 1976
Muhammad Iqbal. Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam. Jakarta: Tintamas. 1966
Munawir Sadzali. Islam dan Tata Negara, Ajaran Sejarah dan Pemikiran. Edisi kelima., Jakarta: UI Press. 1993
Recklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern. Cetakan ke- V.,  Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 1998
Sayuthi Pulungan, J. Fiqih Siyasah, Ajaran Ssejarah dan Pemikiran. Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan (LSIK). 1994
Syafii Ma’arif, Ahmad. Al-Qur’an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah Refleksi). ITB Bandung: Perpustakaan Salman. 1985
____________. Ibnu Khaldun, Sebuah Pengantar. Jakarta: Pustaka Firdaus. Tt
Tawansy, Abdul Fatouh Muhammad. Ibn Khaldoun, Ministry of Waqf’s Supreme Council for Islamic Affairs. Cairo. 1962
Yahya Harun. Kerajaan Islam di Nusantara Abad XVI-XVII. Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera. 1995






[1] Penulis adalah Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Antasari Banjarmasin
[2] Tawansi, Abdul Fatouh Muhammad, Ibn Khaldun, Ministry of Waqf’s Supreme Council for Islamic Affairs, Cairo : 1962, h. 5
[3] Syafi’i Ma’arif, Ahmad, Al-Qur’an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah Refleksi), ITB Bandung : Perpstakaan Salman, 1985, h. 112
[4] Fakhri, Ali, Realitas Manusia, Pandangan Sosiologis Ibnu Khaldun dalam Insan Kamil, Konsepsi Manusia menurut Islam, yang disunting oleh M. Dawam Rahardjo, Jakarta : Grafiti Press, 1985, h. 50
[5] Issawi, Charles, Filsafat Islam tentang Sejarah, Jakarta : Tintamas, 1976, h. 2
[6] Audah, Ali, Ibnu Khaldun, Sebuah Pengantar, Jakarta : Pustaka Firdaus, tt, h. 17
[7] Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam, terj. Drs. R. Mulyadhi Kartanegara, Jakarta : Pustaka Jaya, 1987, h. 442 - 443
[8] Syafi’i Ma’arif, Ahmad, Al-Qur’an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah Refleksi), ....., h. 14
[9] Ibid, h. 19
[10] Audah, Ali, Ibnu Khaldun, Sebuah Pengantar, ....., h. 19
[11] Ibnu Khaldun, Mukaddimah, terj. Ahmadi Toha, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1986, h. 151
[12] Sayuthi Pulungan, J, Fiqih Siyahah, Ajaran Sejarah dan Pemikiran, Jakarta : Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan (LSIK), 1994, h. 276 - 277
[13] De Boer, TJ, Tarikh Al-Falsafh fi Al-Islam, Mesir : Lajnah Tarikh wan Nusyur, tt, h. 279 - 281
[14] Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran Sejarah dan Pemikiran, edisi kelima., Jakarta : UI Press, 1993, h. 106
[15] Ahmed Akbar S, Living Islam, Tamasya Budaya Menyusuri Samarkand hingga Stornway, terj. Pangstuningsih, Bandung : Mizan, 1997, h. 19
[16] Ibid, h. 18
[17] Ibnu Khaldun, Mukaddimah, ..... h. 192
[18] Ibid, h. 193
[19] Ahmed Akbar S, Living Islam, Tamasya Budaya Menyusuri Samarkand hingga Stornway,.....h. 27 - 28
[20] Ibnu Khaldun, Mukadddimah, ..... h. 208
[21] Ibid, h. 169 - 170
[22] Ibnu Khaldun, Mukaddimah, .....h. 208 - 210
[23] Ibnu Khaldun, Mukaddimah, ..... h. 214 - 216
[24] Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran Sejarah dan Pemikiran, ..... h. 106 - 107
[25] Ibnu Khaldun, Mukaddimah, ..... h. 248 - 249
[26] Abdul Hakim, Atang, Metodologi Studi Islam, Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 1999, h. 181
[27] Yahya Harun, Kerajaan Islam di Nusantara Abad XVI – XVII, Yogyakarta : Kurnia Kalam Sejahtera, 1995, h. 13
[28] Recklefs, M.C, Sejarah ndonesia Modern, Cetakan ke- V, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1998, h. 225 - 247
[29] Afan Gaffar, Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999, h. 67 - 86
[30] Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme, hingga Post Modernisme, Jakarta : Paramadina, 1996, h. 13 - 14
[31] Faisal, Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama (Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila), Yogyakarta : Tiara Wacana, 1999, h. 300
[32] Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam, Jakarta : Tintamas, 1966, h. 136
[33] Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam, ..... h. 444 - 449
[34] Audah, Ali, Ibnu Khaldun, Sebuah Pengantar, ..... h. 67
[35] Ibid, h, 67 - 68
[36] Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam,.....h. 126

Tidak ada komentar:

Posting Komentar